Ihya Ulumiddin: Keutamaan Belajar

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Bab Pertama

Keutamaan Belajar dan Mengajar

 

Keutamaan belajar, mengajar, berikut dalil-dalilnya dari al-Qur’an, al-Hadis (naqli), dan juga dalil akal (‘aqli) mengenai ilmu.

Keutamaan Belajar

Allah s.w.t. telah berfirman:

فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِي الدِّيْنِ

“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam ilmu agama?” (at-Taubah [9]: 122).

Dan firman Allah ‘azza wa jalla:

فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ

“Maka bertanyalah kalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl [16]: 43).

Nabi s.a.w. pernah bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Siapa saja yang mengadakan perjalanan untuk usaha menuntut ilmu, maka Allah akan menganugerahinya jalan ke surga. (571).

Nabi s.a.w. juga pernah bersabda:

إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضَاءً بِمَا يَصْنَعُ

Sesungguhnya para malaikat membentangkan sayap mereka kepada para pencari ilmu, sebagai pertanda ridha dengan usaha orang-orang itu. (582).

Nabi s.a.w. juga pernah bersabda:

لِأَنْ تَغْدُوَ فَتَتَعَلَّمَ بَابًا مِنَ الْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تُصَلِّيَ مِائَةَ رَكْعَةٍ

Bahwa sesungguhnya engkau berjalan atau pergi mempelajari ilmu satu bab adalah lebih baik daripada engkau melakukan shalat (sunnah – penerj.) seratus raka‘at. (593).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

بَابٌ مِنَ الْعِلْمِ يَتَعَلَّمُهُ الرَّجُلُ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَ مَا فِيْهَا

Seseorang yang mempelajari satu bab dari suatu ilmu masih jauh lebih baik nilainya daripada dunia dan isinya. (604).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

اُطْلُبُوا الْعِلْمَ وَ لَوْ بِالصِّيْنِ

Carilah ilmu walaupun harus menuntutnya hingga ke negeri Cina. (615).

Nabi s.a.w. juga pernah bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu itu diwajibkan atas diri setiap Muslim. (626)

Nabi s.a.w. pernah bersabda:

الْعِلْمُ خَزَائِنُ مَفَاتِيْحُهَا السُّؤَالُ، أَلاَ فَاسْأَلُوْا فَإِنَّهُ يُؤْجَرُ فِيْهِ أَرْبَعَةٌ: السَّائِلُ وَ الْعَالِمُ وَ الْمَسْتَمِعُ وَ الْمُحِبُّ لَهُمْ

Ilmu itu laksana sebuah gudang, sedangkan kunci pembukanya adalah bertanya. Sesungguhnya, ada pahala bagi empat golongan manusia, yaitu orang yang bertanya, orang yang menjawab, orang yang mendengar, dan orang yang suka dengan kondsi mereka bertiga. (637).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

لاَ يَنْبَغِيْ لِلْجَاهِلِ أَنْ يَسْكُتَ عَلَى جَهْلِهِ وَ لاَ لِلْعَالِمِ أَنْ يَسْكُتَ عَلَى عِلْمِهِ

Tidak semestinya orang yang belum berilmu itu berdiam diri pada kejahilannya, dan tidak seharusnya pula orang yang sudah berilmu berdiam diri atas ilmunya (tidak mengamalkan ilmunya). (648).

Pada sebuah hadis yang disampaikan dari Abu Dzarr r.a. dikatakan: “Menghadiri majelis orang berilmu itu jauh lebih utama daripada mendirikan shalat (sunnah – penerj.) seribu raka‘at, atau menjenguk seribu orang sakit, dan berta‘ziah ke seribu jenazah.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika dibandingkan dengan membaca al-Qur’an?” Nabi s.a.w. menjawab dengan balik bertanya: “Adakah manfaat al-Qur’an itu selain dengan memahami dan mengetahui ilmu yang terkandung di dalamnya?” (659).

Nabi s.a.w. kemudian bersabda:

مَنْ جَاءَهُ الْمَوْتَ وَ هُوَ يَطْلُبُ الْعِلْمَ لِيُحْيِيَ بِهِ الإِسْلاَمَ فَبَيْنَهُ وَ بَيْنَ الأَنْبِيَاءَ فِي الْجَنَّةِ دَرَجَةً وَاحِدَةً

Siapa saja yang meninggal dunia pada saat menuntut ilmu untuk tujuan mensyi‘arkan Islam, maka jarak antara dirinya dengan para Nabi di surga nanti hanya sekitar satu tingkatan. (6610).

Adapun perkataan para sahabat dan ahli hikmah dalam masalah keutamaan belajar, pernah Ibnu ‘Abbas r.a. berkata: “Aku pernah tidak menyukai seorang pencari ilmu, (6711) namun sungguh aku sangat memuliakan apa yang dicarinya (ilmu itu sendiri).”

Ibnu Abi Mulaikah raḥimahullāh juga pernah mengatakan: “Belum pernah aku menyaksikan orang seperti Ibnu ‘Abbas r.a. dalam urusan menuntut ilmu. Apabila aku melihatnya, maka tampaklah raut wajahnya sangat menawan. Apabila ia bertutur kata, maka lisannya amat lancar mengucap kalimat demi kalimat yang tersusun indah. Dan apabila ia memberikan fatwa (pendapat hukum), maka ia adalah orang yang sangat menguasai ilmunya.”

Ibnu al-Mubarak raḥimahullāh berkata: “Aku heran kepada orang yang tidak suka (malas) menuntut ilmu. Bagaimana mungkin ia mampu membawa dirinya kepada kemuliaan tanpa rela menuntut ilmu?”

Seorang ahli hikmah pernah berkata: “Sesungguhnya, aku tidak bisa berbelas-kasih kepada salah seorang dari dua orang berikut ini; yaitu, orang yang menuntut ilmu namun tidak memahaminya karena meremehkan ilmu yang sedang dituntutnya, dan orang yang memahami ilmu namun tidak menuntut adanya pengamalan atas apa yang telah diketahuinya.”

Abud-Darda’ r.a. pernah berkata: “Aku lebih suka mempelajari satu persoalan agama hingga tuntas dibandingkan dengan mengerjakan shalat sunah sepanjang malam.”

Abud-Darda’ r.a. juga pernah berkata: “Hendaklah kalian termasuk orang yang berilmu, orang yang mempelajari ilmu, atau orang yang mendengarkan ilmu. Dan jika kalian tidak termasuk salah satu di antara ketiganya, maka binasalah kalian.”

‘Atha’ juga pernah berkata: “Satu majelis ilmu yang ditegakkan kebenaran di dalamnya mampu menutupi dosa tujuh puluh majelis lain (selain menuntut ilmu) yang di dalamnya terjadi kesia-siaan.”

‘Umar Ibnul-Khaththab r.a. pernah berkata: “Meninggal dunianya seribu orang ahli ibadah yang suka mengerjakan shalat sunah sepanjang malam dan berpuasa sunah sepanjang siang hanyalah penggalan dari malapetaka kecil jika dibandingkan dengan meninggal dunianya seorang ahli ilmu yang mengetahui urusan yang dihalalkan maupun yang diharamkan agama.”

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh pernah menyatakan: “Menuntut ilmu agama itu jauh lebih utama daripada melakukan ibadah-ibadah yang disunnahkan.”

Ibnu ‘Abdil-Hakam raḥimahullāh juga pernah mengatakan: “Aku pernah belajar ilmu agama pada Imam Malik bin ‘Atha’ raḥimahullāh. Lalu masuk waktu shalat Zhuhur. Segera aku kemasi dan kumpulkan semua kitab yang tengah kami pelajari untuk bergegas mengerjakan shalat berjama‘ah. Imam Malik pun berkata: “Wahai Ibnu ‘Abdil-Hakam, tidaklah yang engkau bangun dan hendak segera mengerjakannya itu (shalat di awal waktu) lebih utama dari apa yang saat ini engkau berada di dalamnya (mempelajari ilmu agama); tentunya apabila niatmu dalam menuntut ilmu agama benar dan semata-mata karena mengharapkan keridhaan Allah ‘azza wa jalla.”

Abud-Darda’ r.a. juga pernah mengatakan: “Siapa saja yang berpendapat bahwa berangkat mencari ilmu bukan bagian dari berjihad di jalan Allah s.w.t., maka ia adalah orang yang pikiran dan akalnya dangkal.”

 

Catatan:


  1. 57). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah r.a. 
  2. 58). Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hibban, dan al-Hakim, lalu men-shaḥīḥ-kannya, dari hadits Shafwan bin ‘Assal. 
  3. 59). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dari hadis Abu Dzarr r.a., dan tidak ditemukan isnād lain selain dari riwayat ini. Ada pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan redaksi yang berbeda. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, redaksi hadits riwayat Ibnu Majah adalah (وَ لِأَنْ تَغْدُوَ فَتَعَلَّمَ بَابًا مِنَ الْعِلْمِ عُمِلَ بِهِ أَوْ لَمْ يُعْمَلْ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تُصَلِّيَ أَلْفَ رَكْعَةٍ) “Sesungguhnya pada saat engkau berjalan untuk mempelajari ilmu satu bab, baik ilmu itu diamalkan ataupun belum diamalkan, adalah lebih baik daripada engkau melakukan shalat (sunah – penerj.) seribu raka‘at. Keduanya, baik riwayat Ibnu ‘Abdil-Barr maupun Ibnu Majah, berstatus lemah (dha‘īf). Sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Albani dalam Dha‘īf-ul-Jāmi‘, hadis nomor 6388, juga dari hadits Abu Dzarr r.a. 
  4. 60). Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Raudhat-ul-‘Aqlā’. Juga oleh Ibnu ‘Abdil-Barr secara mauqūf pada al-Hasan al-Bashri. Kami tidak menjumpai riwayat yang berstatus marfū‘, kecuali dengan redaksi (خَيْرٌ لَهُ مِنْ مِائَةَ رَكْعَةٍ) “… lebih baik daripada shalat (sunah – penerj.) seratus raka‘at.” Diriwayatkan pula oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Ausath dengan sanad lemah (dha‘īf), dari hadits Abu Dzarr r.a. 
  5. 61). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dan Imam al-Baihaqi dalam al-Mudkhal-usy-Syu‘ab, dari hadits Anas bin Malik r.a. Imam al-Baihaqi mengatakan, matan hadits ini sangat dikenal, akan tetapi isnād-nya sangat lemah (dha‘īf). Imam al-Albani menyebutkan riwayat ini dalam adh-Dha‘īfah, hadits nomor 416 sebagai riwayat yang bāthil (buruk). 
  6. 62). Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari hadis Anas bin Malik r.a. Imam Ahmad dan Imam al-Baihaqi melemahkan statusnya, demikian pula dengan selain kedua Imam tersebut. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, riwayat ini sebenarnya berstatus shaḥīḥ dari berbagai sumber yang ada. Dan, Imam al-Albani mencantumkannya dalam Shaḥīḥ-ul-Jāmi‘, hadits nomor 3914, juga dari hadits Anas bin Malik r.a. Ada pula yang bersumber dari jalur al-Hasan bin ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas‘ud, ‘Ali bin Abi Thalib, dan Abu Sa‘id al-Khudri r.a. 
  7. 63). Diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dari hadits ‘Ali secara marfū‘, dengan isnād lemah (dha‘īf). Diriwayatkan pula oleh Abu Nu‘aim dalam al-Ḥilyah, Jilid 3, hlm. 192, dan menyatakan status periwayatan ini adalah maudhū‘ (palsu). Dalam susunan isnād-nya terdapat perawi bernama Dawud bin Sulaiman al-Jurjani al-Ghazi, dan beliau adalah tokoh yang cukup dikenal. 
  8. 64). Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Ausath. Juga oleh Ibnu Mardawaih dalam kitab Tafsīr miliknya. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Sunni dan Abu Nu‘aim dalam Riyādhat-ul-Muta‘llimīn, dari hadits Jabir r.a. dengan sanad lemah (dha‘īf). 
  9. 65). Ibnul-Jauzi raḥimahullāh menyebutkan riwayat ini dalam al-Maudhū‘āt, dari hadits ‘Umar Ibnul-Khaththab r.a., dan tidak dijumpai dari riwayat (jalur) Abu Dzarr r.a. 
  10. 66). Diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi dan Ibnu Sunni dalam Riyādhat-ul-Muta‘llimīn, dari hadits al-Hasan. Ada pula pendapat yang mengatakan, yang dimaksud dengan al-Hasan itu Ibnu ‘Ali. Dan, ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa ia adalah Ibnu Yassar al-Bashri, dengan status (diriwayatkan secara) mursal (hadits yang dinyatakan gugur pada akhir sanad-nya, yaitu seseorang setelah generasi tabi‘in – penerj.) 
  11. 67). Maksudnya, yang salah dalam niatnya pada saat mencari ilmu – penerj.