Ihya Ulumiddin: Keutamaan Ilmu (2/2)

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Rangkaian Pos: Keutamaan Belajar dan Mengajar: Keutamaan Ilmu - Ihya ʻUlumiddin

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

مَا عُبِدَ اللهُ تَعَالَى بِشَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ فِقْهٍ فِي الدِّيْنِ، وَ لَفَقِيْهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ، وَ لِكُلِّ شَيْءٍ عِمَادٌ وَ عِمَادُ هذَا الدِّيْنِ الْفِقْهُ

Allah tidak memberi seseorang anugerah yang lebih utama selain pemahaman (ilmu) tentang agama. Dan, seorang yang berilmu lebih sulit diperdaya oleh setan daripada seribu ahli ibadah yang tidak memiliki ilmu. Setiap sesuatu memiliki tiang, dan tiang agama ini adalah ilmu agama (fikih). (481).

Beliau s.a.w. juga pernah bersabda:

خَيْرُ دِيْنِكُمْ أَيْسَرُهُ وَ خَيْرُ الْعِبَادِةِ الْفِقْهُ

Bagian yang terbaik dari agamamu adalah yang termudah, dan ibadah yang terbaik adalah memahami ilmu agama. (492).

Selanjutnya, Nabi s.a.w. juga pernah bersabda:

فَضْلُ الْمُؤْمِنِ الْعَالِمِ عَلَى الْمُؤْمِنِ الْعَابِدِ بِسَبْعِيْنَ دَرَجَةً

Kelebihan seorang Mukmin yang berilmu atas seorang Mukmin yang tidak berilmu namun ahli ibadah adalah tujuh puluh derajat. (503).

Beliau s.a.w. juga pernah bersabda:

إِنَّكُمْ أَصْبَحْتُمْ فِيْ زَمَنٍ كَثِيْرٍ فُقَهَاؤُهُ قَلِيْلٍ قُرَّاؤُهُ وَ خَطَبَاؤُهُ قَلِيْلٍ سَائِلُوْهُ كَثِيْرٍ مُعْطُوْهُ، الْعَمَلُ فِيْهِ خَيْرٌ مِنَ الْعِلْمِ. وَ سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ قَلِيْلٌ فُقَهَاؤُهُ كَثِيْرٌ خَطَبَاؤُهُ قَلِيْلٌ مُعْطُوْهُ كَثِيْرٌ سَائِلُوْهُ، الْعِلْمُ فِيْهِ خَيْرٌ مِنَ الْعَمَلِ

Kalian saat ini berada pada suatu masa di mana sangat banyak ahli fikih tapi sedikit pembaca al-Qur’an dan pengkhotbah. Banyak pemberi, tapi sedikit peminta-minta. Pada saat seperti itu, amal perbuatan lebih utama daripada ilmu – yang tidak diterapkan – . Namun, segera akan datang suatu masa, di mana sangat sedikit ahli fikih, tetapi juga banyak pembaca al-Qur’an dan pengkhotbah. Pada saat seperti itu, sungguh sangat sedikit pemberi, tetapi cukup banyak peminta-minta, di mana ilmu saat itu lebih baik daripada amal. (514).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

بَيْنَ الْعَالِمِ وَ الْعَابِدِ مِائَةُ دَرَجَةٍ، بَيْنَ كُلِّ دَرَجَةٍ دَرَجَتَيْنِ حُضْرُ الْجَوَادِ الْمُضَمَّرِ سَبْعِيْنَ سَنَةً

Ada jarak yang terbentang seratus derajat antara seorang alim dan seorang ahli ibadah yang tidak berilmu. Sedangkan jarak di antara kedua derajat tersebut baru bisa ditempuh (dicapai) selama tujuh puluh tahun dengan menunggangi kuda pacuan. (525).

Nabi Muhammad s.a.w. pernah ditanya: “Wahai Nabi Allah, amalan apakah yang terbaik untuk kami lakukan?” Beliau menjawab: Menuntut ilmu karena Allah ‘azza wa jalla. Ditanyakan kembali kepada beliau: “Ilmu apa yang anda maksudkan?” Beliau menjawab: Menuntut ilmu karena mengharapkan keridhaan Allah Yang Maha Suci. Yaitu, dengan ma‘rifat (mengenal) kepada Allah meski melalui sedikit amal sudah mencukupi. Sebab, ketidaktahuan kita tentang Allah s.w.t., sekalipun banyak melakukan amal ibadah kepada-Nya, sungguh tidak mencukupi kebutuhan atas pengenalan diri kepada-Nya dan mengharap keridhaan-Nya. (536).

Kemudian beliau s.a.w. pernah bersabda:

يَبْعَثُ اللهُ سُبْحَانَهُ الْعِبَادَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَبْعَثُ الْعُلَمَاءَ ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا مَعْشَرَ الْعُلَمَاءِ، إِنِّيْ لَم أَضَعْ عِلْمِيْ فِيْكُمْ إِلاَّ لِعِلْمِيْ بِكُمْ وَ لَمْ أَضَعْ عِلْمِيْ فِيْكُمْ لِأُعَذِّبَكُمْ، إِذْهَبُوْا فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ

Pada Hari Kebangkitan nanti, Allah Yang Maha Suci akan membangkitkan para ahli ibadah dan para ahli ilmu. Dia kemudian berfirman: “Wahai golongan orang yang berilmu, Aku tidak akan menempatkan ilmu-Ku kecuali Aku tahu tentang kalian, dan Aku tidak akan menempatkan ilmu pada kalian untuk menghukum kalian. Oleh itu, pergilah kalian – ke surga-Ku – , karena Aku telah memaafkan kesalahan kalian. (547).

Kita memohon kepada Allah s.w.t. akhir dari kehidupan yang baik (husn-ul-khātimah).

Adapun dalil-dalil yang didapat dari atsar sahabat antara lain, Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata kepada Kumail (murid ‘Ali): “Wahai Kumail, ilmu yang engkau miliki jauh lebih baik daripada harta. Sebab, ilmu yang engkau miliki akan senantiasa menjagamu, sedangkan pada harta justru engkaulah yang harus menjaganya. Ilmu menebarkan keadilan, sedangkan harta mencari keadilan. Harta berkurang karena dibelanjakan, sementara ilmu bertambah karena diajarkan kepada orang lain.”

Berkata pula Sayyidina ‘Ali r.a.: “Orang berilmu masih lebih utama daripada orang yang gemar berpuasa dan menegakkan shalat – sunnah -, serta berjihad di jalan Allah s.w.t. Ketika seorang yang berilmu (ulama) meninggal dunia, datanglah kevakuman dalam Islam yang mustahil digantikan kecuali oleh penggantinya yang sepadan (juga berilmu).”

Sayyidina ‘Ali r.a. pernah bersya‘ir:

“Tiada kemuliaan selain bagi orang yang berilmu,
Memberi tuntunan dan menjadi bukti bagi pencari petunjuk.
Setiap orang dihargai sebanding ilmunya,
Tapi orang yang tidak berilmu dipandang sebagai lawan orang yang berilmu.
Oleh karena itu, carilah ilmu, niscaya engkau akan kekal,
Sebab, semua orang mati, dan hanya orang berilmu yang tetap hidup.”

Abu al-Aswad pernah berkata: “Tidak ada sesuatu pun yang lebih mulia daripada ilmu. Para raja menghakimi manusia dan para ulama menghakimi para raja.”

Ibnu ‘Abbas r.a. juga pernah berkata: “Nabi Sulaiman bin Daud a.s. diminta untuk menentukan pilihan antara ilmu, harta, atau tahta (kekuasaan). Beliau pun ternyata lebih memilih ilmu. Setelah Sulaiman memilih ilmu, Allah s.w.t. anugerahkan pula beserta ilmu itu harta dan kekuasaan bagi beliau.”

Pernah pula ditanyakan kepada Ibnu al-Mubarak: “Siapakah yang disebut sebagai manusia?” Maka ia menjawab: “Orang yang berilmu.” Lalu ditanyakan kembali kepadanya: “Siapakah yang disebut sebagai penguasa?” Maka jawabnya: “Orang yang bersikap zuhud terhadap urusan dunia, dan tidak terpengaruh oleh kemilau duniawi.” Ditanyakan pula kepadanya: “Lalu siapakahh orang yang hina?”. Maka ia pun menjawab: “Mereka yang berusaha menggapai kenikmatan dunia dengan menjual agama.”

Ibnu al-Mubarak sepertinya tidak memasukkan orang yang tidak berilmu ke dalam golongan yang disebut sebagai manusia. Karena menurutnya, ciri yang membedakan antara manusia dan hewan adalah ilmu, dan manusia menjadi makhluk paling mulia di muka bumi ini disebabkan mempunyai ilmu. Manusia dikatakan mulia bukan karena kekuatan fisiknya. Sebab, jika disebabkan kekuatan fisik, maka unta jauh lebih kuat daripada manusia. Bukan juga karena tubuh manusia yang besar. Sebab, tubuh gajah jauh lebih besar ketimbang manusia yang terbesar sekalipun. Bukan pula disebabkan keberanian manusia. Sebab, binatang buas di hutan belantara jauh lebih berani daripada manusia. Bukan juga karena kapasitas makan manusia. Sebab, perut lembu lebih besar dan memuat lebih banyak asupan makanan ketimbang lambung manusia. Tidak pula karena kekuatan berhubungan seksual dengan lawan jenisnya. Sebab, burung pipit yang kecil pun masih kuat dalam urusan berhubungan seksual ketimbang manusia. Jadi, kemuliaan manusia justru terletak pada kepemilikan ilmunya.

Sebagian ulama pernah menyatakan: “Kemuliaan macam apa yang bisa didapat oleh mereka yang tidak memiliki ilmu? Di sisi lain, tiada kemuliaan yang hilang bagi mereka yang memiliki ilmu.” Sebagaimana Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

مَنْ أُوْتِيَ الْقُرْآنَ فَرَأَى أَنَّ أَحَدًا أُوْتِيَ خَيْرًا مِنْهُ فَقَدْ حَقَّرَ مَا عَظَّمَ اللهُ تَعَالَى

Siapa saja yang diberikan kepadanya al-Qur’an, lalu ia memandang ada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya, berarti ia telah menghinakan apa yang dimuliakan Allah ta‘ala.

Fath al-Maushuli (558) rahimahullāh bertanya kepada beberapa orang sahabatnya: “Bukankah orang yang sakit, lalu tidak mau makan dan minum, akan segera mati?” Para sahabat di sekelilingnya menjawab: “Benar.” Lalu sambung Fath al-Maushuli: “Begitu pula dengan jiwa manusia. Jika jiwa manusia tidak diisi dengan ilmu (al-Qur’an) dan hikmah (al-Sunnah) dalam masa tiga hari saja, maka matilah jiwa itu.” Perkataan Fath al-Maushuli ini sungguh benar. Karena sesungguhnya makanan bagi jiwa itu hanyalah ilmu dan hikmah. Dengan ilmu dan hikmah jiwa menjadi hidup, sebagaimana tubuh dapat hidup dengan asupan makanan.

Orang yang tidak berilmu, jiwanya akan sakit, kemudian mati. Tapi, ia tidak mudah untuk menyadari kondisinya yang seperti itu. Sebab, kecintaan dan kesibukannya pada urusan dunia telah menghilangkan kekuatan indera perasanya. Sebagaimana ketakutan yang sangat (akut) akan melenyapkan seketika keperihan luka, meskipun luka itu masih terlihat nyata (menganga). Jika matinya jiwa karena kesibukan dunia dapat dirasakannya telah menghancurkan dan merugikan dirinya pada saat-saat ajal menjelang, hal itu sudah terlambat. Sebab, kesadarannya yang datang terlambat tidak dapat menolongnya sama sekali. Semua itu ibarat orang yang tidak merasakan sakit apa pun saat takut atau mabuk, dan lukanya itu baru terasa sakit setelah ia berada di tempat aman atau telah sadar dari mabuknya.

Sesungguhnya, manusia itu mudah lalai, dan apabila ajal datang menjelang barulah ia menyadari kekeliruannya. Kita berlindung kepada Allah s.w.t. dari terungkapnya keburukan saat kondisi kita tidak siap menerimanya. Sebab sesungguhnya manusia itu cenderung terlena, sampai ajal membangunkan kesadarannya kembali.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullāh pernah berkata: “Ditimbanglah antara tinta ulama dengan darah syuhada’. Maka timbangan tinta ulama masih lebih berat daripada darah syuhada’.”

Ibnu Mas‘ud r.a. juga pernah berkata: “Seharusnya kalian berilmu sebelum ilmu itu diambil. Ilmu akan diambil bersama meninggal dunianya para ulama. Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya para syuhada’ di jalan Allah s.w.t. lebih suka dibangkitkan Allah di Hari Kiamat nanti sebagai ulama, karena menyaksikan keutamaan para ulama. Dan sesungguhnya, tidak ada orang yang dilahirkan sudah mempunyai ilmu, karena ilmu diperoleh dengan belajar.”

Ibnu ‘Abbas r.a. berkata: “Bertukar pikiran tentang ilmu pada sebagian malam lebih aku sukai daripada beribadah sepanjang malam.” Seperti itu pula pernyataan yang pernah disampaikan oleh Abu Hurairah r.a. dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullāh.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullāh berkomentar mengenai firman Allah s.w.t.:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الآخِرَةِ حَسَنَةً

“Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.” (al-Baqarah [2]: 201).

Menurut al-Hasan, yang dimaksud dengan kebaikan di dunia itu adalah berilmu dan beribadah. Sedangkan kebaikan di akhirat adalah kenikmatan surgawi.

Seorang ahli hikmah bertanya kepada sesamanya: “Kepemilikan atas apakah yang dapat disimpan dalam waktu lama?” Dijawab: “Yaitu kepemilikan atas sesuatu yang apabila kapal yang tengah engkau tumpangi karam di lautan lepas, maka milikmu tersebut selalu ikut berenang bersamamu; yakni ilmu. Dengan kata lain, bahwa yang dimaksud dengan karamnya kapal adalah binasa atau hancurnya anggota tubuh dengan kematian, dan yang tersisa hanya ilmu yang melekat pada isi kepala.”

Seorang ahli hikmah yang lain berkata kepada sesamanya: “Siapa saja yang memperlakukan ilmu laksana tali kekang pada kendali kuda tunggangan, niscaya ia akan dijadikan oleh manusia lain sebagai Imam (panutan). Dan siapa saja yang dikenal dengan hikmah dirinya, niscaya ia diperhatikan oleh semua pandangan dengan tatapan mulia.”

Imam asy-Syafi‘i rahimahullāh ‘alaih juga pernah berkata: “Di antara kemuliaan seputar kepemilikan ilmu ibadah, pada saat seseorang dikatakan berilmu – meskipun dalam urusan yang terkesan remeh – lalu ia berbahagia dengan kepemilikan ilmunya itu. Sebaliknya, apabila dikatakan tidak memiliki ilmu, maka ia merasa bersedih.”

‘Umar Ibnul-Khaththab r.a. pernah menyampaikan pesan: “Wahai sekalian manusia, kalian harus memiliki ilmu. Sebab, Allah s.w.t. memiliki selimut yang menaungi siapa saja yang dikahsihi-Nya. Siapa saja yang mencari sebuah pintu dari pintu-pintu menuju ilmu, maka ia akan mendapatkan naungan Allah ‘azza wa jalla dengan bentangan selimut-Nya. Jika ia berbuat dosa, lalu meminta ampunan Allah, meski terulang hingga tiga kali, maka naungan selimut itu tidak akan diangkat dari sisinya; bahkan jika sampai berkepanjangan dosanya hingga ajal menjemputnya.”

Al-Ahnaf rahimahullāh berkata: “Hampir saja orang berilmu itu dianggap sebagai Rabb (Penguasa). Dan, tiap-tiap kemuliaan yang tidak dikuatkan dengan ilmu, maka hanya kehinaanlah atas kesudahannya.”

Salim bin Abi al-Ja‘d (569) berkata: “Aku dibeli oleh majikanku dengan harga 300 dirham, lalu aku dimerdekakannya. Setelah itu aku bertanya: “Pekerjaan apakah yang harus aku lakukan untukmu agar bisa menebus kemerdekaanku?”

Setelah mendapatkan jawaban, aku segera berjalan menuju tempat menuntut ilmu (belajar). Tidak sampai satu tahun kemudian, datang berkunjung untuk menemui aku seorang petinggi kota Madinah al-Munawwarah, tapi aku tidak bersedia menerima kedatangannya.”

Az-Zubair bin Abi Bakar berkata: “Ayahku di Irak menulis sepucuk surat kepadaku. Isinya antara lain berbunyi: “Engkau harus menuntut ilmu! Sebab, jika suatu saat engkau memerlukannya (ilmu), maka ia menjadi harta tertinggi yang pernah engkau miliki. Dan jika engkau tidak sedang memerlukannya, maka ilmu itu pasti akan menambahkan keelokan budi pekertimu.”

Dihikayatkan juga yang demikian dalam nasihat Luqman al-Hakim kepada anaknya. Berkata Luqman: “Wahai anakku, duduklah bersama para ulama, merapatlah dengan mereka menggunakan kedua lututmu. Sesungguhnya Allah s.w.t. menghidupkan jiwa dengan cahaya hikmah (sinar ilmu) seperti menghidupkan bumi dengan air hujan yang Dia turunkan dari langit.”

Sebagian ahli hikmah mengatakan: “Apabila seorang ahli ilmu meninggal dunia, maka ia ditangisi oleh ikan di dalam air dan juga burung-burung di angkasa. Wajahnya hilang dari pandangan mata manusia, akan tetapi sebutan namanya tidak akan pernah dilupakan sepanjang masa.”

Az-Zuhri rahimahullāh berkata: “Ilmu itu pejantan, dan tidak mencintainya selain oleh laki-laki yang bersikap jantan pula.”

 

↖ Kembali ke indeks Ihya Ulumiddin: Ilmu dan Keyakinan – Bagian Tentang Ilmu

Catatan:

  1. 48). Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Ausath. Juga oleh Abu Bakar al-Ajiri dalam buku “Fadhl-ul-‘Ilm”. Diriwayatkan pula oleh Abu Nu‘aim dalam Riyādhat-ul-Muta‘allimīn, dari hadits Abu Hurairah r.a. dengan isnād lemah (dha‘īf), dengan redaksi (فَقِيْهٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ) Seorang ahli ilmu lebih ditakuti setan melebihi seribu ahli ibadah yang tidak berilmu.
  2. 49). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dari hadits Anas bin Malik r.a. dengan sanad lemah (dha‘īf). Persyaratan pertama yang diajukan dari riwayat Imam Ahmad dari hadits Mahjan bin al-Adra’ dengan isnād yang baik (jayyid). Sedangkan persyaratan kedua yang diajukan dari riwayat Imam ath-Thabrani dari hadits Ibnu ‘Umar r.a. dengan sanad lemah (dha‘īf) juga.
  3. 50). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dari hadis Abu Hurairah r.a. dengan isnād lemah (dha‘īf). Diriwayatkan pula oleh Abi Ya‘la dengan redaksi sedikit berbeda, dan status yang hampir serupa dari hadits ‘Abdur-Rahman bin ‘Auf.
  4. 51). Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dari hadis Hazim bin Hakim, dari pamannya, ada pula sebagian pendapat yang mengatakan dari ayahnya, bukan pamannya, dengan isnād lemah (dha‘īf).
  5. 52). Diriwayatkan oleh Imam al-Ashfahani dalam Targhīb wat-Tarhīb dari hadis Ibnu ‘Umar dari ayahnya r.a., dengan redaksi yang sedikit berbeda…. “tujuh puluh derajat,” dan dengan sanad yang lemah (dha‘īf) pula. Demikian juga yang diriwayatkan oleh pemilik kitab Musnad al-Firdaus dari hadits Abu Hurairah r.a.
  6. 53). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dari hadits Anas bin Malik r.a. dengan sanad lemah (dha‘īf).
  7. 54). Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dari hadits Abu Musa al-Asy‘ari r.a. dengan sanad lemah (dha‘īf).
  8. 55). Fath-ul-Maushuli adalah Fath bin Sa‘id-ul-Maushuli, wafat pada tahun (220 H.). Biografinya dapat dilihat dalam buku Siyāru A‘lām-in-Nubalā’, Jilid 10, hlm. 483 – penerj.
  9. 56). Seorang budak – penerj.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *