❀ Diketik oleh: al-Marhumah: Ibu Rini ❀
ILMU YANG BERMANFAAT
Kalahkan Nafsu dengan Ilmu
Ibnu Athaillah berkata, “Ketahuilah bahwa ketika kata ilmu disebut berulang kali dalam Al-Quran dan sunnah, maksudnya adalah ilmu bermanfaat yang dilengkapi rasa takut dan cemas. Hal itu ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya: ‘Hamba yang takut kepada Allah hanya yang berilmu.’ (7951) Allah menegaskan bahwa ilmu selalu diiringi rasa takut. Dia juga berfirman, ‘Orang yang diberi ilmu sebelumnya,’ (7962) ‘Orang yang mendalam ilmunya,’ (7973) dan Dia berfirman, ‘Katakan (wahai Muhammad), ya Allah, tambahkan ilmu kepadaku.’ (7984) Nabi saw. bersabda, ‘Ulama adalah pewaris para nabi.’ (7995) Ilmu yang disebutkan dalam ayat dan hadis tersebut adalah ilmu yang bermanfaat yang mampu mengalahkan nafsu dan menghancurkan syahwat. Makna itu sangat jelas karena firman Allah dan sabda Rasulullah saw. mengarah kepada itu semua, tidak pada yang lain.”
Nabi saw berdoa:
اللهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.“ (8006)
Sering kali ilmu menjadi sesuatu yang buruk dan merusak lantaran pemiliknya jauh dari Tuhan, berorientasi pada popularitas, dan selalu disibukkan dunia. Ilmu yang dimiliki manusia semacam itu hanya akan menjadi ilmu yang merusak dan berbahaya. Ilmu yang bermanfaat adalah yang mendekatkan dirimu kepada Allah. Ilmu yang bermanfaat akan membuatmu mampu mengalahkan nafsu dan menjauhkan dirimu dari segala keinginannya. Ilmu yang bermanfaat adalah keadaan ruhani (ahwal) yang dimiliki oleh orang yang memahami kalam Allah dan sabda Rasulullah saw.
Nabi saw. juga mengingatkan agar jangan sampai orang yang berilmu menjadikan segala sesuatu selain Allah sebagai tujuannya. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Barang siapa menuntu ilmu yang seharusnya ditujukan untuk mencari rida Allah, tetapi ia mempelajarinya untuk mendapatkan dunia, kelak pada hari kiamat ia tidak akan mencium bau surga.” (8017)
Nabi saw. bersabda, “Barang siapa menuntut ilmu agar ia dapat membanggakan diri di antara para ulama, untuk mendebat orang bodoh, dan untuk menarik perhatian manusia maka tempatnya adalah neraka.” (8028)
Ilmu yang disertai rasa takut adalah ilmu tentang jalan menuju surga, pengetahuan tentang detail-detail penyakit jiwa, dan berbagai factor yang merusak amal, pengetahuan tentang kehinaan dunia, keinginan kuat menuju nikmat akhirat, dan rasa cemas yang selalu bersarang di hati. Inilah yang disebut “fiqh” (pemahaman) di masa-masa awal. Dalilnya adalah firman Allah, “Untuk memperdalam fikih (pengetahuan) tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga diri. (8039)
Ilmu (fiqh) semacam itu akan mendatangkan peringatan dan rasa takut kepada pemiliknya. Jadi, fikih dalam pengertian ini bukanlah cabang-cabang permasalahan hukum, seperti tentang talak, li’an, transaksi sewa-menyewa, dan sebagainya. Fikih semacam itu tidak memunculkan peringatan dan rasa takut kepada pemiliknya. Jika hanya itu yang menjadi topik kajian maka fikih semacam itu hanya akan mengesatkan hati dan mencabut rasa takut dari pemiliknya.
Ilmu yang Mendatangkan Rasa Takut kepada Allah
Ibnu Athaillah berkata, “Ilmu yang bermanfaat adalah yang membantu menuju ketaatan, mendatangkan rasa takut kepada Allah, dan menjaga rambu-rambu-Nya. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu tentang Allah. Orang yang banyak berbicara tentang tauhid tetapi mengabaikan syariat berarti telah mencampakkan dirinya dalam samudera kekufuran. Jadi, orang yang benar-benar alim adalah yang didukung oleh hakikat dan terikat oleh syariat. Karenanya, seorang ahli hakikat tidak boleh hanya menetapi hakikat atau berhenti hanya pada tataran syariat lahiriah. Namun, ia harus berada di antara keduanya. Berhenti pada syariat lahiriah saja adalah syirik, sementara hanya menetapi hakikat tanpa terikat oleh syariat adalah sesat. Petunjuk dan hidayah terletak di antara keduanya.”
Ibnu Athaillah mengatakan dalam hikmahnya yang lain, “Sebaik-baik ilmu adalah yang disertai rasa takut.” Sebab, Allah Swt. memuji orang yang berilmu (ulama) karena mereka memiliki rasa takut, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Yang takut kepada Allah hanya hamba-Nya yang berilmu.” (80410) Setiap ilmu yang tidak disertai rasa takut tidak akan memberikan kebaikan. Bahkan, pemiliknya tidak bisa disebut sebagai orang berilmu (alim).
Dalam hikmah yang lain ia mengatakan, “Ilmu yang disertai rasa takut akan memberi manfaat kepadamu. Jika tidak, ilmu itu akan menjadi penyebab bencana.” Ilmu yang disertai rasa takut akan memberimu manfaat, karena dengan ilmu itu kau mendapat manfaat dunia dan akhirat. Sebaliknya, ilmu yang hampa dari rasa takut akan menjadi penyebab bencana, karena ilmu seperti itu membahayakan dan merusak jiwa pemiliknya.
Puncak ilmu adalah mengenal Allah dan karunia-Nya serta menyadari bahwa hanya Dia yang patut disembah.
Kemudian Ibnu Athaillah berkata, “Orang yang banyak berbicara tentang tauhid tetapi tidak mempedulikan syariat berarti telah mencampakkan dirinya dalam samudera kekufuran. Jadi, orang yang betul-betul alim adalah yang didukung oleh hakikat dan terikat oleh syariat. Demikian pula dengan ahli hakikat, ia tidak boleh hanya berjalan bersama hakikat atau berhenti hanya pada lahiriah syariat. Namun ia harus berada di antara keduanya. Berhenti pada sisi lahiriah saja adalah syirik, sementara berjalan bersama hakikat saja tanpa terikat dengan syariat merupakan bentuk penyimpangan. Petunjuk dan hidayah terletak di antara keduanya.”
Dalam hadis terkenal yang diriwayatkan oleh Umar ibn al-Khattab r.a. disebutkan bahwa agama terbagi ke dalam tiga pilar. Dalam hadis itu, Jibril menemui Nabi saw. dan para sahabat dalam bentuk laki-laki. Setelah dialog tentang tiga pilar agama dengan Rasulullah saw., Jibril pun berlalu pergi. Nabi saw. bersabda kepada Umar, “Ia adalah Jibril. Ia datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.”
Pilar pertama adalah Islam. Ini merupakan aspek praktis yang meliputi ibadah, muamalah, dan berbagai bentuk ubudiyah. Pelakunya adalah seluruh anggota badan. Para ulama menyebutnya dengan istilah syariat. Ilmu tentang ini secara khusus dipelajari dan dikembangkan oleh para fukuha.
Pilar kedua adalah iman. Ini merupakan sisi keyakinan yang bertempat dalam hati. Pilar kedua ini meliputi iman kepada Allah, malaikat, kitab suci, para rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar. Ilmu tentang ini secara khusus dipelajari dan dikembangkan oleh para ulama tauhid.
Pilar ketiga adalah ihsan. Ini merupakan sisi ruhani yang terdapat dalam hati. Ihsan berarti, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Jika kau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.” Para ulama menyebut pilar ketiga ini dengan istilah hakikat.
Ketiga pilar ini saling berhubungan dan tak dapat dipisahkan. Untuk memperjelas hubungan antara syariat dan hakikat, contoh jelasnya terdapat dalam shalat. Berbagai gerakan dan aktifitas lahiriah yang dilakukan seraya memperhatikan rukun dan syarat shalat serta berbagai hal lain yang dijelaskan oleh para fukuha mencerminkan sisi syariat. Bagian ini merupakan jasmaninya shalat. Sementara, kehadiran hati bersama Allah dalam shalat mencerminkan sisi hakikat. Ini merupakan ruh shalat.
Jadi, kita melihat ada keterpautan yang sangat kuat antara syariat dan hakikat, seperti keterpautan antara ruh dan jasad. Mukmin yang sempurna adalah yang menggabungkan antara syariat dan hakikat.
Kalangan yang melihat hakikat tanpa disertai syariat dapat digolongkan ke dalam kelompok Jabbariyah, yang beranggapan bahwa manusia tidak memiliki pilihan sedikit pun dalam segala urusan. Karenanya, mereka mengabaikan hukum syariat dan pengalamannya. Mereka juga menghapus hikmah yang terkandung dalam hukum-hukum syariat.
Makna inilah yang dimaksud oleh Syekh Abdul Qadir al-jailani rahimahullah ketika berkata, “Setiap hakikat yang tidak disertai syariat adalah kufur. Terbanglah menuju Tuhan dengan sayap Al-Quran dan Sunnah. Masuklah sementara tanganmu berpegang pada tangan Rasulullah saw.” (80511)
Ia tidak menyetujui pandangan yang menyatakan gugurnya kewajiban syariat dalam keadaan tertentu. Dalam keadaan tersebut seorang salik dibolehkan meninggalkan kewajiban syariat. Syekh Abdul Qadir menentang pandangan semacam itu. Ia mengatakan, “Meninggalkan ibadah yang wajib adalah perbuatan zindik (kufur). Mengerjakan segala yang dilarang adalah maksiat. Kewajiban tidak boleh ditinggalkan oleh siapa pun.” (80612)
Orang yang mengatakan bahwa maksud agama adalah hakikat semata, berarti telah mencampakkan hukum syariat. Mereka telah tersesat, menyimpang, dan zindik. Dalam ungkapan Ibnu Athaillah, mereka “telah mencampakkan diri dalam samudera kekufuran.”
Catatan: