Bab Keempat
Manusia Suka Memperdebatkan Persoalan Khilafiyah
“Mengenai sebab manusia suka memperdebatkan persoalan khilafiyah. Uraian seputar bahaya debat dan bertikai mengenai ususan khilafiyah, serta syarat-syarat bagi pembolehannya.”
Kebanyakan Manusia Suka Memperdebatkan Persoalan Khilafiyah.
Kita sama-sama telah mengetahui bahwa setelah Rasulullah s.a.w. meninggal dunia, khulafā’-ur-rāsyidīn adalah para pemimpin pengganti yang telah dididik oleh tangan beliau sendiri dalam urusan agama Islam, dan sangat memahami ilmu mengenai Allah s.w.t. (tauhid). Para sahabat pilihan Rasulullah s.a.w. ini memiliki wawasan yang sangat mendalam dan cukup berpengalaman dalam memberi pendapat atau keputusan hukum dalam urusan agama. Para sahabat r.a. tidak suka meminta bantuan kepada ahli fikih, kecuali dalam kasus-kasus di mana musyawarah dengan para pihak yang terlibat memang diperlukan melibatkan keahlian mereka (para ahli fikih). Para sahabat yang utama itu memutuskan sesuatu dengan kekuatan ijtihad mereka, dan putusan hukumnya pun tercatat dalam kehidupan mereka.
Setelah para khulafā’-ur-rāsyidīn r.a. meninggal dunia, kekhilafahan Islam beralih kepada orang-orang yang kurang berilmu dan kurang berpengalaman dalam hukum atau urusan pemerintahan. Mereka terpaksa mencari bantuan para ahli fikih dalam menetapkan perkara hukum di antara manusia. Pada masa itu, sekelompok tābi‘īn (1711) yang hidup masih berpegang teguh dalam mengikuti secara baik ajaran-ajaran agama Islam, sesuai dengan arahan generasi sebelum mereka (sahabat). Ketika mereka ini dipanggil oleh khalifah penerus Islam, sepeninggal sahabat, mereka justru menjauh dan tidak ingin menghadap khalifah. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang mengaku berilmu justru bergaul dengan khalifah, dan akibatnya mereka menjadi terhinakan. Karena itu, muncullah sejumlah perbedaan pendapat di kalangan para ulama, dan dari sanalah lahir berbagai mazhab atau aliran dalam Islam. Kemudian muncul argumentasi dan kontra-argumentasi, yang diikuti dengan munculnya berbagai bentuk perselisihan atas masalah-masalah agama yang sama sekali jauh dari kata berarti. Mereka juga banyak menyusun karya tentang subjek-subjek dari apa yang terlanjur mereka perdebatkan itu. Pada gilirannya, kecenderungan semacam ini – suka memperdebatkan persoalan khilafiyah di kalangan umat Islam – justru mendorong orang awam menerima kontroversi dan perselisihan di antara mereka (kaum elit).
Khilafiyah dan Musyawarah.
Ketahuilah, bahwa akan selalu ada di antara kita sekelompok orang yang berusaha menjerumuskan umat Islam ke dalam pemahaman sesat mereka, dengan mengatasnamakan apa yang mereka anut itu sebagai ajaran yang bersumber dari para sahabat dan generasi salaf yang salih. Mereka gemar meletakkan urusan khilafiyah umat di depan urusan penting umat lainnya, dengan dalih memusyawarahkan sesuatu yang diperintahkan dalam Islam. Telah banyak ulama generasi terdahulu yang berusaha meluruskan apa yang sengaja mereka selewengkan ini. Tak kurang dari Imam asy-Syafi‘i, Imam Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin al-Hasan, Imam Malik bin Anas, Abu Yusuf dan lainnya – semoga Allah s.w.t. merahmati mereka semua – telah melakukan usaha serupa, dengan meluruskan apa yang sengaja dibuat bengkok oleh mereka yang tidak ingin sinar Islam menerangi jagad raya ini.
Mereka pun akhirnya bersepakat untuk menetapkan syarat-syarat yang bisa dipergunakan dalam usaha tolong-menolong mencari kebenaran atas perdebatan untuk mencari kebenaran merupakan salah satu tugas dalam fardhu kifāyah. Hingga siapa saja yang belum mampu menunaikan kewajiban fardhu ‘ain atas dirinya tidak boleh melibatkan diri dalam perdebatan, bahkan untuk mencari kebenaran sekalipun. Syarat yang kedua adalah, bahwa setiap pihak yang terlibat tidak boleh menganggap kalau perdebatan yang tengah mereka lakukan lebih penting daripada tugas fardhu kifāyah di belakangnya. Dengan kata lain, akan berdosa jika melakukan pekerjaan lain seraya mengesampingkan tugas fardhu kifāyah yang lebih penting. Ini dapat diibaratkan seperti orang yang tidak mau memberi seteguk air untuk minum kepada siapa saja yang tengah kehausan dan terancam kematian, meskipun ia mempunyai kesanggupan melakukannya, disebabkan merasa sibuk atau lebih mementingkan urusan mengajar tentang cara-cara berbekam.
Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik r.a., bahwa pernah suatu hari seseorang mengajukan sebuah pertanyaan kepada Rasulullah s.a.w.: “Kapan seorang Muslim diperbolehkan untuk meninggalkan kewajiban menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran (amar ma‘rūf nahi munkar)?” Maka beliau s.a.w. menjawab dengan bersabda:
إِذَا ظَهَرَتِ الْمُدَاهَنَةُ فِيْ خِيَارِكُمْ وَ الْفَاحِشَةُ فِيْ شِرَارِكُمْ وَ تَحَوَّلَ الْمُلْكُ فِيْ صِغَارِكُمْ وَ الْفِقْهُ فِيْ أَرَاذِلِكُمْ
“Yaitu, pada saat sifat menjilat atasan telah tumbuh subur pada diri orang-orang yang baik di antara kalian. Juga pada saat kerajaan (kekuasaan) berpindah kepada orang-orang yang derajatnya terendah di antara kalian. Dan ketika ilmu fikih (tentang hukum) berpindah kepada orang-orang yang memiliki derajat hina di antara kalian.” (1722).
Syarat ketiga yang membolehkan perdebatan di seputar khilafiyah adalah, bahwa pendebat harus memiliki kemampuan atas apa yang tengah diperbincangka, dan sekaligus memberi putusan (solusi) atas tanggungjawabnya sendiri, tanpa merujuk pendapat para Imam seperti dari Imam asy-Syafi‘i, Imam Abu Hanifah atau para Imam lainnya. Orang yang belum memiliki kemampuan berijtihad atau menafsirkan secara bebas (independent), maka tidak diperbolehkan baginya mengungkapkan pendapat, akan tetapi lebih harus merujuk kepada salah seorang Imam yang sudah ada.
Syarat keempat yang membolehkan perdebatan di seputar persoalan khilafiyah adalah, bahwa subjek putusan hukum yang tengah diperbincangkan haruslah tentang kasus-kasus aktual yang jelas-jelas telah muncul. Misalnya perkara warisan, atas kasus yang memang belum pernah terjadi di masa lampau. Para sahabat selalu berdiskusi dan bermusyawarah apabila muncul atau mungkin muncul suatu kasus yang benar-benar update, guna mencari serta menemukan solusi atas kebenarannya.
Syarat kelima yang membolehkan perdebatan di seputar persoalan khilafiyah adalah, bahwa perdebatan yang terjadi lebih baik dilakukan di tempat yang khusus (tertutup) ketimbang harus dilakukan di tempat-tempat yang terbuka. Perdebatan pun sebaiknya hanya dihadiri oleh mereka yang kompeten di bidangnya, terkemuka, dan siapa (pejabat berwenang) yang bertanggungjawab atas keputusan hukum yang akan dihasilkan. Selain itu, tempat yang khusus juga lebih cocok untuk melahirkan pemikiran yang jernih, dan sekaligus meneliti apa yang benar serta meminimalisasi kemungkinan terjadinya kesalahan.
Syarat keenam yang membolehkan perdebatan di seputar persoalan khilafiyah adalah, bahwa para pihak yang berdebat – khususnya mereka yang berkepentingan – harus cenderung kepada kebenaran dengan semangat yang sama-sama dijunjung tinggi; seperti dua pihak yang sama-sama tengah mencari barang bersama yang hilang. Mereka tidak boleh mempersoalkan apakah kebenaran itu mereka dapatkan sendiri atau justru diraih oleh lawan debatnya. Seperti sikap yang pernah ditunjukkan oleh Sayyidina ‘Umar Ibnul Khaththab r.a. Pada suatu hari, ‘Umar menyampaikan khutbah, lalu tiba-tiba seorang pendengar wanita menunjukkan serta mengoreksi kesalahan yang telah dilakukan oleh ‘Umar dalam materi khutbah yang tengah disampaikan, maka ‘Umar pun menerima koreksi tersebut dan berterima kasih atas kesediaan pihak yang sudah mengingatkan atas kekeliruan yang sudah dilakukannya. Pada kesempatan lain, Sayyidina ‘Ali karramallahu wajhah juga pernah ditanya oleh seseorang, dan ia menjawab dengan santun. Ketika orang tersebut menunjukkan pendapat yang berbeda dari apa yang telah disampaikan oleh ‘Ali dalam jawabannya, maka ‘Ali pun menunjukkan sikap menerima atas perbedaan pendapat yang terjadi, dan ‘Ali pun mengakui pendapat yang disampaikan lawan bicaranya.
Syarat ketujuh yang membolehkan perdebatan di seputar persoalan khilafiyah adalah orang yang berdebat tidak diperbolehkan untuk mencegah dan atau memaksa lawan bicaranya dari melepaskan satu argumentasi, kemudian beralih kepada argumentasi lainnya, atau atas satu ilustrasi kepada ilustrasi lainnya.
Syarat kedelapan yang membolehkan perdebatan di seputar persoalan khilafiyah adalah, perdebatan yang tengah dilakukan harus disertai penengah (moderator) yang diambilkan dari seorang yang juga terpelajar, yang diperkirakan bisa mendatangkan manfaat (tidak memihak) atas kedua belah pihak yang tengah berselisih pendapat.
Dengan kedelapan syarat yang membolehkan terjadinya perdebatan di seputar persoalan khilafiyah tersebut, kita bisa membedakan mana saja orang-orang yang berdebat demi mencari keridhaan Allah s.w.t., dan mana orang-orang yang berdebat demi tujuan yang lain. Kita berlindung kepada Allah s.w.t. dari sikap yang buruk, dan sekaligus kita memohon petunjuk-Nya agar bisa melakukan usaha yang terbaik dalam mencari kebenaran.
Catatan: