Ihya Ulumiddin: Mengapa Ilmu Menjadi Tercela

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Bab Ketiga

Mengapa Ilmu Menjadi Tercela

 

Mengenai ilmu yang dianggap oleh orang kebanyakan sebagai terpuji, padahal sebenarnya tidak (yakni tercela).
Di dalamnya berisikan penjelasan tentang apa yang menyebabkan ilmu itu menjadi tercela, serta batasan atas ilmu yang terpuji maupun tercela.
Juga penjelasan di seputar penggantian nama menjadi Fikih, Tauhid, Ilmu Tadzkir dan Hikmah.

Ilmu tidak dianggap tercela kecuali karena salah satu dari tiga alasan berikut ini: Pertama, jika orang yang menguasai ilmu itu membawanya kepada kesengsaraan dan kebinasaan orang lain. Contohnya adalah ilmu sihir, perdukunan, dan segala sesuatu yang menggunakan mantera. Ilmu-ilmu semacam ini benar-benar ada, sebagaimana di dalam al-Qur’an juga dinyatakan tentang keberadaannya. Di dalam kitab Shaḥīḥ-ul-Bukhārī dan Shaḥīḥu Muslim diriwayatkan hadits-hadits yang menceritakan, bahwa Rasulullah s.a.w. sendiri pernah menjadi korban dari ilmu yang tercela ini, yakni ilmu sihir. Sehingga beliau sempat jatuh sakit karenanya. (1281)

Malaikat Jibril a.s. yang memberitahukan kepada Rasulullah mengenai persoalan sihir ini. Adapun benda yang dipergunakan sebagai perantaraan masuknya ilmu sihir kepada diri beliau diambil dari dasar sebuah sumur. Ini adalah sejenis ilmu yang diperoleh pengetahuan tentang batu-batu mulia dan perhitungan matematis di seputar kedudukan dan saat bintang-bintang terbit. Jadi, dapat disimpulkan di sini, bahwa ilmu itu tidaklah tercela karena keberadaan ilmu itu sendiri, akan tetapi lebih disebabkan pada hak manusia yang keliru di dalam menggunakannya. Yakni, bisa menyebabkan tetaknya hubungan antara dua orang yang sebelumnya bersatu, disebabkan hak salah satu di antara keduanya telah dilanggar oleh yang lain.

Sebab lainnya atau yang kedua adalah, jika suatu ilmu menyebabkan banyak penderitaan dan kebinasaan bagi pemiliknya, maka ia merupakan ilmu yang tercela. Seperti pada ilmu astronomi – yang sampai detik ini masih bercampur dengan ilmu astrologi, atau biasa kita sebut sebagai ilmu nujum (perbintangan). Ilmu astronomi itu sendiri terdiri dari dua macam, yaitu: yang berhubungan dengan matematika dan perhitungan waktu. Sebagaimana Allah s.w.t. sendiri telah menyatakan di dalam al-Qur’an:

وَ الشَّمْسُ وَ الْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ

Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.” (ar-Raḥmān [55]: 5).

Juga pada firman Allah s.w.t.:

وَ الْقَمَرُ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ

Mengenai bulan, Kami tetapkan manzilah-manzilah (tempat-tempat) baginya, hingga kembalilah ia seperti bentuk mayang yang menua.” (Yāsīn [36]: 39).

Sedangkan lainnya, yaitu yang berhubungan dengan aktivitas meramalkan sesuatu yang akan terjadi pada masa mendatang. Di mana sebagian dari tandanya adalah, bahwa kejadian-kejadian pada masa mendatang ditunjukkan oleh sebab-sebab yang terjadi sekarang. Karena itu, ilmu tentang meramalkan sesuatu ini dapat didefinisikan sebagai usaha untuk mengetahui sebab-sebab hukum dan perintah Allah s.w.t. yang terkait dengan ciptaan-Nya pada masa yang belum diketahui.

Sayangnya, syari‘at menyatakan bahwa ilmu mengenai urusan meramal kejadian pada masa mendatang itu sebagai ilmu yang tercela (dilarang mempelajari atau menggunakannya). Sebagaimana Rasulullah s.a.w. sendiri pernah bersabda (berpesan) kepada para sahabat beliau:

إِذَا ذُكِرَ الْقَدَرُ فَأَمْسِكُوْا، وَ إِذَا ذُكِرَتِ النُّجُوْمُ فَأَمْسِكُوْا، وَ إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِيْ فَأَمْسِكُوْا

Ketika taqdir Allah disebutkan, maka berhati-hatilah kalian. Pada saat ilmu mengenai bintang-bintang (ramalan) disebutkan, maka berhati-hatilah kalian. Dan ketika – keburukan – sahabat-sahabatku disebutkan, juga berhati-hatilah kalian.” (1292)

Juga pada sabda Rasulullah s.a.w. lainnya:

أَخَافُ عَلَى أُمَّتِيْ بَعْدِيْ ثَلَاثًا: حَيْفُ الْأَئِمَّةِ وَ الْإِيْمَانُ بِالنُّجُوْمِ وَ التَّكْذِيْبُ بِالْقَدْرِ

Aku khawatir tiga hal menimpa umat sesudahku, yaitu: [umatku akan dikuasai oleh] para penguasa yang zhalim, [mereka] percaya (gemar) kepada ilmu meramal, dan [nyaris] tidak percaya kepada taqdir Allah.” (1303).

