Surah al-Insan 76 ~ Tafsir Sayyid Quthb (3/5)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-Insan 76 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Kemudian diperkenalkanlah sikap hidup orang-orang baik sebagai hamba-hamba Allah itu yang telah dipastikan mendapatkan keni‘matan dan kesenangan ini dengan firman-Nya:

يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَ يَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْرًا. وَ يُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيْنًا وَ يَتِيْمًا وَ أَسِيْرًا. إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لَا نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَ لَا شُكُوْرًا. إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوْسًا قَمْطَرِيْرًا.

Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang ‘adzābnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhāan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (‘adzāb) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” (al-Insān: 7-10).

Inilah gambaran yang jelas dan transparan bagi hati yang tulus, serius, dan kuat kemauannya untuk menunaikan tugas-tugas ‘aqīdahnya karena Allah, disertai dengan rasa kasih-sayang yang teduh terhadap sesama hamba-hamba Allah yang lemah, bersikap lebih mengutamakan orang lain daripada diri sendiri, merasa sedih dan takut kepada Allah, mengharapkan ridhā-Nya, dan takut akan ‘adzāb-Nya, yang dipicu oleh ketaqwāannya dan keseriusannya di dalam memandang kewajibannya yang berat.

Mereka menunaikan nadzar”, maka dilaksanakanlah ketaatan-ketaatan yang sudah menjadi tekadnya, ditunaikanlah kewajiban-kewajibannya. Mereka laksanakan urusan itu dengan serius dan tulus, dan tidak berusaha melakukan tipu-daya untuk melepaskan diri dari tanggungjawab, tidak ingin melepaskan beban dan tugasnya setelah bertekad untuk melaksanakannya. Inilah ma‘na dari “mereka menunaikan nadzar”. Kalimat ini lebih luas cakupannya daripada pengertian “nadzar” menurut tradisi sebagaimana yang dipahami sepintas kilas oleh manusia.

Dan mereka takut akan suatu hari yang ‘adzābnya merata di mana-mana….” Mereka mengerti betul sifat dan keadaan hari kiamat itu, yang keburukan dan ‘adzābnya merata di mana-mana, dan menimpa orang-orang yang suka mengabaikan kewajiban dan berbuat jahat. Maka mereka takut jangan sampai ‘adzābnya mengenai dirinya.

Begitulah tanda orang-orang yang bertaqwā, yang merasakan betapa beratnya kewajiban dan besarnya tugas yang diembannya, yang merasa takut jangan-jangan ia menguranginya dan tidak menunaikannya dengan sempurna, meski bagaimanapun mereka telah melakukan pendekatan dan ketaatan kepada Allah.

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (al-Insān: 8).

Ayat ini menggambarkan perasaan yang baik, lembut, dan bagus yang tercermin dalam tindakan memberi makan orang-orang miskin, padahal dia sendiri mencintainya karena membutuhkannya. Terhadap hati semacam ini tidak pantas dikatakan bahwa ia suka memberi makan kepada orang-orang lemah yang membutuhkannya dengan makanan yang tidak ia perlukan. Sebenarnya ia sendiri memerlukan makanan itu, akan tetapi ia lebih mementingkan orang-orang yang lebih membutuhkannya.

Hal ini menunjukkan kerasnya langkah Makkah di kalangan kaum musyrikīn, bahwa mereka tidak menaruh perhatian sedikit pun terhadap orang-orang lemah yang membutuhkan pertolongan, meskipun mereka biasa mengorbankan harta yang banyak untuk berbangga-banggaan. Adapun hamba-hamba Allah yang baik-baik itu, maka mereka adalah sumber air yang sejuk di tengah panasnya kebakhilan ini. Mereka memberi makan kepada orang-orang miskin dengan jiwa yang lapang, dengan hati yang penuh kasih-sayang, dengan niat yang ikhlas dan bersih dari tujuan yang bukan-bukan, dan selalu menghadap kepada Allah dengan melakukan berbagai ‘amalan, sebagaimana diceritakan keadaan mereka oleh ayat-ayat itu, dengan bahasa yang menyentuh qalbu.

Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhāan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (‘adzāb) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” (al-Insān: 9-10).

Inilah kasih-sayang yang melimpah dari hati yang lembut dan penyayang, yang selalu menghadap kepada Allah untuk mendapatkan ridhā-Nya, dan tidak mencari balasan dari makhlūq dan tidak pula mengharapkan ucapan terima-kasih dari orang lain, tidak bermaksud mencari popularitas dan menyombongi atau mengungguli orang-orang yang berkeperluan itu. Mereka lakukan semua itu karena hendak menjaga diri dari bencana hari kiamat yang menjadikan orang bermasam-muka penuh kesulitan, yang ia takuti mengenai dirinya, yang ia jaga dan lindungi dirinya dengan melakukan pemeliharaan dan penjagaan semacam ini. Rasūlullāh s.a.w. pun telah memberi petunjuk kepada mereka dengan sabdanya:

اِتَّقِ النَّارَ وَ لَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ.

Jagalah dirimu dari api neraka walaupun dengan membari bantuan separo butir kurma.

Memberi makan secara langsung seperti ini merupakan implementasi dari jiwa yang lembut, cerdas, dan mulia, dan sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan. Akan tetapi, bentuk-bentuk kebaikan dan cara-caranya berbeda-beda sesuai dengan lingkungan dan kondisi. Oleh karena itu, tidak dibayangkan dalam gambaran ini secara mendasar dan langsung, melainkan bahwa yang harus dijaga adalah perasaan hati, hidupnya perasaan, dan keinginan terhadap kebaikan karena mengharapkan ridhā Allah, dan memberisihkannya dari motivasi-motivasi duniawi seperti menginginkan balasan, ucapan terima-kasih, atau kemanfaatan hidup lainnya.

Telah diatur jenis-jenis bantuan, telah diwajibkan tugas-tugas, dan telah ditentukan tanggungjawab sosial, dan tindakan-tindakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang yang berkebutuhan. Akan tetapi, semua ini baru satu sisi saja dari sisi-sisi pengarahan Islam yang dipaparkan dalam ayat-ayat tersebut, dan yang dimaksud adalah kewajiban zakat….. Bagian ini adalah untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan bantuan…. Sedang bagian lain adalah membersihkan jiwa orang-orang yang memberikan bantuan itu, dan mengangkatnya kepada posisi yang mulia. Ini merupakan sisi yang tidak boleh dilupakan dan diremehkan, apalagi dibalik tolok ukurnya lalu dicacat, dijelek-jelekkan, dan dinodai, dan dikatakan bahwa yang demikian itu berarti menghina orang-orang yang menerima dan merusak yang memberi.

Islam adalah ‘aqīdah bagi hati dan manhaj tarbiyah “sistem pendidikan” bagi hati ini. Hati yang mulia akan mendidik pemiliknya dan suka memberi manfaat kepada saudara-saudaranya yang datang menghadap kepadanya. Maka cukuplah bagi hati dengan kedua sisi pendidikan yang dimaksudkan oleh agama ini untuknya.

Oleh karena itu, terlukislah sesuatu yang bagus bagi perasaan atau hati yang mulia ini:

فَوَقَاهُمُ اللهُ شَرَّ ذلِكَ الْيَوْمِ وَ لَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَ سُرُوْرًا.

Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.” (al-Insān: 11).

Rangkaian ayat ini begitu cepat menyebut pemeliharaan Allah kepada mereka dari kesusahan hari itu yang sangat mereka takuti, untuk menenteramkan hati mereka di dunia ketika mereka sedang menghadapi al-Qur’ān ini dan membenarkannya. Disebutkan bahwa mereka akan mendapatkan pencerahan wajah dan kegembiraan dari Allah, dan hari kiamat itu baginya bukan hari bermuram-durja yang penuh dengan kesulitan, sebagai balasan yang sesuai dengan rasa takut mereka kepada Allah dan kengerian hari itu ketika hidup di dunia, dan sesuai dengan kesejukan hati mereka dan kecerahan perasaan mereka.

Kemudian dipaparkan sifat-sifat keni‘matan surga yang akan mereka dapatkan:

وَ جَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُوْا جَنَّةً وَ حَرِيْرًا.

Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (berupa) surga dan (pakaian) sutra” (al-Insān: 12).

Surga yang mereka tempati dan sutra yang mereka pakai.

مُتَّكِئِيْنَ فِيْهَا عَلَى الْأَرَائِكِ، لَا يَرَوْنَ فِيْهَا شَمْسًا وَ لَا زَمْهِرِيْرًا.

Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang bersangatan” (al-Insān: 13).

Mereka duduk bersantai ria, sedang udara di sekitarnya segar dan ni‘mat, hangat, tetapi tidak panas dan gerah, segar tapi tidak dingin. Tidak ada terik matahari yang menyengat, tidak pula dingin yang sangat. Dapatlah kita katakan bahwa alamnya adalah alam yang lain, yang di sana tidak ada matahari seperti matahari kita, dan tidak ada matahari-matahari lain seperti di dalam tata surya kita….. Cukuplah kita katakan begitu saja!

وَ دَانِيَةً عَلَيْهِمْ ظِلَالُهَا وَ ذُلِّلَتْ قُطُوْفُهَا تَذْلِيْلًا.

Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya.” (al-Insān: 14).

Apabila naungan rerimbunan pohon-pohon surga dekat kepada mereka, dan buah-buahannya mudah diambil, maka inilah kesenangan dan keni‘matan yang dapat dijangkau oleh khayalan.

Inilah kondisi umum bagi surga yang akan dibalaskan Allah buat hamba-hambaNya yang baik-baik yang dilukiskan sifat-sifatnya oleh ayat-ayat di atas dengan gambaran yang bagus, lembut, dan cerah di dunia….

Kemudian datanglah perincian keni‘matan dan layanan di sana…….

وَ يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِآنِيَةٍ مِنْ فِضَّةٍ وَ أَكْوَابٍ كَانَتْ قَوَارِيْرَاْ. قَوَارِيْرَاْ مِنْ فِضَّةٍ قَدَّرُوْهَا تَقْدِيْرًا. وَ يُسْقَوْنَ فِيْهَا كَأْسًا كَانَ مِزَاجُهَا زَنْجِبِيْلًا. عَيْنًا فِيْهَا تُسَمَّى سَلْسَبِيْلًا.

Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak dan piala-piala yang bening laksana kaca, (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya. Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil.” (al-Insān: 15-18).

Mereka berada di dalam kesenangan dan keni‘matan, sambil duduk-duduk di antara naungan dedaunan yang rimbun dan buah-buahannya yang dekat serta udaranya yang segar….. Diedarkan kepada mereka minuman-minuman di dalam bejana-bejana perak dan gelas-gelas perak, akan tetapi peraknya jernih bagaikan kaca, yang belum pernah ada di dunia bejana perak yang seperti itu. Bejana-bejana yang besarnya telah diukur sedemikian rupa sehingga terlihat apik dan indah. Kemudian minumannya dicampur dengan zanjabīl dan adakalanya dicampur dengan kāfūr. Bejana-bejana dan gelas-gelas perak itu diisi dari mata air yang bernama Salsabīl, karena sangat tawar dan segar bagi orang-orang yang meminumnya!

Untuk menambah keni‘matan, maka yang mengedarkan bejana-bejana dan gelas-gelas yang berisi minuman ini adalah anak-anak kecil dengan wajah yang cerah ceria, yang tidak pernah dimakan masa dan usia. Mereka abadi dalam usia muda dan usia anak-anak yang lucu-lucu dan ceria. Mereka di sini dan di sana bagaikan mutiara yang bertaburan,

وَ يَطُوْفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُخَلَّدُوْنَ إِذَا رَأَيْتَهُمْ حَسِبْتَهُمْ لُؤْلُؤًا مَنْثُوْرًا.

Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka mutiara yang bertaburan.” (al-Insān: 19).

Kemudian, secara global ayat berikutnya melukiskan garis-garis pemandangan itu, dan memberikan pemandangan yang sempurna yang diringkas di dalam hati dan pandangan,

وَ إِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيْمًا وَ مُلْكًا كَبِيْرًا.

Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai keni‘matan dan kerajaan yang besar.” (al-Insān: 20).

Keni‘matan dan kerajaan yang besar. Di sanalah hidup hamba-hamba Allah yang baik-baik dan dekat kepada-Nya. Kehidupan yang dilukiskan secara garis besar dan umum.

Kemudian disebutkan secara khusus salah satu bentuk keni‘matan dan kerajaan yang besar itu, seakan-akan sebagai penjabaran dan penafsiran terhadap keglobalan di atas:

عَالِيَهُمْ ثِيَابُ سُنْدُسٍ خُضْرٌ وَ اِسْتَبْرَقٌ وَ حُلُّوْا أَسَاوِرَ مِنْ فِضَّةٍ وَ سَقَاهُمْ رَبُهُمْ شَرَابًا طَهُوْرًا.

Mereka memakai pakaian sutra halus yang hijau dan sutra tebal, dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih.” (al-Insān: 21).

Sundus adalah sutra halus dan istibraq adalah sutra tebal…..Perhiasan dan keni‘matan ini semua mereka terima dari Tuhan mereka. Itu adalah pemberian yang mulia dari Maha Pemberi Yang Maha Mulia. Dan, ini menambah nilai keni‘matan itu!

Kemudian mereka peroleh pula kasih-sayang dan penghormatan:

إِنَّ هذَا كَانَ لَكُمْ جَزَاءً وَ كَانَ سَعْيُكُمْ مَشْكُوْرًا.

Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan).” (al-Insān: 22).

Mereka terima ucapan ini dari alam tertinggi, dan ucapan ini sebanding dengan seluruh keni‘matan itu, dan memberikan nilai tersendiri yang melebihi nilai keni‘matan itu sendiri.

Demikianlah paparan terperinci dan bisikan yang mengesankan di dalam hati, bisikan terhadap keni‘matan yang bagus itu dan keterbebasan dari rantai, belenggu, dan api neraka yang menyala-nyala…. Memang terdapat dua jalan kehidupan, jalan yang satu membawa manusia ke surga dan yang satunya lagi membawa ke neraka!

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *