Ragam Ilmu dan Keutamaannya – Qut-ul-Qulub 005-1

Dari Buku:

Quantum Qulub
Nutrisi Untuk Hati
(Judul Asli: Qūt-ul-Qulūb)
Oleh: Abū Thālib al-Makkī (386H/996M).

Penerjemah: Ija Suntana
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

RAGAM ILMU, KEUTAMAANNYA DAN KARAKTER ULAMA

BISM-ILLĀH-IR-RAḤMĀN-IR-RAḤĪM

 

Dalam pasal ini akan dibahas tentang ilmu beserta keutamaannya, sifat-sifat ulama, keutamaan ilmu makrifat di atas semua ilmu, metode ulama salaf shalih dalam mencari ilmu, penjelasan tentang keutamaan ilmu diam, cara yang ditempuh para ahli wara‘ dalam mencari ilmu, perbedaan antara ilmu zhāhir dan ilmu bāthin, perbedaan antara ulama dunia dan akhirat, keutamaan ulama ahli makrifat dibanding ulama-ulama zhāhir, penjelasan tentang ulama sū’ (durjana) yang mengambil keduniawian dengan ilmunya, karakteristik ilmu, metodologi pengajaran, dan celaan terhadap cerita-cerita dan pendapat golongan mutakhir (ulama masa kini). Juga ada satu bab tentang pembicaraan dan aktivitas yang baru dilakukan oleh kebanyakan manusia, namun tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf, penjelasan tentang keutamaan iman dan yakin atas semua ilmu, dan sikap waspada terhadap akal. Dalam pasal ini juga akan dibahas tentang makna sabda Nabi s.a.w.: “Menuntut ilmu adalah diwajibkan bagi setiap muslim.” Dalam hadis lain disebutkan: “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina, karena hukum menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.

Guru kami, Abū Muḥammad Sahal – semoga mendapat limpahan rahmat dari Allah s.w.t. – berkata: “Ilmu yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah ilmu ḥāl, yaitu ilmu yang berhubungan dengan keadaan hamba sesuai dengan maqām (derajat) di mana ia berada, agar kalian dapat mengetahui tentang posisinya antara kalian dengan Allah s.w.t. Secara khusus, baik di dunia maupun di akhirat, sehingga ia dapat menjalankan aturan-aturan Allah dengan ilmu itu.”

Menurut sebagian ahli makrifat, maksud hadis tersebut adalah menuntut ilmu makrifat dan seorang hamba harus melaksanakan hukum pada waktunya dan segala perkara yang ia butuhkan pada setiap waktu.

Menurut sebagian ulama Syam, bahwa yang dimaksud adalah mencari tahu tentang ilmu ikhlas, kebinasaan hawa nafsu, bisikan-bisikan jahat nafsu, diperdaya setan, tipu-dayanya, perangkapnya, muslihatnya, dan hal-hal yang akan meluruskan dan merusak amal. Semua itu wajib dipelajari. Pendapat ini ditinjau dari segi bahwa ikhlas dalam beramal adalah wajib. Juga berdasarkan pandangan bahwa dia mengetahui tentang permusuhan Iblis dan adanya perintah untuk memusuhinya. Pendapat tersebut antara lain dipegang oleh ‘Abd-ur-Raḥīm Ibnu Yaḥyā al-Armawī dan para pengikutnya.

Berkaitan dengan hadis di atas, kalangan ulama Bashrah berpendapat: “Mencari ilmu hati, mengenal lintasan-lintasannya, dan merincinya adalah wajib, karena Allah melapangkan hati hambanya. Mengenali bisikan setan dan nafsu kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, ia harus melakukan kewajibannya kepada Allah dengan memberdayakan apa yang dimilikinya yang bersumber dari-Nya dapat dilaksanakan semata-mata untuk-Nya. Dalam hati tersebut juga merupakan tempat cobaan dan ujian dari Allah kepada hamba-Nya yang membutuhkan kesungguhan jiwa untuk menolaknya, karena hati merupakan tempat awal munculnya niat, niat tersebut merupakan awal setiap pekerjaan. Melalui hati pula akan tampak perbuatan, dan berdasarkan kadarnya amal tersebut akan berlipat ganda. Oleh karena itu, mesti dibedakan antara perkawanan yang berasal dari malaikat dan dari setan, antara lintasan hati yang berasal dari ruh dan antara nafsu, dan antara ilmu yakin dan kelemahan akal, sehingga dapat membedakan hukum. Menurut mereka (para ulama) mencari ilmu-ilmu tersebut adalah wajib, yakni menurut mazhab Mālik bin Dīnār, Farqad as-Sanjī, ‘Abd-ul-Wāḥid bin Zaid dan para pengikut-pengikut mereka dari kalangan ahli ibadah. Guru mereka, Ḥasan Bashrī banyak berbicara tentang hal tersebut kepada mereka. Dan dari dialah mereka mengambil dan mengembangkan ilmu hati tersebut.

Sementara itu, Golongan ahli ibadah dari Syam berpendapat bahwa berdasarkan hadis tersebut, mencari ilmu tentang kehalalan adalah wajib. Hal itu sesuai dengan perintah Allah s.w.t. kepada hamba-Nya agar mencari yang halal. Begitu pula kaum sepakat bahwa memakan barang haram adalah perbuatan dosa. Dalam salah satu khabar yang disampaikan secara mufassar (riwayat secara makna) dinyatakan bahwa mencari yang halal adalah salah satu kewajiban dari sekian kewajiban. Pendapat tersebut disepakati oleh Ibrāhīm bin Adham dan Yūsuf bin Asbāth, Waḥīb bin Ward dan Ḥabīb bin Ḥarb.

Menurut sebagian golongan ini, hadis di atas menerangkan bahwa mencari Ilmu batin adalah wajib bagi ahlinya. Mereka menambahkan: “Hal itu dikhususkan bagi ahli hati, yakni dari kalangan orang yang menggunakan ilmu tersebut dan membutuhkannya, bukan selainnya dari kebanyakan orang-orang Islam.” Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis: “Pelajarilah tentang keyakinan.” Artinya, carilah ilmu yakin. Hanya saja, ilmu tersebut hanya terdapat pada kalangan mūqinīn (orang yang benar-benar memiliki keyakinan). Ia juga merupakan dampak dari perbuatan kalangan mūqinīn yang dikhususkan pada hati kalangan ahli makrifat. Itulah ilmu nāfi‘ (bermanfaat) yang merupakan ḥāl (keadaan spiritual) seorang hamba di sisi Allah s.w.t. dan maqām-nya (kedudukannya) di sisi-Nya seperti dijelaskan dalam riwayat lainnya, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Ilmu batin terletak di hati adalah itulah yang bermanfaat.” Inilah interpretasi paling baik dibanding yang lain.

Jundab berkata: “Suatu hari kami bersama Rasūlullāh s.a.w. Beliau mengajari kami tentang iman, kemudian al-Qur’ān. Setelah itu, iman kami semakin bertambah. Kelak akan datang suatu zaman, di mana orang-orang akan belajar al-Qur’ān sebelum iman. Padahal beliau menetapkan agar kami mempelajari ilmu iman terlebih dahulu. Pendapat ini dianut oleh para ahli ibadah penduduk Bashrah.

Sebagian kalangan salaf berpendapat: “Maksudnya mencari ilmu yang diharuskan untuk memilikinya seperti ilmu tauhid, serta ilmu asal-usul perintah dan larangan. Juga mempelajari ilmu yang membedakan antara yang halal dan yang haram. Hal itu dikarenakan ilmu-ilmu lainnya tidaklah terbatas jumlahnya, dan bisa dikategorikan sebagai ilmu ditinjau dari pengetahuan yang dikandungnya.” Kemudian mereka sepakat bahwa mengajarkan ilmu di luar yang mereka sebut di atas tidaklah wajib, namun mengajarkannya termasuk perbuatan utama dan sunnah.

Sebagian Fuqahā’ Kufah berpendapat: “Yang dimaksud adalah mencari ilmu jual beli, ilmu pernikahan, talak, manakala seorang berniat terjun di bidang tadi, maka seiring dengan itu ia pun diharuskan mempelajari dan mencari ilmunya, sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Umar bin Khaththāb r.a.: “Seseorang hanya diperkenankan untuk berniaga di pasar setelah ia paham benar tentang ilmu perniagaan tersebut. Jika tidak, maka mau tidak mau ia akan memakan riba.” Ada yang berpendapat: “Hendaklah kamu memahami ilmu dagang, kemudian daganglah.” Pendapat ini diikuti pula oleh Sufyān Tsaurī, Abū Ḥanīfah dan para pengikutnya.

Sebagian golongan mutaqaddimīn dari ulama Khurāsān berpendapat: “Ilmu yang dimaksud adalah jika seseorang yang berada di rumahnya ingin melakukan suatu yang berhubungan dengan perintah agama atau terlintas dalam benaknya masalah hukum dan ibadah kepada Allah s.w.t. baik berupa keyakinan atau amal perbuatan. Ia tidak boleh hanya berdiam diri terhadap masalah tersebut, juga tidak boleh menentukan hukum masalah tersebut dengan pendapatnya sendiri dan hawa nafsunya. Akan tetapi, hendaklah ia bergegas keluar untuk bertanya kepada orang yang paling mengerti terhadap masalah tersebut di negerinya. Dengan kata lain, ia harus mencarinya ketika ada masalah yang menimpanya. Mencari ilmu dalam kondisi seperti itulah yang wajib. Pendapat tadi diceritakan oleh Ibnu Mubārak dan sebagian ahli Hadits.

Sebagian lainnya berpendapat: “Yang dimaksud adalah bahwa mencari ilmu Tauḥīd adalah wajib” Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang tata cara mencarinya dan target yang ingin dicapainya. Ada yang berpendapat: “Dengan cara istidlāl (pengambilan kesimpulan) atau i‘tibār (perenungan/pemikiran).” Ada yang berpendapat: “Melalui penelitian atau pengamatan.” Dan ada yang berpendapat: “Dengan taufik (penggabungan) dan atsar (pelacakan).

Sekelompok kecil dari mereka berpendapat: “Yang dimaksud adalah mencari ilmu-ilmu tentang syubhāt (di antara halal dan haram) dan musykilāt (perkara-perkara yang rumit) ketika seorang hamba mendengar atau mendapat ujian dengan beragam perkara tersebut. Ia diperkenankan meninggalkan kewajiban tersebut, jika hal itu terjadi semata-mata disebabkan kelalaiannya saja, dan sepanjang ia tunduk serta memiliki keyakinan bahwa sebagian besar orang-orang muslim tidak terperangkap pada kebimbangan seperti yang dialaminya. Begitu pula hatinya tidak terpengaruh sedikit pun oleh perkara yang tidak jelas kehalalan dan keharamannya. Dengan demikian, dalam kondisi seperti itu gugurlah kewajiban baginya untuk mencari ilmu tersebut. Namun, apabila ia mendengar permasalahan tersebut dan membuat hatinya gundah, sementara ia tidak mengetahui rinciannya, kepastian hukumnya, dan tidak bisa membedakan antara yang benar dan salah, maka pada saat itu tidak dibenarkan baginya untuk berdiam diri supaya tidak membatilkan suatu hak atau menolak kebenaran. Oleh karena itu, diwajibkan mencari tahu tentang masalah tersebut kepada para ulama yang mengetahuinya, sehingga ia paham benar akan permasalahan tersebut, berpegang teguh pada yang benar, dan menghindari kebatilan. Tentu saja ia tidak boleh berdiam diri dan mengabaikannya, karena hal itu dapat membawanya pada syubhat (kesamaran) dan menjerumuskannya pada hawa nafsu, atau membimbangkannya dalam beragama, menyimpang dari jalan orang-orang mukmin, dan mengikuti bid‘ah, di mana pada gilirannya dapat mengeluarkannya dari sunnah dan madzhab jamaah tanpa ia sadari.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *