Tanwir-al-Qulub | Bagian Kedua-Bab 9 : Ketercelaan Dunia dan Angan Angan (8/10)

Menerangi Qalbu
Manusia Bumi, Manusia Langit
Pengarang : Syaikh Muhammad Amin Al Kurdi An Naqsyabandiy
Penerbit : Pustaka Hidayah , Bandung

(lanjutan)

Wahai anak Adam, engkau sungguh beruntung bila surga-surga tempat menetapmu, dan celakah engkau jika tempat menetapnu adalah neraka. Wahai anak Adam, engkau beranjak pergi untuk perjalanan jauh tanpa bekal. Engkau keluar dari rumahmu tanpa bisa kembali untuk selamanya, dan engkau dalam perjalanan menuju rumah petaka.

Apabila mayit telah dibawa untuk dishalati, ia akan diseru dari langit dengan tiga teriakan, “Wahai anak Adam, engkau sungguh beruntung jika amalmu baik, engkau sungguh beruntung jika engkau orang yang bertobat, engkau sungguh beruntung jika engkau adalah orang yang taat kepada Allah.

Apabila mayit sudah diletakkan untuk dishalati, ia akan diseru dari langit dengan tiga teriakan, “Wahai anak Adam, semua amal yang telah engkau lakukan, pada saat ini akan kau lihat semua. Jika amalmu baik, maka engkau akan melihatnya baik. Jika amalmu buruk, maka engkau akan melihatnya buruk.

Apabila mayit telah diletakkan di tepi kubur, ia akan diseru dari langit dengan tiga teriakan, “Wahai anak Adam, apa yang kau bawa dari keramaian untuk bekalmu di kesunyian ini? Apa yang engkau bawa dari kekayaan untuk kefakiran ini? Apa yang engkau bawa dari cahaya untuk kegelapan ini?

Apabila mayit diletakkan di liang lahad, ia akan diseru dengan tiga teriakan, “Wahai anak Adam, engkau tertawa-tawa saat masih berada di punggungku, sekarang engkau di dalam perutku menangis-nangis. Engkau riang gembira saat di atas punggungku, sekarang di dalam perutku engkau sedih merana. Engkau bisa bicara saat di atas punggungku, sekarang engkau di dalam perutku menjadi bungkam.

Apabila orang-orang yang mengiringnya telah bubar, Allah berfirman, “Wahai hamba-Ku, sekarang engkau tinggal sendiri. Mereka telah meninggalkanmu dalam gulita kubur, padahal engkau telah membangkang kepada-Ku demi mereka. Hari ini, Aku akan mengasihimu de-ngan rahmat yang mengagumkan orang-orang. Aku mengasihimu lebih dari kasih seorang ibu terhadap anaknya.”

Hassan ibn Sinan ra. ditanya, “Bagaimana keadaanmu?” Dia menjawab, “Aku dalam keadaan baik jika aku selamat dari siksa neraka.” Dia ditanya lagi, “Apa yang engkau inginkan?” dia menjawab, “Malam yang panjang, yang sepenuhnya akan aku gunakan untuk shalat.” Abū Bakr al-Kattāni r.a. berkata, “Ada seorang lelaki yang menghitung-hitung keburukan dirinya. Suatu hari dia menghitung usianya, ternyata dia dapati dirinya telah berumur 60 tahun.

Lalu dia menghitung jumlah harinya, ternyata berjumlah 21.240 hari, dan tiba-tiba dia pingsan. Setelah siuman dia berkata, ‘O…sungguh celaka aku. Aku harus menghadap Tuhanku dengan 21.240 dosa. Ini jika dalam tiap harinya hanya melakukan satu dosa. Lalu bagaimana dengan dosa-dosa yang tak terhitung.” Lalu dia berkata, “Ah, aku telah memakmurkan duniaku dan menghancurkan akhiratku. Aku telah membangkang kepada Tuhanku Yang Maha pemurah, dan aku tidak ingin pindah dari keramaian ke tempat sunyi. Bagaimana aku akan datang pada hari perhitungan amal, menerima catatan dan siksa, tanpa amal dan pahala.”

Kemudian dia menjerit histeris, lalu jatuh ke tanah dan kembali pingsan lagi. Orang-orang yang melihatnya menggoyang-goyangkan tubuhnya, ternyata dia telah mati. Semoga rahmat Allah tercurah kepadanya Salah seorang ulama sufi bercerita, “Suatu hari, kami menjenguk ‘Atha’ as-Silmi yang sedang mengalami sakit keras menjelang wafatnya. Kami bertanya kepadanya, ‘Bagaimana keadaanmu?’ dia menjawab, ‘Maut sudah berada di pundakku. Kuburan sudah di depan mataku Kiamat adalah tempat perhentianku. Jembatan di atas Jahanam adalah jalanku, dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat terhadap diriku. Kemudian dia menangis demikian sangat hingga pingsan. Setelah siuman, dia berkata, “Ya Allah, rahmatilah aku, rahmatilah kesendirianku di dalam kubur dan tempat jatuhku saat mati. Rahmatilah keberadaanku di hadapan-Mu, wahai Yang Paling Penyayang di antara semua yang penyayang.”

Abū Hurairah ra. menangis pilu ketika menghadapi maut. Lalu dia ditanya, “Apa yang membuat engkau menangis?” Dia menjawab, “Aku takut kalau aku ternyata telah melakukan dosa yang aku anggap ringan padahal ia dosa besar dalam pandangan Allah.”

Suatu hari, asy-Syaikh al-Muzanni menjenguk al-Imam asy-Syafi’i ra ketika beliau sakit keras. Lalu al-Muzanni bertanya, “Bagaimana keadaanmu, ya Abu ‘Abdillah?” dan asy-Syafi’i menjawab, “Aku sedang beranjak pergi dari dunia, berpisah dari saudara-saudara, menjumpai amal burukku, meminum air dari gelas kematian, datang menghadap Tuhanku, dan aku tidak tahu apakah ruhku akan kembali ke surga hingga aku bisa bersenang-senang di dalamnya, atau kembali ke neraka hingga aku menderita kesengsaraan di dalamnya.” Kemudian beliau mengungkapkan syair,

Ketika hatiku keras membatu dan jalan-jalanku membeku

kujadikan pengharapan sebagai tangga untuk meraih ampunan-Mu

dosa-dosaku demikian besar meliputiku tetapi saat kusandingkan dengan ampunan-Mu, ya Rabb

sungguh ampunan-Mu lebih besar dari dosa-dosaku

Selama Engkau Pemilik ampunan bagı dosa-dosa hamba

Engkau akan senantiasa berderma dan memberi maaf

Sebagai anugerah dan kemurahan dari-Mu

Bila Engkau memaafkan hamba yang merasa sakit karena dosa-dosanya

yang sungguh zalim dan pengkhianat,

dia kan berpisah dari dunia tanpa dosa membelit

Dan kalaupun diriku Kau tuntut balas

aku sungguh takkan putus asa dari rahmat-Mu

Meski karena dosaku Kau masukkan aku ke dalam Jahanam

Dosaku dari lampau hingga kini sungguh menggunung

Namun ampunanmu lebih besar nan agung, wahai Sang Pemilik anugerah

Semoga Dia yang bagi-Nya kebaikan mengampuni kesalahanku

dan menutupi dosaku dan mereka yang telah berlalu

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *