Shalat Orang Yang Khusyuk – Sayyid Abdul Husain Dastghaib – Orang Yang Khusyuk (3/3)

Shalat Orang Yang Khusyuk
Sayyid Abdul Husain Dastghaib
Penerjemah & Editor : Irwan Kurniawan
Penerbit : Yayasan Bahtera Cinta Al Musthofa

(lanjutan)

Seandainya rasa cinta tanah air (akhirat) tertanam kuat di dalam hati, maka itulah “keimanan sejati”. Namun, jika keadaannya terbalik dan hati manusia melekat pada dunia, maka itu adalah sebuah tanda kelemahan iman, sebagaimana firman Allah Swt dalam kisah Bal’am bin Ba’ura:

وَلَاكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَواهُ

..tetapi dia cenderung pada dunia dan mengikuti hawa nafsunya.” (QS al-A’raf [7]: 176)

Hal itu karena hatinya melekat pada dunia ini.

SHALAT ADALAH OBAT BAGI KELALAIAN

Setiap saat dari waktu-waktu siang dan malam yang dilalui seseorang, keterikatannya terhadap dunia semakin bertambah dan pengabaiannya terhadap akhirat biasanya semakin meningkat, sehingga selubung hati menjadi semakin rapat dan karatnya semakin kuat. Oleh karena itu, Allah Swt, dengan rahmat dan kasih-sayang- Nya, mengirim obat di tangan Rasulullah saw untuk menghilangkan karat di hati sehingga cahaya iman dan makrifat bersinar, dan menyembuhkan banyak penyakit ruhani yang menimpa hati, salah satunya yang paling utama adalah: kelalaian. Obat ini adalah shalat yang terdiri dari beberapa perbuatan, perkataan, dan syarat-syarat lahiriah dan batiniah, yang akan kami jelaskan secara rinci, insya Allah. Terbukti dengan sendirinya bahwa hasil penting dari shalat tidak akan diperoleh tanpa kehadiran hati ketika melakukan perbuatan dan perkataan itu.

TIPUAN SETAN DALAM SHALAT

Di sisi lain, bisikan dan muslihat setan yang dilontarkannya ke dalam pikiran orang-orang yang shalat adalah bahwa tidak wajib adanya kehadiran hati dalam shalat, dan para fukaha yang menjadi rujukan kita pun tidak mengeluarkan fatwa mengenai kewajibannya. Oleh karena itu, kita tidak berusaha untuk memperolehnya dan tidak mempedulikannya. Padahal, perlu diketahui bahwa para ulama dan fukaha menyebutkan dua macam syarat shalat:

Pertama, syarat-syarat yang diperlukan dalam keabsahan shalat, yaitu jika syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka shalat tidak perlu diulang pada waktunya ataupun diqadha di luar waktunya. Hal ini diwujudkan dengan ijzā (memadai), yang jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka shalat menjadi tidak sah dan akan mendatangkan azab. Ini di samping cabang-cabang lain yang disebutkan dalam kitab-kitab fikih, seperti kesucian dari hadas dan najis.

Kedua, syarat-syarat yang berdampak pada diterimanya dan sempurnanya shalat, sehingga menjadi bekal untuk akhirat, seperti kehadiran hati, yang tanpanya shalat tidak ada manfaatnya, betapapun benarnya. Selain itu, orang yang shalat tidak akan memperoleh pahala yang besar serta mencapai derajat kedekatan dan maqam muqarrabin, yakni orang-orang yang dekat dengan Allah, tanpa kehadiran hati di dalam shalat.

Di sini, mungkin ada yang bertanya: Jika kehadiran hati itu begitu penting, lalu mengapa tidak termasuk dalam syarat-syarat sahnya shalat sehingga orang yang shalat harus memperhatikannya?

MENGHILANGKAN KESULITAN DAN BEBAN

Jawabannya adalah: Sekiranya kehadiran hati itu wajib dalam semua shalat fardhu dan menjadi salah satu syarat sahnya shalat, niscaya akan sulit dan menjadi beban bagi sebagian besar orang. Hal itu merupakan perkara yang sulit, yang tidak mungkin dilakukan oleh semua orang, sehingga akan menjadi beban di luar kemampuan mereka.

Adapun barangsiapa yang benar-benar mencari kebahagiaan dan kesempurnaan, hendaklah ia memperkuat hasrat dan tekadnya dengan berusaha memperoleh faedah dari shalat. Setiap orang mempunyai kesiapan dan kemampuan untuk mencapai kesempurnaan tersebut, sehingga ia mesti berusaha untuk memanfaatkan kemampuan tersebut dan mengubahnya dari potensi menjadi aksi.

Jika Anda tidak bisa menunaikan keseluruhan shalat dengan kehadiran hati, maka paling tidak, jangan melakukan seluruhnya dengan kelalaian total. Seseorang tidak boleh sepenuhnya menghilangkan anugerah Ilahi, dan tidak membuka jalan bagi keputusasaan untuk masuk ke dalam hatinya dengan mengetahui bahwa kehadiran hati memiliki banyak tingkatan. Ketika ia menenangkan dirinya dan berniat untuk menghadirkan hatinya dalam shalat, maka Allah Swt akan menganugerahinya taufik dan menolongnya agar kehadiran hatinya dalam shalat yang akan datang semakin bertambah. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam hadis qudsi berikut:

مَن تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا

“Barangsiapa mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatkan kepadanya sehasta.” (HR Al-Bukhari, no. 7405)[]