Jejak-Jejak Wali Allah | Bab IV | Pandangan Dan Wasiat Imam Syadzili | Etika Uzlah I (1/2)

Jejak-Jejak Wali Allah - Melangkah Menuju Gerbang Kewalian Bersama Syekh Abu Hasan Al-Syadzili
Oleh: Muhammad Ibn Abi-Qasim Al-Humairi
Penerjemah : Saiful Rahman Barito (Mumtaz Arabia)
Penerbit : Erlangga

B. Etika Uzlah (Pertama)

Ketahuilah, semoga Allah SWT mengukuhkanmu, bahwa jika kamu ingin sampai kepada Allah SWT, minta tolonglah kepada Allah. Duduklah di atas permadani ketulusan, seraya ber-musyahadah, berzikir kepada-Nya dengan sebenarnya. Ikatlah hatimu dengan ibadah murni di atas jalan makrifat, dan senantiasalah bersyukur, murâqabah (mawas diri), tobat, dan istigfar (mohon ampun kepada Allah).

Sekarang saya akan menjelaskan kalimat ini agar tidak terjadi kesalahan dan kekeliruan padanya dalam upaya mencapai wushul (sampai kepada Allah). Yaitu, bahwa kamu mengucapkan: Allah.. Allah..,” misalnya, atau zikir apa saja, seraya senantiasa mengawasi hatimu dengan ketakwaan dengan meninggalkan upaya pembelaan terhadap dirimu (penolakan sesuatu dari diri) atau upaya perolehan untuknya.

Dan, kamu dapat menjumpai hal itu dalam dua ayat dari kitab Allah SWT, “Atau siapakah dia yang menjadi tentara bagimu yang akan menolongmu selain daripada Allah yang Maha Pemurah?” (QS. Al-Mulk [67] 2). Ayat ini mengenai penolakan dari diri. Dan, mengenai upaya perolehan adalah firman Allah SWT, “Atau siapakah dia yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya? (QS. Al-Mulk (67): 21)

Sementara itu, kesinambungan zikir adalah kamu mengucapkan dengan lisanmu dan mengawasi hatimu. Maka, apa saja yang datang dari Allah kepadamu berupa kebaikan, kamu menerimanya. Dan, apa yang menghampirimu dari kebalikannya, kamu membencinya dengan kembali kepada Allah dalam upaya penolakan dan upaya perolehan, sebagaimana yang telah saya jelaskan untukmu.

Dan, janganlah kamu berupaya menolak atau memperoleh sesuatu untuk dirimu, kecuali dengan Allah. Lalu, apabila sesuatu melumuri mata-batinmu berupa dosa, aib, atau memandang kepada suatu amal saleh, atau hal (keadaan) yang indah, maka bergegaslah tobat dan istigfar dari semua itu. Tobat dari dosa atau aib wajib hukumnya menurut syariat. Sedangkan tobat dari memandang kepada amal saleh atau keadaan yang indah, maka itu tergantung illat- nya (alasannya). Ambillah pelajaran dan istigfar Nabi SAW setelah mendapatkan kabar gembira dan keyakinan karena mengetahui (keampunan) dosanya yang telah lalu dan yang akan berlalu. Dan, ini dari seorang ma’shum (terpelihara) yang tidak melakukan dosa sedikit pun. Lantas, bagaimana menurutmu dengan orang yang tidak terlepas dari dosa atau aib dari waktu ke waktu (seperti kita-ed.)?

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *