Tanwir-al-Qulub | Bagian Kedua-Bab 6 : Wali dan Karamah (4/5)

Menerangi Qalbu
Manusia Bumi, Manusia Langit
Pengarang : Syaikh Muhammad Amin Al Kurdi An Naqsyabandiy
Penerbit : Pustaka Hidayah , Bandung

(lanjutan)

Di dalam riwayat lain, Bukhari menyebutkan kisah Hubaib ketika ditawan dan dikerangkeng dengan besi. Orang-orang yang menawannya mendapati buah anggur di samping Hubaib, padahal ketika itu di tanah Mekkah tidak ada anggur.

Di dalam al-Hilyah, Abu Na’im menuturkan bahwa Aun bin Abdullah bin ‘Utbah selalu dinaungi awan saat tidur di bawah terik matahari.

Contoh lain tentang karamah yang terjadi pada para sahabat dan tabi’in, seperti yang diceritakan Abû Na’im, adalah tasbih mangkuk yang sedang digunakan oleh Salman al-Farisi dan Abu ad-Darda.

Karamah para wali sungguh tak terhitung jumlahnya. Siapa yang berminat mengetahui lebih banyak, silakan menelaah sejarah hidup mereka. Tidak ada yang mengingkari kenyataan karamah selain orang yang tertahan dan terusir dari pintu keutamaan dan pintu kebaikan. Al-Laqani berkata di dalam syairnya,

Yakinlah adanya karamah bagi para wali

Siapa menafikan karamah, buanglah ucapannya

Maksudnya, buanglah ucapan orang-orang Mu’tazilah yang menafikan adanya karamah, juga para pengikut mereka. Apabila Anda bertanya, “Apa perbedaan karamah dengan sihir dan mukjizat?” Maka kami jawab, “Karamah berbeda dengan sihir. Sihir muncul di tangan orang fasik, zindik dan orang kafir yang tidak meng ikuti syari’at. Sedangkan karamah hanya muncul pada orang yang sungguh-sungguh mengikuti syari’at. Karamah juga berbeda dengan mukjizat. Karamah muncul pada orang yang bukan nabi, sedangkan mukjizat muncul pada diri nabi. Selain itu, para rasul dituntut untuk menampakkan mukjizat demi memperkuat dakwahnya apabila iman kaumnya tergantung pada penampakan mukjizat itu.

Lain halnya dengan wali, baginya tidak wajib menampakkan karamah. Bahkan wali dituntut untuk menyembunyikan karamahnya, pada umumnya penampakan karamah itu tidak diperlukan. Sebab posisi wali hanyalah pengikut. Dia mengajak orang-orang kepada Allah cukup dengan hikayat dakwah rasul yang telah tegas kerasulannya. Dia mengajak orang-orang dengan lisan rasul, bukan dengan lisan nafsunya. Sungguh, hukum syara telah ditetapkan oleh ulama, dan wali tidak perlu menampakkan tanda-tanda atau keterangan untuk membuktikan kebenarannya. Lain halnya dengan rasul. Seorang rasul perlu menampakkan bukti, karena dia bertugas menggelar hukum syara’ dan me-nasakh (hapus-ed.) hukum-hukum yang telah diturunkan kepada rasul-rasul sebelumnya. Dia perlu menampakkan bukti yang menunjukkan kebenaran bahwa apa yang dikabarkannya itu berasal dari Allah Ta’ala.”

Ketahuilah bahwa di mata para pembesar sufi, karamah dipandang sebagai bagian dari residu jiwa, kecuali apabila dipergunakan untuk menolong agama Allah atau membuat kemaslahatan. Sebab bagi mereka, Dialah pelaku sejati, bukan mereka. Dan diam tanpa protes dalam berlakunya takdir Allah itu lebih beradab.

Ketahuilah pula bahwa para wali adalah orang-orang yang bermakrifat kepada Allah. Mereka berusaha sungguh-sungguh melaksanakan ketaatan, menjauhi kemasiatan dan berpaling dari ketundukan pada hasrat nafsu.

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *