Ihya Ulumiddin: Keutamaan Ilmu Berdasar Akal

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Bab Pertama

Keutamaan Belajar dan Mengajar

 

Keutamaan belajar, mengajar, berikut dalil-dalilnya dari al-Qur’an, al-Hadis (naqli), dan juga dalil akal (‘aqli) mengenai ilmu.

Keutamaan Ilmu Berdasar Akal

Pahamilah, bahwa pada pembahasan kali ini dimaksudkan untuk menjelaskan seputar nilai dan keutamaan (fadhīlah) ilmu. Selama kita belum memahami arti yang sesungguhnya dari kata “keutamaan” dan belum menelisik secara lebih dalam tujuannya, maka mustahil kita dapat mengetahui keutamaan ilmu atau keutamaan segala sesuatu. Dan, sungguh akan tersesat orang yang ingin mengetahui apakah seseorang itu ahli di bidangnya atau bukan, sementara ia sendiri tidak memahami arti atau hakikat sesungguhnya dari apa (ilmu) yang tengah ingin ia ketahui. Seperti, tidak mungkin seseorang mengetahui bahwa Zaid adalah seorang ahli hikmah, sementara sang penilai tidak memahami sama sekali makna kata hikmah itu sendiri.

Adakalanya kelebihan atau keutamaan sesuatu sangat berkaitan erat dengan kesempurnaan dari nilai (jati diri) sesuatu itu sendiri. Misalnya, kuda lebih utama dari keledai. Dengan kata lain, bahwa keduanya sama-sama masuk dalam kelompok hewan yang memiliki daya angkut luar biasa. Meski demikian, kuda mempunyai keunggulan yang lebih, yaitu mampu berlari lebih cepat dari keledai, bisa melompat lebih tinggi dan berpenampilan lebih menawan dibandingkan keledai.

Yang dicari pada binatang atau apa pun objeknya adalah keunggulan sifat serta kelebihan tujuannya, bukan semata pada kekuatan fisiknya. Apabila pemahaman semacam ini telah anda sadari, maka jelaslah bahwa ilmu itu memiliki kelebihan yang luar biasa dibandingkan perkara lainnya; sebagaimana kuda memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan-hewan lainnya. Ilmu adalah kelebihan pada dirinya sendiri dan bersifat mutlak, tanpa harus dikaitkan dengan persoalan yang lain. Sebab, ilmu menjadi bagian kesempurnaan sifat yang melekat langsung kepada Allah s.w.t. Dengan ilmu, para malaikat dan para Nabi dimuliakan oleh Allah. Sampai-sampai, perumpamaan yang bisa dipetik dari kelebihan ilmu seperti; kuda yang terlatih lebih baik daripada kuda dungu yang sulit dilatih.

Oleh karena itu, ilmu merupakan keutamaan yang mutlak kesempurnaannya. Seperti diketahui, bahwa sesuatu yang berharga dan sangat disukai terbagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, dicari untuk mendapatkan sesuatu yang lain.
Kedua, dicari karena nilai dari sesuatu itu sendiri. Dan yang
ketiga, dicari untuk mendapatkan sesuatu yang lain, sekaligus sesuatu itu sendiri.

Adapun yang dicari karena nilai sesuatu itu sendiri lebih mulia dan lebih utama daripada yang dicari untuk sesuatu yang lain. Contoh sesuatu yang dicari untuk mendapatkan sesuatu yang lain adalah dirham (emas) dan dinar (perak). Bahan dasar dari kedua benda itu (dirham maupun dinar) pada hakikatnya hanyalah sesuatu yang sama nilainya dengan sesuatu lainnya; seperti bebatuan dan lain sebagainya. Seandainya Allah s.w.t. tidak menjadikan dirham maupun dinar berharga dan mudah untuk diperoleh, niscaya keduanya akan sama nilainya dengan batu yang berserakan di pinggir jalan.

Sedangkan yang dicari karena sesuatu pada dirinya sendiri adalah kebahagiaan di negeri akhirat dan kenikmatan memandang wajah Allah s.w.t. Dan, contoh yang dicari karena sesuatu pada dirinya sendiri sekaligus untuk memperoleh sesuatu yang lain adalah kesehatan raga. Karena, dengan raga yang sehat dan selamat, maka maksud berikut berbagai keperluan lain bisa dengan lebih mudah dicapai.

Melalui sudut pandang berpikir yang semacam itu, apabila anda memperhatikan perkara ilmu, niscaya anda akan mendapati bahwa pada dirinya sendiri ilmu adalah suatu kenikmatan. Ilmu dicari karena nilai mulia dari ilmu itu sendiri, dan ilmu merupakan satu-satunya jalan terbaik menuju negeri akhirat, menggapai kebahagiaan yang sesungguhnya (hakiki), dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Tujuan akhir dari kehidupan manusia di alam dunia ini adalah kebahagiaan nan abadi, dan jalan utama untuk mencapainya adalah dengan ilmu serta beramal shalih. Amal tidak akan bernilai kecuali dengan mengetahui ilmu atau cara melakukan, serta untuk tujuan apa amal shalih tersebut dilaksananya.

Ilmu adalah jalan mencapai kebahagiaan di dunia, dan sekaligus kebahagiaan negeri akhirat. Jadi, menuntut ilmu adalah amal shalih yang paling utama di antara semua amalan lainnya. Kadang-kadang, keutamaan (fadhīlah) ilmu baru diraih hasilnya di akhirat kelak berupa kemuliaan di sana. Buah dari ilmu adalah mendekatkan diri pemiliknya kepada Rabb seru sekalian alam, menghubungkan diri dengan derajat malaikat, dan bahkan sanggup melebihi ketinggian kemuliaan para malaikat. Dan, semua itu hanya akan terjadi di alam akhirat kelak.

Adapun urusan dan perkara lain pada saat berada di alam dunia, maka berkaitan dengan kemuliaan, jabatan, pengaruh, kekuasaan bagi para pembesar, dan penghormatan yang secara naluriah, yang itu semua menjadi kondisi manusia pada umumnya. Sehingga tidak mengherankan apabila orang Turki yang tidak berilmu atau orang Arab yang keras lagi bersikap kasar, secara naluriah mereka bisa menghormati pembesar-pembesar (pemimpin) mereka. Semua itu mereka peroleh melalui pengalaman dan pengetahuan yang bersifat alamiah. Bahkan, secara naluriah hewan yang terlatih bisa mengikuti kehendak sang pelatih. Sebab, melalui kesempurnaan ilmu yang dimiliki, manusia menjadikan derajat kemanusiaannya lebih tinggi ketimbang hewan. Inilah keutamaan ilmu yang mutlak adanya.

Di sisi lain, keutamaan dan kemuliaan ilmu itu berbeda-beda tingkatannya; seperti akan dijelaskan nanti, baik dalam belajar maupun mengajarkan ilmu. Apabila ilmu itu lebih utama dalam segala urusan, maka mempelajarinya merupakan keutamaan yang harus dijadikan sebagai skala prioritas. Sedangkan mengajarkan ilmu kepada orang lain sama saja dengan memberikan manfaat bagi aplikasi dari keutamaan ilmu itu sendiri. Dengan kata lain, seluruh kehendak (keinginan) manusia akan terakumulasi dalam urusan-urusan agama dan dunia mereka. Sebab, dunia merupakan ladang amal bagi usaha bercocok tanam kita, demi meraih hasil atau buah yang bisa kita petik pada saat nanti di alam akhirat kelak. Dunia adalah sarana yang bisa menyampaikan kita kepada keridhaan Allah ‘azza wa jalla; tentunya bagi hamba yang mau menjadikan dunia hanya sebagai sarana, bukan tujuan hidup. Dan sebaliknya, dunia benar-benar akan menjadi tempat tinggal bagi mereka yang memang menginginkan keabadian dunia, bukan kekekalan kehidupan negeri akhirat.

Urusan-urusan duniawi tidak akan tertata secara rapi, kecuali dengan pengendalian yang dilakukan oleh manusia. Perbuatan, pekerjaan, dan segala bentuk usaha manusia pada dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga kategori pokok.
Pertama, perjalanan kehidupan manusia di alam ini tidak akan berjalan dengan baik, sesuai, dan terukur apabila dasar-dasar pokok yang berlaku tidak ada (dihilangkan). Seperti pada urusan pertanian untuk pangan, pertenunan untuk sandang, permukiman dan pergaulan hidup bermasyarakat untuk kerukunan, kesatuan, dan gotong-royong dalam mencapai yang damai dan sejahtera.
Kedua, kegiatan-kegiatan lain untuk mempersiapkan dan melayani usaha-usaha yang disebutkan tadi. Seperti industri dari bahan dasar biji besi untuk membuat dan menyediakan alat-alat pertanian dan alat-alat pintal guna membuat benang, kemudian memproduksi kain, serta industri lainnya yang menunjang.
Ketiga, kegiatan-kegiatan yang menyempurnakan usaha-usaha pertama dan kedua. Seperti menumbuk gandum dan membuat roti dalam bidang pertanian, mendesain serta menjahit pakaian dalam industri pertekstilan, dan sebagainya.

Berbagai kegiatan tersebut adalah dasar-dasar kehidupan ketika kita berada di alam dunia ini. Sebagaimana susunan organ tubuh pada diri setiap manusia yang terbagi menjadi tiga bagian.
Pertama, organ-organ pokok (vital) seperti jantung, liver dan otak.
Kedua, organ-organ pendukung seperti perut, otot, urat saraf dan pembuluh darah. Dan
Ketiga, organ-organ pelengkap serta penghias seperti kuku, anak jari, bulu mata, dan sebagainya.

Yang termulia di antara semua kegiatan tersebut adalah yang mendasar (pokok), dan yang termulia di antara kegiatan-kegiatan yang mendasar itu adalah siyāsah, (881) yang ditujukan untuk kedamaian, ketenangan serta kesejahteraan manusia secara luas. Untuk itu, agar terwujud kedamaian, ketenangan dan kebajikan, maka dibutuhkan orang yang bertanggung jawab mengelola dan mengurus seluruh rangkaian yang tersedia pada bidang tersebut secara tepat guna.

Pengaturan dan pengelolaan urusan siyāsah sangat dibutuhkan untuk memperbaiki dan menuntun manusia ke jalan yang benar, terutama dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Siyāsah dibagi menjadi empat tingkatan.
Pertama, tingkat tertinggi, yaitu siyāsah hukum para nabi untuk kaum tertentu yang ditujukan atas seluruh manusia, baik lahir maupun batin.
Kedua, tingkat berikutnya adalah siyāsah hukum para khalifah, raja, dan pemimpin. Hukum yang mereka jalankan ditujukan untuk golongan tertentu dan bersifat universal pula. Akan tetapi, semua itu hanya berkaitan dengan masalah lahiriah, bukan batiniah.
Ketiga, tingkatan ulama, yakni mereka yang mengenal Allah s.w.t. dan aturan hidup yang sudah digariskan-Nya, serta berfungsi sebagai pewaris para Nabi. Hukum mereka mengarah pada hal-hal batiniah untuk golongan tertentu. Golongan awam sulit (membutuhkan waktu yang lebih panjang – penerj.) untuk bisa memahami manfaat dari perkara yang bersifat batiniah. Keempat, tingkatan para juru dakwah atau jura nasihat. Hukum yang mereka tetapkan berkaitan dengan perkara batiniah bagi orang awam saja.

Dan, yang termulia setelah tingkat para nabi adalah menyebarkan ilmu serta mendidik jiwa manusia agar terhindar dari akhlak tercela yang membawa dampak bagi munculnya malapetaka berikutnya, serta membimbing manusia kepada akhlak terpuji yang mendatangkan kebahagiaan selamanya. Kegiatan mengajar dan belajar lebih utama daripada kegiatan-kegiatan maupun usaha-usaha lainnya. Adapun keutamaan usaha itu dapat dinilai dari tiga kriteria berikut ini:

Pertama, melihat dengan cermat kualitas-kualitas naluriah yang fungsinya sudah dikenali; seperti keutamaan ilmu pasti dibanding ilmu bahasa. Sebab, ilmu pasti itu dipahami dengan nalar, sedangkan ilmu bahasa dengan mendengar. Dan, akal atau nalar itu jauh lebih mulia ketimbang pendengaran.

Kedua, melihat kepentingannya bagi manusia. Apabila menyangkut kepentingan lebih banyak manusia, berarti lebih mulia. Seperti usaha pertanian lebih utama dibandingkan dengan usaha pembuatan bahan jadi yang digunakan hanya untuk segelintir orang.

Ketiga, melihat tempat atau cara kerjanya. Contohnya adalah, kelebihan dari pembuatan emas daripada penyamakan kulit. Sebab, yang pertama terbuat dari emas dan yang kedua berasal dari kulit binatang yang sudah menjadi bangkai.

Sesuai dengan masing-masing ketegori tersebut, ilmu pun mempunyai tiga kategori berikut ini.

Pertama, ilmu yang sudah jelas kebenarannya, yaitu ilmu agama (Islam) yang menuntun kepada kebahagiaan hidup di alam akhirat. Ilmu yang demikian dapat diketahui dengan kesempurnaan akal dan kebijakan berpikir. Sifat insaniah yang termulia adalah pemfungsian pada kerja akal. Karena memiliki akal, maka manusia menerima amanah dari Allah s.w.t. sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dan, dengan akal pula ilmu manusia akan sampai ke hadirat Allah s.w.t.

Kedua, ilmu dinalai dari segi kemanfaatannya bagi manusia pada umumnya. Sebab, tidak mungkin disangkal lagi bahwa ilmu menuntun manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ketiga, ilmu dinilai dari kemuliaan tempatnya, yakni sesuatu yang dapat memperbaiki dan mengembalikan jiwa manusia. Makhluk yang paling mulia adalah manusia, dan bagian tubuh manusia yang paling mulia adalah jiwanya. Para ulama senantiasa menyempurnakan, menyucikan, dan membimbing jiwa manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Mengajarkan ilmu adalah amal ibadah yang paling utama. Allah ta‘ala membuka sanubari orang berilmu dengan pengetahuan-Nya. Berilmu adalah sifat-sifat hamba Allah ‘azza wa jalla yang mulia. Karena itu pula, derajat seperti apakah yang lebih mulia daripada menjadi perantara antara Allah ta‘ala dan makhluk-Nya, untuk mendekatkan diri hanya kepada-Nya, dan membawa diri masuk ke dalam surga-Nya? Semoga Alla s.w.t. menjadikan kita semua bagian dari mereka yang mendapatkan keridhaan-Nya berupa surga. Dan tak lupa, shalawat Allah semoga selalu tercurah bagi hamba-Nya yang mulia.

Catatan:


  1. 88). Siyāsah di sini adalah kegiatan yang berkaitan dengan urusan politik kenegaraan maupun penegakan hukum – penerj. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *