1-3 Tahapan Ilmu – Minhaj-ul-Abidin | Bagian 3

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 001 Tahapan Ilmu - Minhaj-ul-Abidin

BAB I

TAHAPAN ILMU

(Bagian 3 dari 3)

 

Diriwayatkan bahwa Allah s.w.t. memberikan wahyu kepada Nabi Dāūd a.s. Ia berfirman: “Wahai Dāūd, belajarlah ilmu yang bermanfaat.” Daud berkata: “Wahai Tuhanku, apakah ilmu yang bermanfaat itu?” Allah berfirman, “Ketahuilah akan keagungan dan kebesaran-Ku, kesempurnaan kekuasaan-Ku atas segala sesuatu, karena hal itu akan mendekatkan Anda kepada-Ku.”

Diriwayatkan dari ‘Alī Karramallāhu Wajhah, ia berkata: “Tidaklah menggembirakanku, seandainya aku mati dalam keadaan masih anak-anak, lalu dimasukkan ke dalam surga sebelum dewasa dan mengenal Tuhanku. Sesungguhnya manusia yang paling mengenal Allah adalah yang paling takut kepada-Nya, yang paling banyak ibadah dan yang paling bagus dalam menjalin hubungan baik dengan-Nya, di antara mereka.”

Adapun kesulitan dalam melewati tanjakan ilmu ini, adalah mencurahkan keikhlasan jiwa Anda di dalam mencari ilmu, dan hendaklah pencarian itu terfokus pada ilmu pengetahuan, bukan berorientasi untuk mengejar kedudukan dan popularitas.

Ketahuilah, adalah menjadi kekhawatiran yang sangat membahayakan bagi orang yang menuntut ilmu agar menjadi pusat perhatian manusia, bisa duduk bersama para penguasa, menjadi public figure yang membanggakan, untuk mencari kekayaan dan kedudukan, ahli dalam perdebatan yang mengalahkan lawannya. Maka usaha dan perniagaannya semacam itu akan bangkrut dan mengalami kerugian yang besar. Perhatikan sabda Rasūlullāh s.a.w. berikut ini:

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُفَاخِرَ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ لِيَصْرِفَ بِهِ وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ

Artinya:

Barang siapa yang mencari ilmu, agar bisa membanggakan diri dengan ilmunya terhadap ulama, atau agar bisa berdebat memamerkan ilmunya terhadap orang-orang yang bodoh, atau agar menjadi perhatian manusia (public figure), maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.

Abū Yazīd al-Bisthāmī r.a. berkata: “Aku telah melakukan mujāhadah selama 30 tahun, namun aku tidak mendapatkan sesuatu yang lebih berat bagiku daripada menuntut ilmu dan menghindari bahayanya.

Waspadalah terhadap ucapan manis mulut setan yang hendak menipu Anda: “Jika dalam menuntut ilmu itu terdapat bahaya yang besar, maka lebih baik tinggalkan saja.” Sekali-kali janganlah Anda menduga ucapan setan itu benar.

Diriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w., bahwa beliau bersabda:

اِطَّلَعْتُ لَيْلَةَ الْمِعْرَاجِ عَلَى النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مِنَ الْمَالِ؟ قَالَ: لاَ، بَلْ مِنَ الْعِلْمِ

Artinya:

Pada malam Mi‘rāj, aku diperlihatkan neraka, ternyata aku melihat bahwa mayoritas penghuninya adalah orang-orang fakir.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasūlullāh, apakah mereka miskin (fakir) harta?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi mereka fakir ilmu.

Barang siapa yang tidak mempelajari ilmu, tentu dia tidak mengerti hukum-hukumnya dan aturan-aturan ibadah, sehingga tidak bisa menjalankan hak-hak ibadah sebagaimana mestinya. Seandainya seseorang beribadah kepada Allah, sebagaimana ibadahnya malaikat di langit, tanpa didasari ilmu, maka dia termasuk, golongan orang-orang yang merugi.

Oleh sebab itu, singsinglah lengan baju Anda, bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu, dengan melakukan kajian-kajian, belajar dengan rajin dan tekun, jauhilah kemalasan dan kejenuhan. Jika tidak, maka Anda berada dalam bahaya kesesatan. Semoga Allah ‘azza wa jalla, melindungi dan menjauhkan kita dari bahaya kesesatan itu.

Walhasil, apabila Anda melihat petunjuk-petunjuk pada ciptaan Allah, lalu Anda melakukan perenungan, maka Anda menjadi tahu, bahwa kita mempunyai Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Berkehendak, Maha Mendengar, Maha Melihat, Yang berfirman, kalam-Nya suci dan bukan bersifat baru, begitu pula ilmu dan kehendak-Nya. Dia Maha Suci dari segala kekurangan dan cacat, Dia tidak bersifat sebagaimana sifat-sifatnya hal-hal baru (makhluk), Dia tidak mungkin terkena sesuatu yang mungkin terjadi pada makhluk. Dia tidak serupa dengan sesuatu pun dari makhluk ciptaan-Nya, dan tidak pula ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia tidak menempati tempat dan tidak pula diliputi arah, tidak mengalami perubahan dan tidak pula terkena afat (kebinasaan).

Ketika Anda merenungkan mukjizat-mukjizat Rasūlullāh s.a.w. dan tanda-tanda kenabiannya, tentu Anda menjadi tahu bahwa beliau adalah Rasūlullāh, kepercayaan Allah untuk mengemban wahyu-Nya. Dan kiranya Anda pun tahu apa yang dii‘tiqadkan oleh orang-orang saleh terdahulu (salafush-shāliḥ), bahwa Allah s.w.t. dapat dilihat di akhirat nanti, Dia adalah ada, namun tidak menempati tempat dan ruang, serta tidak pula arah tertentu.

Sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah Kalam Allah bukan makhluk, bukan yang berupa huruf-huruf yang terpisah-pisah, dan tidak pula berupa suara. Karena jika demikian, maka berarti ia tergolong makhluk. Dan tidaklah terjadi di alam malak dan malakūt getaran yang tergerak di hati dan sorot pandangan mata, kecuali atas qadha dan qadar Allah serta kehendak-Nya.

Segala yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat dan yang bahaya, keimanan dan kekafiran adalah daripada-Nya pula. Allah tidak berkewajiban berbuat sesuatu pun buat makhluk-Nya. Barang siapa yang diberi pahala oleh Allah s.w.t. itu semata-mata karena anugerah Allah, dan barang siapa yang disiksa oleh-Nya, adalah semata-mata karena keadilan-Nya.

Apa saja yang datang melalui lisan pembawa syari‘at, Rasūlullāh s.a.w. mengenai perkara akhirat, seperti penghimpunan makhluk di padang Maḥsyar, hari kebangkitan, adanya siksa kubur, pertanyaan Mungkar dan Nakir, mengenai neraca amal (mīzān), dan jembatan (shirāth). Semua itu merupakan perkara gaib yang diyakini oleh semua ulama salaf yang saleh (salaf-ush-Shāliḥ), dan mereka selalu pegang teguh keyakinan itu. Hal itu juga menjadi konsensus para ulama (ijma‘) sebelum lahirnya berbagai jenis bid‘ah, munculnya dominasi hawa nafsu. Semoga Allah melindungi kita dari sikap membuat-buat bid‘ah di dalam agama dan menurut kemauan nafsu tanpa didasari dalil.

Kemudian renungkanlah mengenai aktivitas hati dan kewajiban-kewajiban batin dan larangan-larangannya yang akan dikemukakan di dalam kitab ini, agar Anda memperoleh ilmu tentang hal itu. Hingga secara garis besar Anda akan dapat mengetahui apa yang Anda perlukan untuk diamalkan, sebagaimana halnya bersuci (thahārah), puasa, shalat dan lain sebagainya.

Dengan demikian, berarti Anda telah menunaikan kefardhuan yang diwajibkan oleh Allah kepada Anda. Di mana pelaksanaan kefardhuan ibadah Anda itu menuntut Anda untuk berilmu, dan Anda telah menunaikan, serta melaluinya. Maka jadilah Anda sebagai ulama umat Nabi Muḥammad s.a.w. (ulamā’-ul-ummah), sebagai ulama yang berilmu tinggi dan kuat. Jika Anda mengamalkan ilmu, dan memfokuskan orientasi untuk meramaikan negeri tempat Anda pulang (akhirat), maka jadilah Anda sebagai seorang hamba yang alim dan mengamalkan ilmu karena Allah ta‘ala dengan penuh kewaspadaan, tidak bodoh dan tidak pula ikut-ikutan serta bukan pula sebagai orang yang lalai.

Anda menyandang kemuliaan yang besar, ilmu Anda bernilai tinggi dan mendapatkan pahala yang agung. Anda telah melewati tanjakan atau tahapan ini (Tahapan Ilmu). Anda telah menguasainya dan memenuhi hak-haknya atas izin Allah s.w.t. Kepada-Nya kita tengadah memohon pertolongan, karena Dia-lah sebaik-baik pemberi pertolongan dan kemudahan. Dia-lah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara para penyayang. Tiada daya dan kekuatan melainkan atas pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. (Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *