يَعْلَمُوْنَ مَا تَفْعَلُوْنَ
Entitas atau kekuatan—ke mana kita dihubungkan dan diikatkan oleh Realitas Tunggal—mengetahui apa yang kita lakukan meskipun intensitas pengetahuannya berbeda. Segala sesuatu yang kita lakukan akan mempengaruhi segala sesuatu yang lain dalam keseimbangan ekologis yang mutlak ini. Setiap perbuatan kita akan meninggalkan kesan pada kekuatan sensitif yang menguasai serat kosmik yang halus. Itulah mengapa kita mengatakan, “Allah sangat mengetahui”, dan “Allah memiliki pengetahuan atas segala sesuatu.”
Allah adalah al-‘Alīm (Yang Maha Mengetahui [semua]). Jika kita bertambah dalam ‘ilm (pengetahuan, kearifan), maka kita akan mendekati al-‘Alīm, sehingga kebodohan akan berkurang. Ibaratnya, saat cangkir menjadi penuh maka apa yang berada dalam cangkir dan cangkirnya sendiri sudah dapat dipahami sebagai membentuk satu sistem, karena agar ada isi maka harus ada wadah. Inilah makna dari tema di mana seorang guru agung berkata: “Satukan minuman dengan cangkir dan lenyaplah olehnya (minuman-cangkir sudah menjadi ‘satu’ sistem—peny.).”
Meskipun kedua sistem itu nampak berbeda, yang satu cair dan satunya lagi padat, manusia adalah penghubung, ruang antara (barzakh), maka ia harus menghubungkan batin dengan lahir. Dari sudut pandang ‘ārif billāh (orang yang mengenal Allah), tidak ada yang namanya batin ataupun lahir. Yang ada hanyalah Allah, Realitas Tunggal, yang memanifestasikan diri dalam berbagai bentuk penciptaan.
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍ
Surah ini dimulai dengan mendeskripsikan dampak besar di hari kiamat (akhir dunia), yang deskripsinya meliputi akhir kita sendiri, dan kemudian memberi kita kabar baik tentang kenikmatan. Akar kata abrār (bebas, adil, baik hati) adalah barra (bersikap adil). Barr adalah ‘permukaan tanah yang luas’, tapi maknanya lebih dari sekadar gurun pasir. Kata ini menunjukkan ruang, keterbukaan dan pandangan yang jelas. Barr adalah lawan dari baḥr (laut). Di atas barr segala sesuatu nampak jelas, tapi dalam baḥr segala sesuatu tersembunyi di bawah permukaan.
Na‘īm (kebahagiaan, damai, sentosa) barasal dari na‘ama (hidup senang dan tenteram, berbahagia, lembut). Na‘am artinya ‘ya’. Ni‘mah Allah adalah nikmat Tuhan. Di antara sifat dasar manusia adalah membenarkan karunia Allah. Keadaan abrār yang sesungguhnya akan merefleksi ke tempat tinggal di masa akan datang, dan di sana yang akan mereka dapati tak lain hanyalah kenikmatan atau kesenangan semata.
وَ إِنَّ الْفُجَّارَ لَفِيْ جَحِيْمٍ
Siapa pun yang hidup bertentangan dengan sifat dan hakikat dirinya, maka ia telah melakukan kejahatan terhadap dirinya sendiri. Seorang fājir adalah orang yang menjerumuskan dirinya ke dalam pelanggaran, orang yang telah melampaui batas-batas agama, melampaui batas-batas sifat luhurnya. Dari sudut pandang ini, mereka yang melanggar batas (fujjār) berada dalam neraka. Kehidupan neraka sama dengan kerusuhan, pergolakan yang tiada henti dan matinya stabilitas. Itulah keadaan yang dapat dirasakan tidak hanya setelah kematian tapi juga dalam kehidupan ini.
يَصْلَوْنَهَا يَوْمَ الدِّيْنِ
Yawm (hari) tidak hanya berarti suatu jangka waktu dua puluh empat jam, tapi juga keadaan pikiran. Dari sisi manusia yawm kita adalah dua puluh empat jam, tapi yawm Allah berbeda, bisa sepanjang 50.000 tahun, seperti yang dikatakan al-Qur’an.
Orang-orang yang melanggar (fujjār) akan menyentuh api pada Hari Pengadilan, hari dimana utang-utang harus dibayar. Setiap detik adalah saat di mana kita bisa membayar utang-utang kita, sehingga kalau kita mau membayar utang setiap saat maka kita akan berada dalam keseimbangan. Jika kita mencoba menyembunyikan utang-utang kita, maka Yawm al-dīn (Hari Pengadilan atau Perhitungan) menjadi hari kematian kita dari kehidupan ini. Ini adalah Hari Pengadilan yang lebih kecil. Hari Pengadilan yang lebih besar akan tiba bila sudah tidak ada lagi yang dibiarkan tersembunyi.
وَ مَا هُمْ عَنْهَا بِغَائِبِيْنَ
Ghā’ib artinya ‘mangkir atau tersembunyi’. Pada hari kebenaran tidak akan ada yang bisa memangkirkan diri. Pada hari kebenaran, apakah sekarang ataupun nanti, segala sesuatu akan diperhitungkan, dan tidak akan ada tempat pelarian. Kita akan menyaksikan ternyata apa pun niat baik yang kita tanam akan langsung menghasilkan buah. Kita masing-masing akan menjadi saksi yang sesungguhnya, dan inilah makna sebenarnya dari syahādah (penyaksian langsung). Jika kita tidak secara terus-menerus mengelola niat-niat kita di sini dan saat ini, maka kita akan berurusan dengan semua niat kita kelak sekaligus dalam waktu bersamaan. Cara untuk memahami hal ini adalah dengan mengetahui apa niat-niat kita dan sudah seperti apa mereka.
Kunci menuju kesuksesan adalah Allah. Jika seseorang mencintai Allah maka tidak ada pilihan baginya selain sukses dalam dunia ini. Ia akan memperhitungkan setiap detik yang berlalu dan tidak menunda-nundanya. Hanya orang-orang bodoh yang tidak mau memeriksa catatannya karena mengira mereka telah mengacaukannya. Tapi jika mereka sadar bahwa keseimbangan itu demi kepentingan mereka, maka mereka akan selalu ingin melihatnya. Jika kita memperhitungkan (menghisab) diri kita setiap saat, maka kita akan bersih.
Imām Ḥasan, yang mengutip dari Nabi Muḥammad, datuknya, berkata: “Orang yang takut kepada Allah tidak akan pernah takut kepada hamba-hamba Allah, sedangkan orang yang takut kepada hamba-hamba Allah tidak takut kepada Allah’. Ini karena hamba Allah, maksudnya semua manusia, adalah bayangan dari dirinya sendiri. Dan jika seseorang takut kepada Allah, maka sebagaimana juga dikatakan oleh Imām Ḥasan: “Orang yang ingin menyenangkan Allah akan menemukan bahwa dunia senang kepadanya, dan orang yang ingin menyenangkan dunia akan menemukan bahwa Allah tidak senang kepadanya.”
Jika pada setiap saat kita siap mempertanggungjawabkan segala sesuatu kepada Allah seakan-akan kita baru saja dibangkitkan dari kubur, seakan-akan niat-niat kita disingkapkan dari dada kita, maka kita akan bebas dari segala belitan dan akan menemukan diri kita lebih berdayaguna. Akal kita akan menjadi lebih tajam karena ia merupakan kemampuan yang harus dikembangkan, dan kita akan berlaku seolah-olah kita selalu siap menyerahkan seluruh kehidupan kita kepada-Nya untuk diperiksa.
Kita menunda-nunda untuk mengintrospeksi diri kebanyakan karena kita tidak ingin mengganggu khayalan-khayalan kita yang sudah lazim. Tapi setiap aksi ada reaksinya yang sebanding dan berlawanan. Segala sesuatu dalam kehidupan sesuai dengan adabnya, dan semakin kita mengetahui adab tersebut, semakin kita berdayaguna dalam setiap situasi. Pengetahuan ini, sebenarnya, terdapat dalam hati kita. Adab berhubungan dengan seberapa siap kita menghadapi neraca rugi-laba kita.
وَ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّيْنِ
Apa yang kita ketahui tentang Hari Perhitungan? Mengapa tidak terjadi sekarang saja? Karena alasan inilah maka bila seorang muslim tidak berhasil, kita pun tahu bahwa ia tidak berada dalam Islam. Jika seseorang tidak berhasil, berarti ada yang salah. Ini bukan pengadilan atas dirinya, karena hal itu adalah urusan antara dia dengan Allah, tapi itulah jalan ilmu pengetahuan yang sejati. Hamba Allah yang sejati tidak membuang-buang waktu. Jika ia tidak berhasil, berarti ia telah bertindak salah; barangkali ia tidak melakukan pemilah-milahan yang tepat, tidak memutuskan dengan benar, atau tidak berembuk dengan benar; barangkali ia terikat pada sesuatu.
Jika kita siap menghadapi segala sesuatu dalam diri kita setiap saat, kita menemukan bahwa ketika kita melihat dan mengenal semua ular dan kalajengking yang telah kita sembunyikan, kita akan mengetahui bagaimana mengatasi mereka agar tidak menyengat atau menggigit kita. Dengan demikian kita memasuki kesadaran. Itulah sebabnya kita mengatakan bahwa orang-orang yang telah sampai pada lingkaran batin para kekasih Allah akan senantiasa berubah. Dengan kesadaran setengah detik saja, mereka mengetahui sifat mereka sebenarnya, realitas mereka yang sebenarnya. Apabila seseorang sungguh-sungguh mengetahui keadaan hatinya, apabila dia benar-benar, secara total dan dengan tulus sadar, maka ia telah mencapai tujuannya.
Hari Pengadilan (yawm-ud-dīn) hanyalah sehari, sejenak, sepenggal detik, namun ia juga suatu kondisi. Apakah sekarang kita sedang menghisab diri kita? Adalah menyimpang dari pokok pembicaraan kalau kita mengajukan pertanyaan tentang saat akhir. Kita tidak dapat melihat ‘saat’ itu sebab kita bergairah dengan hari esok. Antisipasi ini diakibatkan oleh keinginan untuk melarikan diri dari kedalaman ‘saat’ itu yang menakjubkan dan tiada berujung yang sedang kita habiskan dengan sia-sia. Kita harus belajar melihat keindahan dari kejahatan yang nampak, kedalaman dari saat ini serta maknanya, dan juga melihat bagaimana terjadinya serta jalan apa yang ditempuh sehingga terjadi dengan cara seperti ini. Kita harus belajar melihat kesempurnaan dan melihat tanpa menilai.
ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّيْنِ
Ayat 17 diulangi di sini dalam rangka mencamkan persoalan. Tanda-tanda apa lagi yang kita butuhkan? Jalannya adalah ilmu yang mutlak; itulah jalan shafā (kesucian, kebersihan).
يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْئًا وَ الْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ للهِ
Jika seseorang sadar tidak memiliki kekuasaan atau kekuatan atas apa pun atau siapa pun dan melepaskan kekuasaan dan kepemilikan sekarang juga, maka Yawm-ud-dīn adalah Yawmu amrillāh (Hari perintah atau komando Allah kepadanya). Pada saat itu kita berada’ dalam syirk (yakni kita menyekutukan Allah) kalau kita berkata: “Ini antara Allah dengan aku”. Yawm ini, hari ini, dibagi antara Allah dan kita, karena kita bingung mengenai mana ketetapan Allah dan mana yang semata-mata tingkah kita sendiri. Kita tidak dapat membedakan antara wahm (khayalan) dan hawā (keinginan), atau apa yang telah Allah tuliskan. Allah telah menuliskan hal-hal yang harus diikuti menurut hukum yang pasti. Jika kita melanggarnya, kita akan hancur, lahir maupun batin.
Yawm-ud-dīn diartikan sebagai ‘Hari di mana tidak ada jiwa yang memiliki kekuasaan [untuk melakukan] apa pun demi kepentingan jiwa lainnya’. Dengan kata lain, setiap orang benar-benar dan sama sekali bertanggung jawab atas dirinya sendiri sekarang juga, tanpa ada alasan bertanggung jawab atas orang lain sebelum bertanggung jawab atas dirinya sendiri, karena akhirnya hanya ada satu jiwa. Masing-masing orang bertanggung jawab atas segala sesuatu; tidak ada yang terpisah, tapi pertama-tama kita harus tahu siapa kita. Jika kita telah melakukannya, maka kita dapat menyambut Hari Perhitungan dengan hati bersinar.