Ihya Ulumiddin: Perubahan Makna Sebagian dari Kata yang Berkaitan dengan Ilmu – Bagian 2

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Bab Ketiga

Mengapa Ilmu Menjadi Tercela

 

Mengenai ilmu yang dianggap oleh orang kebanyakan sebagai terpuji, padahal sebenarnya tidak (yakni tercela).
Di dalamnya berisikan penjelasan tentang apa yang menyebabkan ilmu itu menjadi tercela, serta batasan atas ilmu yang terpuji maupun tercela.
Juga penjelasan di seputar penggantian nama menjadi Fikih, Tauhid, Ilmu Tadzkir dan Hikmah.

Perubahan Makna Sebagian dari Kata yang Berkaitan dengan Ilmu – Bagian 2

Ada beberapa hadits yang berkaitan dengan keutamaan majelis zikir. Seperti pada sabda Rasulullah s.a.w.: “Jika kalian melewati kebun di antara kebun-kebun surga, maka bersenang-senanglah di dalamnya.” Beliau s.a.w. pernah ditanya oleh para sahabat beliau: “Apakah yang dimaksudkan dengan kebun-kebun di antara kebun surga?” Beliau menjawab: “Majelis zikir (majelis yang di dalamnya tengah mengingat Allah ‘azza wa jalla.” (1441) Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda: “Para malaikat Allah bertebaran di seluruh penjuru langit maupun bumi, kecuali malaikat yang mengawal penciptaan makhluk. Ketika mereka menyaksikan ada sebuah majelis zikir, segera mereka saling memanggil seraya berkata: “Datanglah kalian ke tujuan masing-masing!” Mereka kemudian tiba di tempat itu, mengelilingi majelis zikir yang ada, lalu ikut mendengarkan tausiyah di dalamnya. Oleh karena itu, segeralah kalian mengingat Allah dengan menarik pelajaran yang terdapat di dalam majelis zikir, dan berilah peringatan dirimu dengan melakukannya.” (1452).

Majelis zikir dimaksud adalah majelis yang di dalamnya diisi dengan pemberian tausiyah tentang Islam, pengkajian ilmu dan penyampaian materi dakwah. Di dalamnya juga diisi degnan diskusi yang dimotori oleh nara sumber yang menyampaikan tausiyah, dengan membubuhkan (menyelipkan) kisah-kisah teladan, dan kalimat hikmah lainnya. Sedangkan praktik semacam itu saat ini sungguh jauh berbeda. Mayoritas majelis zikir diisi hanya dengan senda-gurau, lantunan irama dan nyanyian yang dicuplikkan dari bacaan al-Qur’an, di mana pada masa khulafa’-ur-Rasyidin praktik-praktik semacam itu sangat ditentang. Dan, pada zaman Rasulullah s.a.w. masih hidup, praktik semacam itu tidak pernah ada. (1463).

Mengisahkan cerita yang tidak ada kaitannya dengan dakwah Islam di dalam masjid adalah perbuatan bid‘ah. Ibnu ‘Umar r.a. suatu hari keluar dari masjid seraya mengatakan: “Tidak ada orang yang dapat mengeluarkanku dari masjid kecuali pendongeng yang ada di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal r.h. mengatakan: “Manusia yang banyak menghiasi lisannya dengan kebohongan adalah pendongeng dan peminta-minta.”

Imam ‘Ali r.a. juga pernah mengusir seorang pendongeng dari masjid jami‘ Bashrah. Pada kesempatan berbeda (lain), ‘Ali tidak mengusir pendongeng di masjid yang sama, karena al-Hasan Bashri sebagai pendongeng kala itu menyampaikan cerita tentang kisah yang berhubungan dengan akhirat, merenungkan kematian, menjelaskan seputar kelemahan qalbu, dan bagaimana memelihara diri dari godaan setan. Inilah jenis majelis yang tentangnya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Hadir di dalam majelis zikir lebih baik daripada shalat seribu raka‘at, mengunjungi seribu orang sakit dan mendatangi seribu pemakaman.” (1474).

Imam ‘Atha’ berkata: “Satu majelis zikir menghapuskan dosa tujuh puluh majelis yang di dalamnya diisi dengan pembicaraan yang tidak berguna.” Nabi Muhammad s.a.w. pernah mendengar tiga ucapan dari ‘Abdullah bin Rawahah, lalu berpesan kepadanya: “Wahai Abu Rawahah, jauhkan dirimu dari ucapan-ucapan yang tidak berguna.” (1485). Suatu hari ‘Abdullah bin Rawahah bertanya kepada Nabi s.a.w. tentang diat (1496) untuk seorang anak yang meninggal dunia dalam kandungan, kemudian mengatakan: “Bagaimana kami harus membayar diat untuk seorang anak yang belum makan, minum, menangis, serta belum pula sempat menghidup udara alam dunia? Apakah bentuk pembunuhan seperti itu dimaafkan?” Kemudian Nabi s.a.w. menjawab: “Apakah engkau hendak berlaku seperti orang ‘Arab dusun yang suka pada ucapan-ucapan yang tidak berguna, wahai ‘Abdullah bin Rawahah?” (1507).

Berkenaan dengan persoalan sya‘ir, pemakaiannya yang sering dalam dakwah tidaklah dianjurkan. Sebagaimana Allah s.w.t. telah berfirman:

وَ الشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُوْنَ. أَلَمْ تَرَى أَنَّهُمْ فِيْ كُلِّ وَادٍ يَهِيْمُوْنَ

Tentang para penya‘ir, mereka diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah engkau melihat bahwasanya mereka mengembara di setiap lembah.” (asy-Syu‘arā’ [26]: 224-225).

Allah s.w.t. juga berfirman:

وَ مَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَ مَا يَنْبَغِيْ لَهُ

Kami tidak mengajarkan sya‘ir kepada Muhammad, dan sya‘ir itu tidak patut baginya.” (Yasin [36]: 69).

Selanjutnya, apa yang disampaikan oleh para penya‘ir dalam dakwah mereka kebanyakan berupa kisah cinta, pemaparan kecantikan orang yang dicinta, kebahagiaan bersatu dan kepedihan berpisah dengan orang yang dicinta. Ini lebih membangkitkan nafsu seksual dan berahi ketimbang gairah atas menjalankan aturan agama. Akan tetapi, ada pula sya‘ir yang mengandung kebijaksanaan dan hikmah, terutama sajak-sajak yang banyak dibawakan oleh kaum sufi. Nabi s.a.w. pernah bersabda mengenai sya‘ir semacam itu:

إِنَّ مِنَ الشِّعْرِ لَحِكْمَةً

Tersedia hikmah di dalam sya‘ir.” (1517).

Sebaliknya, kita dilarang menyampaikan sesuatu yang tidak bisa dipahami dengan baik oleh pendengarnya. Sebab, semua itu potensial menyebabkan kerancuan di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana disebut dalam sabda Beliau s.a.w.:

مَا حَدَّثَ أَحَدُكُمْ قَوْمًا بِحَدِيْثٍ لَا يَفْقَهُوْنَهُ إِلَّا كَانَ فِتْنَةً عَلَيْهِمْ

Tidaklah salah seorang di antara kalian menerangkan sebuah hadits mengenai suatu persoalan kepada segolongan orang yang tidak mampu memahaminya, selain setelahnya akan muncul fitnah di tengah-tengah mereka.” (1528).

Juga pada sabda Rasulullah s.a.w. lainnya:

كَلِّمُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ، وَ دَعُوْا مَا يَنْكِرُوْنَ أَتُرِيْدُوْنَ أَنْ يَكْذِبَ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ

Berbicaralah atau sampaikan sesuatu kepada orang banyak menggunakan kata-kata (kalimat) yang mudah mereka pahami. Dan segera tinggalkan (jauhi) apa saja yang memunculkan pertentangan (potensi konflik) di antara mereka. Apakah kalian hendak mendustai Allah dan Rasul-Nya dengan melakukan semua itu (menyampaikan sesuatu yang menyulitkan orang lain dan potensial mengundang pertentangan)?” (1539).

Nabi ‘Isa a.s. berkata: “Janganlah kalian percayakan bertanya mengenai ilmu hikmah kepada yang bukan ahlinya. Sebab, kalian akan berbuat aniaya terhadap ilmu hikmah itu sendiri. Dan, janganlah kalian menentang jika ilmu hikmah itu disampaikan oleh seseorang yang memang menjadi ahlinya. Sebab, sama saja artinya dengan kalian telah berlaku aniaya terhadap sang ahli hikmah itu. Hendaknya kalian berlaku sebagaimana seorang dokter yang penuh kasih-sayang dalam mengobati dan merawa pasiennya, yang memberikan obat sesuai dengan penyakit yang tengah diderita oleh si pasien.”

Dalam redaksi yang agak berbeda Nabi ‘Isa a.s. juga pernah berkata: Siapa saja yang meletakkan ilmu hikmah kepada yang bukan ahlinya, maka ia seperti orang yang jahil. Dan siapa saja yang melarang ilmu hikmah ada pada ahlinya, maka sungguh ia telah berbuat aniaya. Ilmu hikmah itu memiliki hak dan sekaligus ahlinya. Oleh itu, berikanlah kepada semua yang ahli atas haknya.”

Contoh dari muatan kalimat yang mengandung hikmah dan sering disalahgunakan, atau keliru di dalam penta’wilannya, adalah terhadap firman Allah s.w.t.:

اِذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى

Pergilah kepada Fir‘aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas.” (Thāhā [20]: 24).

Ayat ini mensitir kepada siapa yang tidak menempatkan kalimat hikmah pada qalbu manusia. Sebab, kedurhakaan manusia sangat bergantung kepada baik buruk dari kualitas qalbunya; bukan hanya terletak pada objek Fir‘aun sebagai contoh yang digambarkan.

Juga pada contoh dari firman Allah s.w.t. berikut ini:

وَ أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ

Dan lemparkanlah tongkatmu itu.” (al-Qashash [28]: 31).

Hikmah di balik perintah menghempaskan tongkat yang tengah digenggam oleh Nabi Musa a.s. kemudian disalahartikan dengan mena’wilkannya menjadi terlalu jauh dari maksud yang sesungguhnya. Inilah dua contoh jika kalimat hikmah itu meluncur dari lisan mereka yang bukan ahlinya, maka akan berubah fungsi serta pemahamannya.

Sedangkan contoh lain yang juga sering disalah-ta’wil-kan, seperti yang terdapat dalam sabda Rasulullah s.a.w. berikut ini:

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السُّحُوْرِ بَرَكَةٌ

Bersabarlah kalian. Sebab, dalam santap sahur yang kalian konsumsi dan jalankan terkandung keberkahan bagi masing-masing kalian.” (15410).

Kandungan makna kata hikmah yang tersimpan dalam perintah makan sahur sudah selayaknya di-ta’wil-kan sesuai dengan kehendak dari perintah itu sendiri; bukan dengan membawanya kepada makna selain darinya. Pada redaksi yang agak berbeda Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: “Bersahurlah kalian.” (15511) Atau: “Marilah kita manfaatkan mengomsumsi makanan di waktu yang mengandung keberkahan ini (waktu sahur).” (15612).

Terdapat ancaman yang cukup lugas terhadap siapa saja yang berani mena’wilkan maksud yang terkandung dalam isi al-Qur’an maupun as-Sunnah Nabi, tanpa didasari oleh ilmu yang mumpuni atas keduanya. Seperti pernah disabdakan oleh Rasulullah s.a.w.:

مَنْ فَسَّرَ الْقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Siapa saja yang berani mena‘wilkan ayat suci al-Qur’an hanya berdasar pada ra’yu-nya semata – tanpa didukung oleh penjelasan yang didapat dari keterangan ahlinya –, maka telah disediakan untuknya tempat duduk yang dibuat dari bara api neraka.” (15713).

Tindakan semacam itu merupakan bentuk aniaya yang nyata. Oleh karena itu, Nabi s.a.w. pernah berdo‘a khusus untuk Ibnu ‘Abbas r.a., agar terhindar dari tindakan aniaya semacam itu:

اللهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَ عَلَّمَهُ التَّأْوِيْلُ

Ya Allah, anugerahkanlah kepada Ibnu ‘Abbas pemahaman yang mumpuni dalam urusan agama ini, dan ajarkan kepadanya (bimbinglah ia) atas penta‘wilan yang akan di lakukan.” (15814).

Semua itu Nabi s.a.w. lakukan demi mengantisipasi apa yang sudah pernah ditegaskan melalui sabda beliau berikut ini:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Siapa saja yang berani mengatakan sesuatu atas namaku, padahal semua itu hanyalah dusta belaka, maka telah disediakan untuknya tempat duduk yang dibuat dari bara api neraka.” (15915).

Adapun kata ḥākim diturunkan dari kata hikmah yang kini digunakan dalam kaitannya dengan para thabib, para ahli perbintangan, dan mereka yang dianggap mampu meramal masa depan orang dengan memeriksa telapak tangan. Meskipun telah nyata atas adanya firman Allah s.w.t. tentang apa yang dimaksud dengan ilmu hikmah (kebijaksanaan), sebagai berikut:

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَ مَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا وَ مَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُوا الْأَلْبَابِ

Dia (Allah) memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa saja yang diberikan hikmah, maka ia telah memperoleh kebaikan yang banyak.” (al-Baqarah [2]: 269).

Nabi s.a.w. juga pernah bersabda:

كَلِمَةٌ مِنَ الْحِكْمَةِ يَتَعَلَّمُهَا الرَّجُلُ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَ مَا فِيْهَا

Sebutir kalimat yang mengandung hikmah dan dipelajari oleh seseorang jauh lebih baik nilainya daripada dunia berikut isinya.” (16016).

Setelah itu, mari kita perhatikan bersama contoh dari makna kata yang begitu banyak digunakan di antara kita. Suatu hari, salah seorang bertanya kepada Rasulullah s.a.w.: “Siapakah makhluk yang terburuk, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini.” Setelah sahabat itu mengulangi pertanyaan yang sama, Rasulullah s.a.w. mengatakan: “Mereka adalah ulama yang buruk (menyalahgunakan ilmunya).” (16117).

Semoga setelah ini Pembaca bisa memahami tentang ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela, juga bagaimana hubungan di antara keduanya. Sekarang pilihlah salah satu dari keduanya. Jika menginginkan kebaikan, anda boleh mengikuti jalan para auliya’ Allah dan ahli hikmah terdahulu. Dan jika anda menginginkan yang lain, maka anda dapat mengikuti jalan generasi yang datang kemudian. Hampir semua pengetahuan yang dicintai oleh para ahli hikmah telah berganti dengan yang muncul belakangan. Sebagaimana Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيْبًا وَ سَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ

Islam pada awal kedatangannya dianggap asing, dan suatu hari nanti akan kembali dianggap asing seperti kedatangannya semula. Oleh karena itu, berbahagialah bagi orang yang saat itu dianggap asing.” (16218).

Ada sahabat yang mengajukan pertanyaan kepada beliau: “Siapakah orang yang danggap asing itu, ya Rasulullah?” Beliau s.a.w. menjawab: “Mereka yang memurnikan Sunnahku, setelah banyak manusia mencemarinya. Juga mereka yang menghidupkan kembali Sunnahku itu, setelah banyak manusia memadamkannya.” Dalam riwayat yang lain beliau menjawab: “Orang-orang yang dianggap asing itu berpegang teguh dengan apa yang kalian pegang teguh saat ini.” (16319) Pada riwayat lainnya juga dijawab oleh Nabi s.a.w.: “Mereka adalah orang-orang terbaik, yang jumlah mereka sangat sedikit di tengah-tengah manusia fasik yang berjumlah sangat banyak.” (16420).

Ilmu-ilmu semacam yang saya sebutkan tadi telah dianggap asing dalam pandangan manusia akhir zaman, hingga siapa saja yang mempelajari atau mengajarkannya kepada pihak lain seolah telah dikucilkan dari kehidupan umum (modern). Sufyan ats-Tsauri r.h. pernah berkata: “Apabila di akhir zaman nanti kalian mendapati seorang alim (ulama) memiliki banyak pengikut, maka dapat dipastikan bahwa kebenaran pada saat itu telah bercampur dengan tandingannya. Hingga kita akan semakin sulit memilah mana yang benar dan mana yang tidak.”

Catatan:

 


  1. 144). Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari hadits Anas bin Malik r.a., dan menyatakan statusnya ḥasan. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, riwayat ini disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kitab Sunan miliknya, hadits nomor 3510, dengan isnād yang lemah (dha‘īf) pada diri Muhammad bin Tsabit al-Bannani. Kelemahan riwayat ini telah disepakati, disebabkan apa yang pernah disampaikan sendiri dari ayahnya (ayah dari Muhammad bin Tsabit al-Bannani), Imam al-Bannani). Imam al-Albani menyebutkan riwayat ini dalam adh-Dha‘īfah, hadits nomor 1150. 
  2. 145). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun ‘alaih), dari hadits Abu Hurairah r.a. Diriwayatkan pula oleh Imam at-Tirmidzi dengan redaksi yang sedikit berbeda. 
  3. 146). Hadits yang menyatakan bahwa praktik semacam itu tidak pernah ada di zaman Rasulullah s.a.w. masih hidup, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari hadis ‘Umar r.a., dengan isnād ḥasan. 
  4. 147). Takhrīj mengenai riwayat ini telah dijelaskan pada pembahasan terdahulu. 
  5. 148). Pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abi Ya‘la, Ibnu Sunni dan Abu Nu‘aim dalam ar-Riyādhah redaksinya bukan seperti itu, dari hadits ‘A’isyah r.a. dengan isnād shaḥīḥ. Redaksi yang dimaksudkan adalah: “Sesungguhnya Nabi s.a.w. dan para sahabat beliau tidak suka mengatakan sesuatu yang tidak berguna.” Sedangkan pada redaksi riwayat Ibnu Hibban menggunakan kalimat: “Jauhkanlah dirimu dari segala sesuatu (ucapan) yang tidak berguna.” Imam Bukhari juga meriwayatkan hadits serupa dengan redaksi yang berlainan melalui jalur Ibnu ‘Abbas r.a. 
  6. 149). Diat adalah uang pengganti atas darah yang ditumpahkan atau denda – penerj. 
  7. 150). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits al-Mughirah, dan status isnād-nya shaḥīḥ. 
  8. 152). Diriwayatkan oleh al-‘Uqaili dalam adh-Dhu‘afā’. Juga oleh Ibnu Sunni dan Abu Nu‘aim dalam ar-Riya’, dari hadits Ibnu ‘Abbas r.a. dengan isnād yang lemah (dha‘īf). Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim pada pendahuluan kitab Shaḥīḥ miliknya secara mauqūf pada Ibnu Mas‘ud r.a. 
  9. 153). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara mauqūf pada ‘Ali bin Abi Thalib r.a. Sedangkan Abu Manshur ad-Dailami menyatakan statusnya marfū‘, sebagaimana dijelaskan dalam Musnad-ul-Firdaus, dari jalur periwayatan Abu Nu‘aim. 
  10. 154). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun ‘alaih), dari hadits Anas bin Malik r.a. 
  11. 155). Redaksi ini berkaitan dengan apa yang kita konsumsi dalam aktivitas sahur. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari hadits Anas bin Malik r.a., dari Nabi s.a.w. Juga diriwayatkan dari jalur Zaid bin Tsabit r.a. dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun kandungan maknanya sama. 
  12. 156). Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Imam an-Nasa’i dan Ibnu Hibban dari hadits ‘Irbadh bin Sariyyah, dan dilemahkan (di-dha‘īf-kan) oleh Ibnu Qaththan. Akan tetapi, riwayat ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dengan redaksi ini, Sebagaimana dinyatakan dalam Shaḥīḥ-ul-Jāmi‘, hadits nomor 7043, dari sumber yang sama, ‘Irbadh. 
  13. 157). Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari hadits Ibnu ‘Abbas r.a. dan meng-ḥasan-kannya. Seperti itu pula pada riwayat Abu Dawud dari jalur Ibn-ul-‘Ubbad. Demikian pula oleh Imam an-Nasa’i dalam al-Kibri. Menurut Imam al-Albani, riwayat ini lemah (dha‘īf). Saya (muḥaqqiq) berpendapat, bahwa cacat yang terdapat pada riwayat ini bersumber pada ‘Abd-ul-A‘la bin ‘Amir ats-Tsa‘labi. Hanya ia. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam at-Taqrīb, bahwa perawi selain dirinya (‘Abd-ul-A‘la bin ‘Amir ats-Tsa‘labi) bisa dipercaya. Sementara itu, Imam adz-Dzahabi meletakkan riwayat ini dalam adh-Dhu‘afā’. Demikian pula dengan Imam Ahmad dan Abu Zar‘ah juga turut melemahkannya dengan meletakkan riwayat ini dalam as-Silsilat-udh-Dha‘īfah, hadis nomor 1783. 
  14. 158). Do‘a ini khusus Nabi s.a.w. panjatkan kepada Allah s.w.t. untuk Ibnu ‘Abbas r.a. sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari hadits Ibnu ‘Abbas dengan tidak menyertakan redaksi: “dan ajarkan kepadanya (bimbinglah ia) atas usaha ta’wil yang akan ia lakukan.” Adapun tambahan redaksi dimaksud terdapat dalam riwayat yang disampaikan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim. Lalu dikatakan, bahwa isnād-nya shaḥīḥ. 
  15. 159). Diriwayatkan oleh Imam Bakhari dan Imam Muslim (Muttafaqun ‘alaih), dari hadits Abu Hurairah dan Anas bin Malik r.a. 
  16. 160). Takhrīj hadis ini telah disebutkan pada pembahasan terdahulu. 
  17. 161). Diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi dengan redaksi yang sedikit berbeda dari jalur al-Ahwash bin Hakim, dari ayahnya secara mursal, sedangkan isnād-nya lemah (dha‘īf). Diriwayatkan pula oleh Imam al-Bazzar dalam Musnad miliknya dari hadits Mu‘adz bin Jalam r.a. dengan sanad lemah (dha‘īf). 
  18. 162). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah r.a. secara ringkas. Dan, lebih lengkap muatannya dalam riwayat yang disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi dari hadits ‘Amru bin ‘Auf r.a., dan Imam at-Tirmidzi menyatakan statusnya ḥasan. 
  19. 163). Pernyataan Nabi s.a.w. yang menyebutkan pensifatan seputar makna kata “asing” ini tidak saya (muḥaqqiq) jumpai sumber asal periwayatannya. 
  20. 164). Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits ‘Abdulalh bin ‘Umar r.a. Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Musnad miliknya, Jilid 1, hadits nomor 177 dan 222. Imam Nashiruddin al-Albani menyebutkan riwayat ini dalam Shaḥīḥ-ul-Jāmi‘, hadits nomor 2921, dengan isnād yang kuat (shaḥīḥ). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *