Ihya Ulumiddin: Perubahan Makna Sebagian dari Kata yang Berkaitan dengan Ilmu – Bagian 1

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Bab Ketiga

Mengapa Ilmu Menjadi Tercela

 

Mengenai ilmu yang dianggap oleh orang kebanyakan sebagai terpuji, padahal sebenarnya tidak (yakni tercela).
Di dalamnya berisikan penjelasan tentang apa yang menyebabkan ilmu itu menjadi tercela, serta batasan atas ilmu yang terpuji maupun tercela.
Juga penjelasan di seputar penggantian nama menjadi Fikih, Tauhid, Ilmu Tadzkir dan Hikmah.

Perubahan Makna Sebagian dari Kata yang Berkaitan dengan Ilmu – Bagian 1

Kebanyakan manusia telah mengubah makna asal dari kata atau istilah yang biasa kita kenal dengan sebutan fikih, ilmu, tauhid, tadzkir dan hikmah. Setelah itu, mereka beramai-ramai memberikan makna hasil kreasi mereka sendiri. Akibatnya, ilmu-ilmu tersebut saat ini menjadi kurang bernilai, baik dalam urusan mencarinya maupun dalam pengamalannya dalam keseharian kita.

Ilmu fikih (ilmu agama), saat ini ilmu fikih cenderung dipahami sebagai ilmu yang menangani seputar kasus dan atau perkara hukum yang tidak lazim, misteri di balik urusan yang detail, bahkan detail-detail terkecil dari persoalan hukum manusia yang pada akhirnya memunculkan perdebatan berkepanjangan tentangnya. Adapun para pihak yang memberikan perhatian khusus terhadap ilmu fikih dengan mempelajarinya secara mendalam disebut sebagai faqīh (ahli ulama fikih). Pada abad pertama Islam, ilmu fikih memiliki makna yang berbeda, yaitu ilmu tentang jalan menuju akhirat dan pengetahuan tentang masalah yang membawa manfaat maupun mudharat bagi jiwa. Juga pengetahuan tentang makna al-Qur’an dan dominasi taqwa atas jiwa manusia. Semua itu bisa dibuktikan melalui firman Allah ‘azza wa jalla berikut ini:

لِّيَتَفَقَّهُوْا فِي الدِّيْنِ وَ لِيُنذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ

Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama, dan untuk memberi peringatan kepada masing-masing kaum apabila mereka telah kembali ke wilayah masing-masing.” (at-Taubah [9]: 122).

Ilmu fikih adalah ilmu yang memberi peringatan dan arahan sebagaimana disebutkan oleh firman Allah s.w.t. di atas. Di samping itu, ilmu fikih juga lebih dari sekadar hukum-hukum terinci tentang jual-beli, talak (thalaq), sewa-menyewa, dan sebagainya. Seperti telah difirmankan oleh Allah s.w.t.

لَهُمْ قُلُوْبٌ لَا يَفْقَهُوْنَ بِهَا

Mereka mempunyai qalbu, akan tetapi tidak berusaha memahami (ayat-ayat Allah) dengannya.” (al-A‘rāf [7]: 179).

Yang dimaksud dengan ahli ilmu fikih pada pengertian ayat ini adalah pemahaman yang mengandung bukti keimanan seorang hamba, bukan atas fatwa (pendapat hukum) yang diberikan. Ini dibuktikan dengan firman Allah s.a.w. berikut:

لَأَنْتُمْ أَشَدُّ رَهْبَةً فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِنَ اللهِ

Sesungguhnya keberadaan kalian dalam qalbu mereka lebih ditakuti daripada Allah.” (al-Hasyr [59]: 13).

Disebabkan penempatan posisi yang keliru menyebabkan orang-orang yang berjiwa hipokrit (munafik) itu salah di dalam meletakkan perasaan takut yang seharusnya. Makna dari kata al-fiqh dengan al-fahm menurut tinjauan bahasa adalah dua isim (nama) dengan satu pengertian yang berbeda fungsi (penggunaan). Sebagaimana Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

عُلَمَاءٌ فُقَهَاءٌ

Ulama itu sudah pasti seorang ahli fikih (fuqaha’).” (1361).

Mereka yang hidup bersama dan atau sezaman dengan Rasulullah s.a.w. tidak mengenal detail-detail hukum seperti yang disebutkan di atas. Seseorang pernah bertanya kepada Sa‘ad bin Ibrahim: “Siapakah ahli (ulama) fikih yang terbesar di Madinah?” Sa‘id menjawab: “Orang yang paling takut kepada Allah ‘azza wa jalla.” Jawaban Sa‘ad ini mengisyaratkan, bahwa sikap taqwa merupakan dampak atau hasil dari pemahaman fikih yang diamalkan. Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. pernah berkata: “Maukah kalian aku beri tahu tentang seorang ahli fikih yang sempurna?” Para sahabat menjawab: “Tentu, ya Rasulullah.” Beliau melanjutkan: “Seorang ulama fikih yang sempurna adalah siapa yang tidak memutuskan manusia dari rahmat Allah Yang Maha Kasih, memberi harapan kebebasan dari hukuman Allah Yang Maha ‘Adil, tidak menghilangkan harapan dari kasih-sayangNya Yang Maha Penyayang, dan juga tidak meninggalkan al-Qur’an demi sesuatu yang lain.” (1372).

Anas bin Malik r.a. meriwayatkan sebuah hadits berikut:

لَأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى مِنْ غُدْوَةٍ إِلَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ

Sesungguhnya duduk bersama orang yang selalu berzikir kepada Allah ta‘ala sejak fajar hingga terbit matahari lebih aku sukai keutamaannya daripada memerdekakan empat orang budak.” (1383).

Anas bin Malik pun memalingkan pandangan ke arah. Zaid ar-Raqqasyi dan Ziyad-ul-Numairi seraya berujar: “Tidaklah majelis yang di dalamnya digunakan untuk mengingat Allah itu sebagaimana majelis yang ada saat ini, di mana salah seorang dari kalian memberikan pengajaran kepada lainnya dengan menyertakan riwayat-riwayat hadits di dalamnya. Sesungguhnya yang disebut sebagai majelis zikir itu adalah, kita duduk secara bersama-sama, lalu memperteguh keimanan dengan mengingat Allah, melalui cara-cara seperti mendalami (men-tadabburi) al-Qur’an, serta memahami aturan yang sudah Allah tetapkan di dalamnya (al-Qur’an). Di samping itu, tak lupa pula dengan mensyukuri seluruh nikmat yang telah Allah karuniakan kepada kita dengan sepenuh pemahaman, sebagaimana dituntunkan oleh Al-Qur’an. Dan, memahami al-Qur’an serta mensyukuri segala apa yang telah Allah anugerahkan kepada kita itu merupakan pemahaman fikih (fiqhiyyah).”

Nabi s.a.w. juga pernah bersabda:

لَا يَفْقَهُ الْعَبْدُ كُلَّ الْفِقْهِ حَتَّى يَمْقُتَ النَّاسَ فِيْ ذَاتِ اللهِ، وَ حَتَّى يَرَى الْقُرْآنِ وُجُوْهًا كَثِيْرَةً

Seorang hamba mustahil menjadi seorang ahli fikih yang sempurna jika tidak membuat manusia lain mengenal wujud (Dzat) Allah, dan sekaligus percaya bahwa di dalam al-Qur’an terdapat banyak sekali petunjuk yang mengarah ke sana (pemahaman atas keberadaan Dzat Allah).” (1394).

Diriwayatkan pula sebuah hadits yang berstatus mauqūf pada Abid-Darda’ r.a., ia berkata: “Setelah itu, hamba dimaksud menghadapkan dirinya sendiri untuk ber-muhasabah (melakukan introspeksi diri), lalu memahami kondisinya secara lebih mendalam.”

Imam al-Hasan al-Bashri r.h. pernah berkata: “Ulama fikih adalah mereka yang bersikap zuhud terhadap urusan dunia, bergairah dengan memperbanyak amalan akhirat, bijaksana dalam beragama, mantap dalam beribadah kepada Allah s.w.t., mencegah diri dari melukai kehormatan sesama Muslim, memelihara diri dari harta mereka, dan selalu menasihati kaum Muslim untuk bersikap hati-hati saat berada di alam dunia ini.”

Sebaliknya, Imam al-Hasan al-Bashri r.h. tidak mengatakan: “Ulama fikih adalah mereka yang hanya bersungguh-sungguh menghafal detail-detail hukum agama, tanpa memikirkan pengamalannya.”

Adapun kata ‘ilmu yang maksudnya adalah ilmu agama, yaitu ilmu tentang pengetahuan mengenai Allah s.w.t. dan sekaligus ayat-ayatNya. Ketika Khalifah ‘Umar Ibnul-Khaththab r.a. meninggal dunia, Ibnu Mas‘ud r.a. menyatakan: “Sembilan per sepuluh ilmu agama telah diangkat oleh Allah s.w.t. dari muka bumi ini.” Sementara sekarang ini orang hanya cenderung menggunakan istilah al-‘ilmu untuk tujuan memperdebatkan kasus-kasus hukum dengan lawan mereka, tanpa memikirkan apa yang dikehendaki oleh ilmu itu sendiri atas keberadaannya. Orang yang tidak dapat melakukan pemahaman semacam itu dianggap lemah, dan tidak layak dimasukkan dalam kategori orang yang berilmu. Akan tetapi, apa yang dapat dikatakan tentang kelebihan ilmu dan keutamaan orang berilmu berlaku atas orang-orang yang mengetahui hanya berdasar pada makna awal dari ilmu itu sendiri.

Makna kalimat tauḥīd sekarang ini lebih diarahkan kepada ilmu kalam (teologi), pengetahuan tentang metode-metode dan cara-cara berargumentasi, cara-cara berdebat dan berhadapan dengan lawan. Sebenarnya, ilmu tauhid adalah keyakinan bahwa semua wujud yang ada di alam ini berasal dari sisi Allah s.w.t., dan tidak selalu harus memperhatikan semua sebab di antara kejadian yang ada. Sekaligus mengimani, bahwa kebaikan dan akibat dari tindak kejahatan juga berdasar pada ketentuan Allah s.w.t. Adapun produk akhir dari ilmu tauhid adalah sikap tawakal, pasrah diri hanya kepada Allah Yang Maha Tinggi. Orang yang bertauhid adalah siapa saja yang percaya bahwa buah lain dari tauhid adalah menghindarkan diri dari mengeluh dan tidak melampiaskan kemarahan kepada sesama makhluk, serta tetap merasa puas (bersyukur) atas ketentuan dan taqdir Allah s.w.t. (1405).

Buah lain dari ilmu tauhid adalah seperti apa yang pernah diucapkan oleh Sayyidina Abu Bakar r.a. tatkala tengah menderita sakit. Para sahabat bertanya kepada Abu Bakar: “Wahai Khalifah, izinkanlah kami memanggil dokter untuk baginda.” Abu Bakar hanya menjawab: “Sang Maha Penyembuh atas sakitku hanyalah Allah s.w.t. sendiri, karena Dia yang telah menganugerahkan rasa sakit ini kepadaku.” Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Abu Bakar mengucapkan, sembari mengutip firman Allah s.w.t., Sang Maha Penyembuh telah berfirman: “Sesungguhnya Aku (Allah) berbuat sekehendak-Ku.” (1416).

Karena itu, tauhid merupakan buah yang sangat berharga dan terbungkus oleh beberapa lapisan kulit sebagai pelindungnya. Lapisan terluar mempunyai jarak yang begitu jauh dengan lapisan terdalam. Sekarang ini, kebanyakan manusia lebih suka mengambil kulitnya saja, dan dengan segera membuang isinya. Orang menyebutnya sebagai ilmu kulit dan mengabaikan ilmu isi. Makna lahiriah dari kalimat tauhid adalah mengucapkan Lā ilāha illalllāh (tiada tuhan selain Allah ‘azza wa jalla). Semua itu berbeda sangat tajam dengan ajaran trinitas orang-orang Nashrani. Kaum munafik juga mengucapkan kalimat serupa. Sedangkan ini dan kandungan tauhid adalah pengakuan dan pembenaran dengan qalbu terhadap apa yang diucapkan lisan. Dan, inilah yang tidak dilakukan oleh mereka (orang-orang munafik). Jiwa seorang Mu’min meyakini, bahwa apa yang diucapkan lisannya itu benar. Inilah tauhid sebenarnya yang mewarnai setiap urusan seseorang dengan Allah s.w.t., sehingga perhatiannya tidak bergeser ke perkara apa pun kecuali Allah. Sedangkan bagi mereka yang mengikuti hawa nafsu tidak akan pernah sesuai dengan keyakinan tauhid ini.

Allah s.w.t. telah berfirman:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلهَهُ هَوَاهُ

Tahukah engkau orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai Ilahnya?” (al-Jātsiyah [45]: 23).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

أَبْعَثُ إِلهٍ عُبِدَ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى هُوَ الْهَوَى

Sesembahan terburuk dan sangat dimurkai dalam pandangan Allah ta‘ala di muka bumi ini adalah memperturutkan hawa nafsu.” (1427).

Aktivitas menyembah berhala, sebagaimana pernah dilakukan oleh orang-orang terdahulu, dilakukan oleh manusia masa kini dalam bentuk lainnya disebabkan memperturutkan hawa nafsunya. Karenanya, jiwa orang semacam itu cenderung kepada agama nenek moyang. Apa yang telah mereka lakukan sama dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang bangun di pagi hari, kemudian berkata sambil menghadap ke arah qiblat:

إِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضَ حَنِيْفًا

Aku telah menghadapkan pandanganku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi.” (al-An‘ām [6]: 79).

Akan tetapi, jiwa mereka tidak menghadapkan pandangan kepada Allah s.w.t. Sikap semacam ini merupakan dusta yang mengawali hari mereka dengan kebohongan. Arah qiblat sesungguhnya yang dituju bukanlah arah Ka‘bah, melainkan Allah s.w.t. sebagai Pemilik Ka‘bah. Orang yang hanya menujukan pandangannya ke arah Ka‘bah belum bisa disebut mengarahkan wajahnya kepada Allah ‘azza wa jalla. Sebab, Allah tidak dibatasi oleh ruang dan arah pandang. Manusia yang bertauhid senantiasa mengarahkan jiwanya kepada oleh Allah s.w.t., dan tidak menujukkannya ke lain arah. Seperti telah diingatkan oleh Allah s.w.t. dalam firman-Nya:

قُلِ اللهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِيْ خَوْضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ

Katakanlah: “Allah-lah yang menurunkannya.” Kemudian, (sesudah engkau menyampaikan al-Qur’an kepada mereka,) biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatan – yang mereka kehendaki sendiri.” (1438) (al-An‘ām [6]: 91).

Adz-Dzikru wat-Tadzkir (ingat kepada Allah dan peringatan-Nya) adalah ilmu tentang bagaimana mengingat Allah s.w.t. dan ilmu tentang memahami peringatan-Nya. Sebagaimana Allah s.w.t. telah berfirman:

وَ ذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ

Berilah peringatan (tadzkir)! Karena peringatan itu sangat berguna bagi orang-orang yang beriman.” (adz-Dzāriyāt [51]: 55).

Catatan:


  1. 136). Hadits dengan redaksi berbeda (عُلَمَاءٌ حُكَمَاءٌ فُقَهَاءٌ.) “Ulama itu sudah pasti seorang ahli hukum adalah seorang ahli fiqih (fuqahā’),” diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam al-Ḥilyah. Juga oleh Imam al-Baihaqi dalam az-Zuhd. Diriwayatkan pula oleh Imam al-Khathib dalam at-Tārīkh, dari hadits Suwaid bin al-Harits dengan isnād lemah (dha‘īf). 
  2. 137). Diriwayatkan oleh Abu Bakar Lali dalam Makārim-ul-Akhlāq. Juga oleh Abu Bakar bin as-Sunni dan Ibnu ‘Abd-il-Barr dari hadits ‘Ali r.a. Ibnu ‘Abd-il-Barr berkata: mayoritas dari mereka yang meriwayatkan hadits ini menyatakan statusnya mauqūf kepada ‘Ali r.a. 
  3. 138). Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnād ḥasan. 
  4. 139). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abd-il-Barr dari hadits Syaddad bin ‘Aus. Lalu mengatakan, riwayat ini tidak bisa disebut sebagai riwayat yang berstatus marfū‘. 
  5. 140). Saya (muḥaqqiq) berpendapat, bahwa untuk menyikapi pemahaman di seputar akidah, terutama yang berkaitan dengan pemahaman yang mesti dibangun atas taqdir buruk yang menimpa manusia, maka saya sarikan pendapat yang disampaikan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah r.h. dalam tulisan beliau yang diberi judul Tharīq-ul-Hijratain, pada edisi yang sudah saya taḥqīq, terbitan Dar-ul-Hadits, halaman 91, “Sesungguhnya taqdir buruk yang sedang menimpa anak manusia merupakan bukti bahwa Allah s.w.t. menyayanginya, berupa memberi teguran atas pilihan keliru yang sudah ditempuh (diambil)nya, hingga mengakibatkan datangnya musibah yang menimpa. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. pada do‘a pembuka yang beliau panjatkan: “Aku memenuhi seruan-Mu ya Allah, dan memohon kebahagiaan dari sisi-Mu. Karena sesungguhnya segala bentuk kebaikan berada pada genggaman kekuasaan-Mu. Sedangkan segala bentuk keburukan bukanlah hasil akhir yang Engkau kehendaki dari hamba-Mu.” H.R. Imam Muslim. Jadi, dalil ini menyanggah pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan atas hasil akhir dari keburukan yang telah manusia lakukan itu bukan berasal dari ketentuan Allah s.w.t. Walau demikian, keburukan itu bukan bersumber dari sifat Allah Yang Maha Baik, juga bukan dari nama-Nya, Dzat-Nya, juga bukan bersumber dari kehendak atau perbuatan-Nya. Sebab, Dzat Allah terbebas dari segala bentuk kekurangan, seperti yang terdapat pada sisi hamba (makhluk). Demikian pula dengan sifat Allah seluruhnya, Yang Maha Sempurna dengan balutan kebaikan. Seluruh nama-Nya pun diliputi keindahan, tanpa cela maupun aib yang melingkupi. Semua perbuatan (af‘āl) Allah senantiasa diaungi hikmah, kasih-sayang, kebaikan kepada hamba, keadilan dan kebaikan. Dan, tidak akan pernah muncul dari perbuatan Allah yang bersifat merusak; sebaliknya, memperbaiki dan menjaga. Meskipun Allah s.w.t. juga menciptakan keburukan yang Dia tentukan sebagai penyeimbang bagi kebaikan hamba-Nya sendiri; bukan demi kepentingan-Nya. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, demikianlah penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di seputar pemahaman mengenai “amalan buruk yang telah dilakukan manusia.” Saran saya, merujuklah kepada pendapat ini, karena pendapat inilah yang terbaik. 
  6. 141). Lihat lebih lanjut dalam al-Burūj [85]: 6 – penerj. 
  7. 142). Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dari hadits Abu Umamah dengan isnād lemah (dha‘īf). 
  8. 143). Perkataan: biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatan – yang mereka kehendaki sendiri – adalah sebagai sindiran kepada mereka yang ingkar, seakan-akan mereka dipandang sebagai anak-anak yang belum mampu menggunakan akal dengan baik – penerj. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *