RAHASIA DI BALIK TANDA-TANDA ISIM
(Bagian 1 dari 2)
فَالْاِسْمُ يُعْرَفُ بِالْخَفْضِ وَ التَّنْوِيْنِ وَ دُخُوْلِ الْأَلِفِ وَ اللَّامِ وَ حُرُوْفِ الْخَفْضِ.
Isim bisa dikenali dengan i‘rāb khafadh (jarr), adanya tanwīn, masuknya alif dan lām (al), serta masuknya ḥurūf-ḥurūf khafadh (jarr).
Isim, nama yang kamu zikirkan, dan kamu tergetar karenanya, adalah Allah jalla jalāluhu. Karena nama adalah pencerminan dari yang dinamakan.
1. Isim atau nama Allah bisa dikenali dengan khafadh (kerendahan), yaitu meyakini diri dengan sifat kehinaan dan kerendahan.
Seorang penyair berkata:
Rendahkan dirimu di hadapan Kekasihmu
Karena cinta bukan perkara gampang
Bila Kekasih telah menunjukkan ridha-Nya
Maka benarlah jerih capaianmu.
Penyair lain berkata:
Rendahkan dirimu, di hadapan Sang Kekasih
Untuk capai kemuliaan
Banyak sudah ia diraih
Dengan derita kehinaan
Jika Sang Mahamulia adalah Kekasihmu
Sedang kamu bukan si terhina di hadapan-Nya
Maka ucapkanlah olehmu
Selamat tinggal pencapaian.
Syaikh Sayyidi Abu al-Hasan r.a. suatu saat berdoa:
Ya Allah, sungguh kaum itu
Telah Kau tetapkan kehinaan pada mereka
Sehingga mereka menjadi mulia
Dan telah Kau tetapkan kehilangan pada mereka
Sehingga mereka menemukan.
Yang dimaksud dengan kehinaan di sini adalah kesadaran diri yang hina dalam berjuang mencapai al-Ḥaqq. Ini terlihat jelas di antara beberapa teman sufi. Hal ini agar nafsu bisa mati dengan segera sehingga jiwa menjadi hidup dengan mengenal dan menyaksikan keagungan al-Ḥaqq. Ekspresi kehinaan itu seperti berjalan sambil menunduk, melepas peci/sorban kepala di tempat yang terlihat orang banyak, meminta-minta di toko-toko dan pasar-pasar.
Hal itu merupakan kehinaan yang diikuti kemuliaan bersama Allah ta‘ālā. Menjadi sarana yang membangkitkan kesadaran jiwa dengan menyaksikan kebesaran Penguasanya. Dengan kehinaan ini hamba bisa mengenal Allah dengan pengenalan. Bukan pengenalan dengan dalil maupun logika argumentasi.
Wa billāhi at-taufīq.
2. Allah ta‘ala juga dapat dikenal dengan adanya tanwīn.
a. Tanwīn tamkīn (pengukuhan).
Yaitu, Allah mengukuhkan seorang hamba untuk mengenal dan mencintai seorang guru yang sempurna dan ‘ārif billāh. Allah mengukuhkannya dengan jalan melayani dan bergaul (berguru) kepada guru tersebut. Sampai kemudian, Allah mengukuhkannya dengan menyaksikan keagungan al-Ḥaqq dan ma‘rifat kepada-Nya.
b. Tanwīn tankīr (penghilangan diri).
Yaitu, seorang hamba yang menghilangkan dirinya sendiri dari semua manusia dan menarik diri dari pergaulan manusia. Dengan ini, dia merasa tenteram dalam kesendirian bersama Allah.
Ada seorang sufi yang berkata tentang perilaku orang seperti itu:
“Hilangkan identitasmu dari orang yang kamu kenal. Dan jangan memperkenalkan diri pada orang yang tidak kamu kenal.”
Dalam al-Ḥikam disebutkan:
“Ketika Allah membuatmu gelisah karena pergaulan bersama makhluk-Nya, maka ketahuilah, bahwa Dia berkehendak untuk membuatmu tenteram hanya bersama-Nya.”
Disebutkan pula:
“Tidak ada satu hal yang memberikan manfaat bagi hati sebagaimana ‘uzlah (pengasingan diri). Dengannya seorang murid bisa memasuki medan perenungan yang luas.”
c. Tanwīn ‘iwadh (penggantian).
Yaitu, seorang murid mengganti kekayaan dengan kekurangan, kemuliaan dengan kehinaan, pergaulan dengan ‘uzlah. Demikian juga dia mengganti hal-hal buruk dengan kebalikannya.
d. Tanwīn muqābalah (pengimbangan).
Yaitu, seorang murid mengimbangi mulianya sifat ke-Tuhan-an dengan sifat kehambaan. “Nyatakan sifatmu, Allah akan menolongmu dengan sifat dan kekuatan-Nya. Nyatakan sifat kekuranganmu, maka Allah akan menolongmu dengan sifat keterpenuhan-Nya. Nyatakan sifat kelemahanmu, Allah akan menolongmu dengan kemampuan dan kekuatan-Nya.”
Aku memiliki sebait syair dalam hal ini:
Nyatakan dirimu dengan sifat kekurangan
Dalam setiap kejapan, maka
Betapa cepatnya keterpenuhan
Bila memang benar kekurangan itu
Jika kamu sungguh menghendaki
Diluaskannya pemberian, dengan cepat
Maka perhatikan,
Dalam kekurangan yang sesungguhnya
Terdapat keuntungan
Berupa pemberian-pemberian yang tergelar
Jika kamu menghendaki
Kemuliaan yang kokoh dan lestari, maka
Dalam kehinaan, tersamar adanya kemuliaan
Bahkan terlihat jelas
Jika kamu menghendaki
Peningkatan menuju derajatmu yang tinggi
Maka ketinggian derajat itu bisa tampil
Dalam kerendahanmu
Yang memang rendah tiu
Jika kamu menghendaki pengetahuan
Maka hilangkan dirimu
Dari pergaulan manusia, dan
Segala pencarian.
Jangan tampilkan dirimu pada selain al-Ḥaqq
Maka kamu akan melihat
Keagungan al-Ḥaqq dalam segalanya
Ketika kamu menghaluskan diri dan rasamu,
Maka
Dalam segala sesuatu
Keindahan Kekasihmu bisa menampilkan diri.
Seorang murid mengimbangi sifat-sifat tercela dengan sifat-sifat terpuji, seperti kikir dengan kemurahan, kesombongan dengan kerendahan hati, dendam dan dengki dengan lapang dada, kegelisahan dan kemarahan dengan ketabahan dan ketenangan. Demikian juga, dia mengimbangi keburukan dengan kebaikan, dan mengimbangi penyakit dengan obat penawar.
3. Allah juga bisa dikenal dengan masuknya alif dan lām (al).
Hal itu merupakan isyarat masuknya murid ke dalam Kehadiran Suci. Ini cukup dikenal di kalangan kaum ‘ārifīn. Pengetahuan tentangnya diperoleh dari penjelasan Allah mengenainya, melalui lisan para rasul, dan para pengganti mereka. Al-Ḥadhrat al-Qudisyyah merupakan tempat musyāhadah (penyaksian al-Ḥaqq), mukālamah (saling berdialog), muwajjahah (saling bertatap muka), dan mukāfahah (saling berhadapan). Memasukinya hanya bisa dilakukan dengan mencapai berbagai tanda di atas.
4. Al-Ḥaqq ta‘ālā, Dzat yang diberi nama dengan banyak nama, juga bisa dikenal dengan huruf jarr, yaitu sebab-sebab kerendahan. Yakni, segala hal yang merendahkan ego pribadi dan menurunkannya menuju titik kerendahan hati dan kehinaan, sebagaimana penjelasan sebelumnya.
Wallāhu a‘lam.
Huruf-huruf jarr tersebut adalah:
1. Min (dari); mengisyaratkan permulaan perjalanan spiritual (sair).
2. Ilā (sampai); mengisyaratkan puncak perjalanan.
“Seorang murid, permulaannya adalah mujāhadah (perjuangan spiritual), dan puncaknya adalah musyāhadah (penyaksian al-Ḥaqq).”
“Seorang murid yang cemerlang permulaan perjalanannya, akan cemerlang pula akhir perjalanannya.”
Yang dimaksud cemerlang pada permulaan perjalanan adalah tabiat suci yang menyala-nyala, menanggung kepayahan, serius dalam memerangi hawa nafsu, dan mampu mengelola waktu secara efektif. Cemerlang di akhir perjalanan adalah terus-menerus menyaksikan keagungan al-Ḥaqq, serta berdiam dalam Kehadiran Suci dan Tempat Ketenteraman.