Ihya Ulumiddin: Keutamaan Ilmu (1/2)

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Rangkaian Pos: Keutamaan Belajar dan Mengajar: Keutamaan Ilmu - Ihya ʻUlumiddin

Bab Pertama

Keutamaan Belajar dan Mengajar

 

Keutamaan belajar, mengajar, berikut dalil-dalilnya dari al-Qur’an, al-Hadis (naqli), dan juga dalil akal (‘aqli) mengenai ilmu.

Keutamaan Ilmu

Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa dalil mengenai keutamaan ilmu. Antara lain ialah, firman Allah s.w.t.:

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ وَ الْمَلآئِكَةُ وَ أُوْلُوا الْعِلْمِ قَآئِمًا بِالْقِسْطِ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia yang berhak disembah, Yang menegakkan keadilan, para malaikat dan orang-orang yang berilmu (171), juga menyatakan yang demikian itu. Tidak ada Tuhan melainkan Dia yang berhak disembah, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali ‘Imran [3]: 18).

Perhatikan bagaimana Allah s.w.t. memulai dengan diri-Nya Sendiri, dilanjutkan kemudian dengan para malaikat-Nya, yang ditutup dengan ahli ilmu (para ulama Islam). Semua itu bertujuan untuk menegaskan keutamaan, kemuliaan, dan ketinggian derajat ilmu bagi pemiliknya. Juga firman Allah s.w.t.:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (al-Mujadilah [58]: 11).

Ibnu ‘Abbas r.a. pernah mengatakan: “Para ulama itu memiliki sebanyak tujuh ratus tingkatan di atas derajat orang-orang Mukmin yang bukan ulama. Dan, jarak antara derajat pertama dengan yang kedua sejauh perjalanan lima ratus tahun.”

Allah s.w.t. juga berfirman:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ

“Tanyakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (az-Zumar [39]: 9).

Juga firman Allah s.w.t.:

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (para ulama)”. (182) (Fathir [35]: 28).

Pada ayat lain, Allah s.w.t. berfirman:

قُلْ كَفى بِاللهِ شَهِيْدًا بَيْنِيْ وَ بَيْنَكُمْ وَ مَنْ عِنْدَهُ عِلْمُ الْكِتَابِ

“Katakanlah: “Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kalian, juga antara orang yang mempunyai ilmu Al-Kitab” (193) (ar-Ra‘d [13]: 43).

Allah s.w.t. juga berfirman:

قَالَ الَّذِيْ عِنْدَهُ عِلْمٌ مِّنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيْكَ بِهِ

“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab (204): “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu.” (an-Naml [27]: 40).

Semua itu semakin menguatkan posisi ilmu, ketetapan tentangnya, dan kedudukan mulia mereka yang memiliki ilmu dalam pandangan Allah s.w.t.

Pada ayat lain, Allah ‘azza wa jalla berfirman:

وَ قَالَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللهِ خَيْرٌ لِّمَنْ آمَنَ وَ عَمِلَ صَالِحًا

“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih.” (al-Qashash [28]: 80).

Ayat ini semakin menjelaskan kepada kita, bahwa untuk meraih kebahagiaan negeri akhirat hanya bisa dicapai melalui penguasaan terhadap ilmu mengenai akhirat.

Allah ‘azza wa jalla juga berfirman:

وَ تِلْكَ الأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَ مَا يَعْقِلُهَا إِلاَّ الْعَالِمُوْنَ

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami (Allah) buat untuk manusia; tiada yang memahaminya, kecuali orang-orang yang berilmu.” (al-‘Ankabut [29]: 43).

Di samping itu, Allah ‘azza wa jalla juga berfirman:

وَ لَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَ إِلى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنَهُ مِنْهُمْ

“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul beserta Ulil Amri (215) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul maupun Ulil Amri).” (226) (an-Nisa’ [4]: 83).

Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita, bahwa untuk menentukan hukum dari segala kejadian adalah dengan menyerahkan sepenuhnya kepada pemahaman para ahli ilmu yang ada di antara mereka. Oleh karena itu, penyebutan dan pensifatan terhadap mereka disejajarkan dengan para Rasul, terutama dalam mengungkapkan rahasia di balik hukum-hukum Allah s.w.t.

Ada pula pendapat yang mengaitkannya dengan firman Allah s.w.t. berikut ini:

يَا بَنِيْ آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِيْ سَوْءَاتِكُمْ وَ رِيْشًا

“Wahai anak Adam, (237) sesungguhnya Kami (Allah) telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutup aurat kalian, dan pakaian indah.” (al-A‘raf [7]: 26), bahwa yang dimaksud dari uraian ini adalah “ilmu”. Sedangkan kalimat, (وَ رِيْشًا) “Untuk menutup aurat kalian,” (al-A‘raf [7]: 26), yang dimaksud adalah “keyakinan”. Adapun kata (وَ لِبَاسُ التَّقْوى ) “Dan pakaian takwa,” (248) (al-A‘raf [7]: 26), adalah “rasa malu”. Demikian penjelasan menurut sebagian mufassirīn.

Kemudian Allah ‘azza wa jalla berfirman pada ayat yang lain:

وَ لَقَدْ جِئْنَاهُمْ بِكِتَابٍ فَصَّلْنَاهُ عَلى عِلْمٍ

“Dan sesungguhnya Kami (Allah) telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Qur’an) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami.” (259) (al-A‘raf [7]: 52).

Pada ayat yang lain, Allah ‘azza wa jalla juga berfirman:

فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ

“Maka sesungguhnya akan Kami (Allah) kabarkan kepada mereka apa-apa yang telah mereka perbuat, sedang Kami mengetahui keadaan mereka.” (al-A‘raf [7]: 7).

Allah ‘azza wa jalla juga berfirman:

بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِيْ صُدُوْرِ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ

“Sebenarnya, Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (2610) (al-‘Ankabut [29]: 49).

Pada ayat berbeda, Allah ‘azza wa jalla berfirman:

خَلَقَ الإِنْسَانَ عَلَّمَهُ الْبَيَانَ

“Dia (Allah) menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (ar-Rahman [55]: 3-4).

Tujuan dari ayat ini adalah, agar manusia memahami betapa berartinya nikmat yang Allah s.w.t. berikan berupa ilmu, Dia ajarkan kepada manusia setelah Dia ciptakan.

Demikian penjelasan di seputar ketinggian dan keutamaan ilmu yang terangkum dalam firman-firmanNya.

Adapun kelebihan dan kemuliaan ilmu yang terangkum dalam sabda Nabi s.a.w. dapat kami sebutkan rangkaiannya berikut ini. Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَ يُلْهِمْهُ رُشْدَهُ

Siapa saja yang Allah kehendaki kebaikan ada pada dirinya, maka Dia anugerahkan kepada hamba tersebut ilmu (pemahaman) dalam urusan agama, serta diilhamkan-Nya kepada hamba itu petunjuk yang bisa ia ikuti. (2711).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ

Ulama (orang yang memiliki ilmu agama) itu adalah pewaris para Nabi. (2812).

Seperti diketahui secara umum, bahwa tidak terdapat derajat kemanusiaan yang melebihi kedudukan para Nabi. Juga tidak tersedia kemuliaan hidup yang melebihi kemuliaan tugas kerasulan, sebagaimana yang diwariskan.

Nabi s.a.w. juga pernah bersabda:

يَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِمِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَ الأَرْضِ

Penduduk langit dan bumi memintakan ampunan [kepada Allah] bagi mereka yang berilmu. (2913).

Jika demikian, kedudukan apakah yang bisa melebihi posisi orang yang para malaikat langit dan bumi selalu memintakan ampunan bagi mereka, sementara mereka yang dimintakan ampunan tengah sibuk dengan urusan masing-masing?

Pada hadis lain, Nabi s.a.w. juga pernah bersabda:

إِنَّ الْحِكْمَةَ تَزِيْدُ الشَّرِيْفَ شَرَفًا وَ تَرْفَعُ الْمَمْلُوْكَ حَتَّى يُدْرِكَ مَدَارِكَ الْمُلُوْكِ

Sesungguhnya hikmah di balik ilmu itu bisa memuliakan orang yang sudah mulia, dan meninggikan derajat seorang budak, hingga mencapai kedudukan (derajat) para raja. (3014).

Isi atau penjelasan dari riwayat ini memberikan gambaran, bahwa kedudukan ilmu memuliakan pemiliknya di dunia, sebagaimana kemuliaan yang bakal didapat pada saat berada di alam kekekalan nanti, alam akhirat.

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

خَصْلَتَانِ لاَ يَكُوْنَانِ فِيْ مُنَافِقٍ: حُسْنُ سَمْتٍ وَ فِقْهٌ فِي الدِّيْنِ

Ada dua perkara yang tidak akan pernah dijumpai tersemat pada diri orang-orang munafik: yakni akhlak yang luhur, dan pemahaman (ilmu) tentang masalah agama. (3115).

Oleh karena itu, jangan pernah kita meragukan kedudukan dan kebenaran yang disampaikan melalui hadis ini. Sebab, keraguan lebih disebabkan kepicikan pemahaman keagamaan orang-orang yang hidup di penghujung zaman; seperti saat ini. Pemahaman keagamaan terhadap kualitas isi pada hadis dimaksud tidak seperti yang terlanjur kita asumsikan sekarang ini, sebagaimana akan dijelaskan nanti, insyā’ Allāh. Minimal, pemahaman seorang ahli (orang yang berilmu) akan lebih mengetahui jika kemuliaan kehidupan akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan di alam dunia. Dengan kata lain, bagi mereka yang memiliki ilmu, kepicikan pemahaman terhadapa suatu persoalan bisa dihindarkan, diminimalisir, sekaligus mampu menepis sikap riya’ yang sangat merugikan bagi diri sendiri.

Karena itu, Nabi s.a.w. pernah mengingatkan dalam sabda beliau:

أَفْضَلُ النَّاسِ الْمُؤْمِنُ الْعَالِمُ الَّذِيْ إِنِ احْتِيْجَ إِلَيْهِ نَفَعَ، وَ إِنِ اسْتُغْنِيَ عَنْهُ أَغْنَى نَفْسَهُ

Manusia terbaik adalah seorang Mukmin yang berilmu. Yaitu, jika dibutuhkan, maka ia berguna bagi sesamanya. Namun, jika tidak dibutuhkan, ia dapat mengurus dan mengendalikan kebutuhan dirinya sendiri. (3216).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

اَلْإِيْمَانُ عُرْيَانٌ وَ لِبَاسُهُ اتَّقْوَى وَ زِيْنَتُهُ الْحَيَاءُ وَ ثَمَرَتُهُ الْعِلْمُ

Kondisi keimanan seseorang itu layaknya orang yang sedang telanjang (tidak berpakaian). Sedangkan pakaian penutupnya adalah sikap takwa, perhiasan yang menyelimutinya adalah rasa malu, dan buah yang dimunculkannya adalah ilmu. (3317)

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

أَقْرَبُ النَّاسِ مِنْ دَرَجَةِ النُّبُوَّةِ أَهْلُ الْعِلْمِ وَ الْجِهَادِ، أَمَّ أَهْلُ الْعِلْمِ فَدَلُّوا النَّاسَ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ، وَ أَمَّا أَهْلُ الْجِهَادِ فَجَاهَدُوَا بِأَسْيَافِهِمْ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ

Posisi manusia yang derajatnya sangat dekat dengan derajat kenabian adalah orang yang berilmu dan berjihad. Adapun makna orang yang berilmu, ia memberi petunjuk kepada manusia lain dengan apa yang pernah disampaikan oleh para Rasul. Sedangkan arti orang yang berjihad, ia bersedia menegakkan perjuangan di jalan Allah dengan pedang (berani mati) demi membela apa yang telah dibawa oleh para Rasul Allah (akidah Islam). (3418).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

لَمَوْتُ قِبِيْلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ

Kematian seluruh suku pada sebuah bangsa sesungguhnya masih lebih terasa ringan ketimbang meninggal dunianya seorang yang berilmu (‘ālim) di antara mereka. (3519).

Lebih lanjut Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

النَّاسُ مَعَادِنُ كَمَعَادِنِ الذَّهَبِ وَ الْفِضَّةِ، فَخِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الإِسْلاَمِ إِذَا فَقُهُوْا

Manusia itu ibarat benda yang terbuat dari unsur logam, seperti emas atau perak. Manusia yang baik pada masa Jahiliah menjadi baik pula pada masa memeluk Islam; dengan catatan, apabila mereka itu berilmu (memiliki pemahaman yang benar tentang agama Islam). (3620).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

يُوْزَنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِدَادُ الْعُلَمَاءِ بِدَمِ الشُّهَدَاءِ

Tinta para ulama (orang-orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya di jalan Allah) akan ditimbang pada Hari Kiamat menggunakan takaran yang setara dengan darah para syuhada. (3721).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

مَنْ حَفِظَ عَلَى أُمَّتِيْ أَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا مِنَ السُّنَّةِ حَتَّى يُؤَدِّيَهَا إِلَيْهِمْ كُنْتُ لَهُ شَفِيْعًا وَ شَهِيْدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Siapa saja dari umatku yang sanggup menghafal 40 (empat puluh) hadis, lalu mengajarkan hafalannya itu kepada orang lain, maka aku akan memberinya syafa‘at dan menjadi saksi baginya pada Hari Berbangkit kelak. (3822).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

مَنْ حَمَلَ مِنْ أُمَّتِيْ أَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقِيْهًا عَالِمًا

Siapa saja dari umatku mampu menghafal 40 (empat puluh) hadis, maka ia akan bertemu dengan Allah pada Hari Berbangkit kelak sebagai seorang yang ahli dalam bidang fikih dan ‘ālim (berilmu). (3923).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

مَنْ تَفَقَّهَ فِيْ دِيْنِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ كَفَاهُ اللهُ تَعَالَى مَا أَهَمَّهُ وَ رَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ

Siapa saja yang memahami agama Allah, niscaya Allah cukupkan kebutuhannya, dan diberikan-Nya rezeki dari arah yang tidak pernah ia sangka (duga). (4024).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

أَوْحَى اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ إِلَى إِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: يَا إِبْرَاهِيْمُ، إِنِّيْ عَلِيْمٌ أُحِبُّ كُلَّ عَلِيْمٍ

Allah berfirman kepada Nabi Ibrahim a.s.: “Wahai Ibrahim, Aku Maha Tahu, dan Aku sangat mencintai orang-orang yang berilmu. (4125).

Beliau s.a.w. juga pernah bersabda:

الْعَالِمُ أَمِيْنُ اللهِ سُبْحَانَهُ فِي الْأَرْضِ

Seorang yang berilmu adalah kepercayaan Allah di muka bumi. (4226).

Sabda beliau s.a.w. selanjutnya:

صِنْفَانِ مِنْ أُمَّتِيْ إِذَا صَلُحُوْا صَلُحَ النَّاسُ وَ إِذَا فَسَدُوْا فَسَدَ النَّاسُ: اَلْأُمَرَاءُ وَ الْفَقَهَاءُ

Ada dua golongan di antara umatku yang apabila keduanya baik niscaya baiklah umatku, dan jika keduanya rusak niscaya rusak pulalah umatku; penguasa (umara’) dan ahli fikih (fuqaha’). (4327).

Beliau s.a.w. juga pernah bersabda:

إِذَا أَتَى عَلَيَّ يَوْمٌ لاَ أَزْدَادُ فِيْهِ عِلْمًا يُقَرِّبُنِيْ إِلَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ فَلاَ بُوْرَكَ لِي فِيْ طُلُوْعِ الشَّمْسِ ذلِكَ الْيَوْمِ

Jika suatu hari tiba kepadaku, tapi ilmuku untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak bertambah, maka tidak diberikan kepadaku berkah saat matahari terbit hari itu. (4428).

Nabi s.a.w. juga pernah bersabda mengenai keutamaan ilmu dari ibadah lainnya dan mati syahid.

فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِيْ عَلَى أَدْنَى رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِيْ

Kelebihan seorang ahli ilmu atas seorang ahli ibadah laksana kelebihan diriku (Nabi) atas seseorang yang terendah derajat atau kualitas ibadahnya dari sahabatku. (4529).

Perhatikanlah, betapa beliau s.a.w. mengaitkan antara ilmu dengan derajat kenabian. Dan, betapa Nabi menganggap rendah derajat seorang ahli ibadah yang beramal tanpa didasari ilmu. Karena, ibadah yang dilakukan tidak terlepas dari kebutuhan ilmu tentang tata cara pelaksanaannya. Masih menurut beliau, jika tanpa ilmu maka hakikat amalan yang dilakukan bukanlah bernilai ibadah. Beliau s.a.w. juga pernah bersabda:

فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ

Kelebihan orang yang berilmu dan orang yang gemar beribadah – tanpa ilmu – seperti kelebihan bulan purnama yang bersinar sangat terang atas gugusan bintang lainnya. (4630).

Selanjutnya, beliau s.a.w. juga pernah bersabda:

يَشْفَعُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلاَثَةٌ: الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْعُلَمَاءُ ثُمَّ الشَّهَدَاءُ

Yang bisa memberi syafa‘at (pertolongan) pada Hari Kiamat nanti ada tiga golongan; para nabi, orang-orang yang berilmu, kemudian orang-orang yang mati syahid. (4731).

Kedudukan ahli ilmu ditinggikan posisinya sesudah derajat kenabian, serta masih di atas posisi mereka yang meninggal dunia dalam keadaan syahid; berikut apa saja yang pernah disebutkan dalam banyak riwayat mengenai kelebihan para ahli ilmu.

 

↖ Ke indeks Ihya Ulumiddin: Ilmu dan Keyakinan – Bagian Tentang Ilmu

Catatan:

  1. 17). Ayat ini untuk menjelaskan martabat orang-orang berilmu – penerj.
  2. 18). Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah s.w.t. – penerj.
  3. 19). Yaitu para ulama dari kelompok Ahli Kitab yang memeluk agama Islam – penerj.
  4. 20). Al-Kitāb di sini maksudnya ialah, kitab yang diturunkan sebelu Nabi Sulaiman, yaitu Taurat dan Zabur – penerj.
  5. 21). Ialah, tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka – penerj.
  6. 22). Menurut mufassirīn yang lain maksudnya ialah, kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan Ulil Amri, tentulah Rasul dan Ulil Amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istinbat) dari berita itu – penerj.)
  7. 23). Maksudnya ialah, umat manusia – penerj.
  8. 24). Maskudnya ialah, selalu bertakwa kepada Allah – penerj.
  9. 25). Maksudnya, atas dasar pengetahuan Kami (Allah) tentang apa yang menjadi kemaslahatan bagi hamba-hamba Kami di dunia dan akhirat – penerj.
  10. 26). Maksudnya, ayat-ayat al-Qur’an itu terpelihara dalam dada dengan dihafal oleh banyak kaum Muslim secara turun-temurun, dan dipahami oleh mereka. Sehingga tidak ada seorang pun yang dapat mengubahnya – penerj.
  11. 27). Hadis dengan redaksi ini diriwayatkan oleh Muttafaqun ‘alaih (Imam Bukhari dan Imam Muslim) dari jalur Mu‘awiyah tanpa menggunakan redaksi (وَ يُلْهِمْهُ رُشْدَهُ). Tambahan redaksi ini bersumber dari riwayat yang disampaikan oleh Imam ath-Thabrani dalam kitab Takbir. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, tambahan redaksi dimaksud berasal dari riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Mas‘ud, sebagaimana dilemahkan oleh Imam al-Albani dalam buku Dha‘īf al-Jāmi‘, hal. 901.
  12. 28). Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shaḥīḥ miliknya, dari jalur Abud-Darda’
  13. 29). Riwayat ini merupakan penggalan (bagian) dari riwayat yang pernah disampaikan oleh Abud-Darda’, sebagaimana telah dikemukakan pada riwayat sebelum ini.
  14. 30). Diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam al-Ḥilyah. Juga oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam al-Bayān-ul-‘Ilm. Demikian pula oleh ‘Abdul-Ghani al-Azdi dalam Ādāb-ul-Muḥaddits, dari riwayat Anas bin Malik dengan isnād dha‘īf (lemah).
  15. 31). Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari jalur Abu Hurairah. Imam at-Tirmidzi mengatakan: bahwa status riwayat ini adalah gharīb (hadits yang di antara perawinya terdapat seseorang yang menyendiri dalam periwayatan – penerj). Saya (muḥaqqiq) berpendapat, isnād pada riwayat Imam at-Tirmidzi ini lemah (dha‘īf), akan tetapi menjadi shaḥīḥ disebabkan banyaknya jalan yang ada mengenai riwayat ini. Seperti disebutkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shaḥīḥah, hadis nomor 278.
  16. 32). Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Syu‘ab-ul-Īmān secara mauqūf (hadits yang periwayatannya hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik sanad-nya bersambung maupun tidak – penerj.). Pada riwayat Abud-Darda’ ini sanad-nya lemah, dan tidak terlihat adanya alasan yang menyampaikannya pada status marfū‘ (perbuatan, perkataan, maupun ikrar yang disandarkan kepada Nabi s.a.w. oleh sahabat maupun lainnya, baik sanad-nya bersambung maupun terputus – penerj.)
  17. 33). Diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam Tārīkh Naisabūrī, dari hadits Abud-Darda’ dengan isnād lemah (dha‘īf).
  18. 34). Diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam Fadhl-ul-‘Ilm-il-‘Afīf, dari hadits Ibnu ‘Abbas r.a. dengan sanad lemah (dha‘īf).
  19. 35). Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dan Ibnu ‘Abdil-Barr dari hadits Abud-Darda’. Sumber asal yang sesungguhnya dari riwayat ini kembali kepada Abud-Darda’. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, Imam al-Haitsami menyebutkan riwayat ini dalam Majmū‘-uz-Zawā’id, Jilid 1, hlm. 201. Lalu dikatakan, diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Kabīr, yang di dalam sanad-nya terdapat ‘Utsman bin Aiman. Dan saya tidak mendapati seseorang yang menyebutkan seperti itu selain Isma‘il bin Shalih.
  20. 36). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun ‘alaih) dari dari jalur Abi Hurairah. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, lafazh pada redaksi ini berasal dari riwayat Imam Muslim, Jilid 4, hadits nomor 2031. Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Jilid 2, hadits nomor 539, dari sumber yang sama, Abu Hurairah r.a. Yang terdapat pada redaksi Muttafaqun ‘alaih tidak termasuk lafazh (كَمَعَادِنِ الذَّهَبِ وَ الْفِضَّةِ).
  21. 37). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dari hadits Abud-Darda’ dengan sanad lemah (dha‘īf).
  22. 38). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam al-‘Ilm, dari hadits Ibnu ‘Umar r.a., dan ia melemahkan riwayat ini.
  23. 39). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam al-‘Ilm, dari hadits Anas bin Malik r.a., dan ia melemahkan riwayat ini.
  24. 40). Diriwayatkan oleh Imam al-Khathib dalam at-Tārīkh, dari hadits ‘Abdullah bin Jaza’-uz-Zubaidi dengan sanad lemah (dha‘īf).
  25. 41). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam salah satu ta‘līq yang beliau lakukan, tanpa menyebutkan susunan maupun status isnād-nya.
  26. 42). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dari hadits Mu‘adz bin Jabal r.a. dengan status sanad lemah (dha‘īf).
  27. 43). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dan Abu Nu‘aim dari hadits Ibnu ‘Abbas r.a. dengan sanad lemah (dha‘īf).
  28. 44). Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Ausath. Juga oleh Abu Nu‘aim dalam al-Ḥilyah. Dan, diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam al-‘Ilm, dari hadits ‘A’isyah r.a., dengan isnād lemah (dha‘īf).
  29. 45). Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari hadits Abu Umamah, dan beliau menyatakan tentang statusnya, ḥasan shaḥīḥ.
  30. 46). Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Imam at-Tirmidzi, Imam an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Redaksi hadits ini merupakan penggalan dari riwayat yang pernah disampaikan oleh Abud-Darda’. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, status isnād pada riwayat ini adalah ḥasan. Lihat lebih lanjut dalam al-Misykāt, hadits nomor 212.
  31. 47). Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari hadits ‘Utsman bin ‘Affan r.a. dengan isnād lemah (dha‘īf). Saya (muḥaqqiq) berpendapat, status riwayat ini palsu (maudhū‘). Lihat lebih lanjut penjelasannya dalam buku karya Imam al-Albani, adh-Dha‘īfah, hadits nomor 1978.