‘Umar bin Khaththab r.a. pernah berkata: “Pelajarilah ilmu perbintangan sebatas yang dapat kalian pergunakan untuk menunjukkan arah bagi kepentingan kalian, baik itu di darat maupun di laut; namun, jangan lebih dari itu.”

Ada tiga sebab mengapa ilmu perbintangan dilarang. Pertama, ia memberi kemudharatan bagi kebanyakan orang, karena di dalam pikiran mereka tertanam bahwa bintang-bintanglah yang mempengaruhi berbagai kejadian, hingga karenanya di antara mereka banyak yang kemudian menyembah bintang-bintang (ditakuti). Sedangkan orang yang bijaksana mengetahui, bahwa matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk serta patuh hanya kepada perintah Allah s.w.t. Kedua, ilmu meramal dengan menggunakan bintang-bintang adalah pekerjaan yang semata-mata perkiraan semata. Ia diberi sebutan sebagai ilmu yang tercela karena putusannya didasarkan pada kejahilan.

Suatu kali Rasulullah s.a.w. berjalan di dekat seorang laki-laki yang dikelilingi oleh banyak orang di sekitarnya. Beliau bertanya: “Siapakah laki-laki ini? Mengapa begitu banyak orang mengitarinya?” Para sahabat menjawab: “Ia adalah seorang yang sangat pandai.” Nabi s.a.w. bertanya kembali: “Pandai dalam hal apa? Mereka menjawab: “Tentang sya‘ir dan silsilah ‘Arab.” Nabi kemudian bersabda: “Ilmu tersebut tidak berguna, dan ketidaktahuan tentang kedua urusan itu tidak akan membawa mudharat apa pun.” (1314).

Selanjutnya, beliau s.a.w. bersabda:

إِنَّمَا الْعِلْمُ آيَةٌ مُحْكَمَةٌ أَوْ سُنَّةٌ قَائِمَةٌ أَوْ فَرِيْضَةٌ عَادِلَةٌ

Yang disebut dengan ilmu yang sebenarnya itu adalah ayat-ayat al-Qur’an yang tidak diragukan lagi kebenarannya, dan Sunnah Rasul yang kekal, serta hukum-hukum seputar kewajiban yang ‘adil (yang didasarkan kepada al-Qur’an maupun as-Sunnah).” (1325).

Jadi, dapat kita simpulkan di sini bahwa perbincangan mengenai ramal-meramal dan ilmu-ilmu sejenisnya adalah pekerjaan yang bernilai sia-sia.

Alasan ketiga, bahwa suatu ilmu itu tercela justru karena tidak bermanfaat bagi orang yang memilikinya. Misalnya mempelajari ilmu yang sama sekali tidak bermanfaat sebelum memiliki ilmu yang justru sangat dibutuhkan dan cukup penting untuk segera dipahami. Atau, dengan kata lain dapat dikatakan di sini, dengan mempelajari cabang-cabang ilmu sebelum menguasai ilmu-ilmu yang pokok. Bahkan, tidak mengetahui ilmu-ilmu yang bersifat pendukung seperti itu dalam beberapa hal justru menguntungkan jika dipahami dari kisah berikut:

Suatu hari, seseorang mengeluh ke hadapan seorang dokter bahwa istrinya mandul, dan ia tidak akan bisa mengandung. Sang dokter memeriksa denyut nadi si istri beberapa lama, lalu berkata kepadanya bahwa ia akan meninggal dunia dalam masa 40 hari ke depan. Wanita itu sangat takut dan memberikan semua hartanya kepada orang banyak, lalu ia menjalani sisa hidupnya selama 40 hari tanpa makan maupun minum. Setelah rentang waktu itu berlalu, suaminya datang kepada sang dokter dan mengatakan bahwa istrinya sampai detik itu masih hidup. Sang dokter pun berkata: “Sekarang berhubungan badanlah dengan istrimu, niscaya engkan akan mempunyai anak.” Sang suami pun mengajukan pertanyaan kepada dokter: “Mengapa bisa demikian, dok?” Jawab sanga dokter: “Sebab, aku melihat kondisi fisik dari istrimu sangat gemuk, dan lemak telah menutupi mulut rahimnya. Dan, semua itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan menerapinya melalui perasaan takut mati. Hingga si istri pun menjadi kurus, dan siap dibuahi.”

Pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini adalah, bahwa ketidaktahuan seseorang kadang-kadang berdampak baik baginya. Ketidaktahuan terhadap beberapa cabang ilmu ternyata lebih baik bagi seseorang yang tidak membutuhkannya. Sebagaimana dijelaskan melalui hadits berikut ini. Nabi s.a.w. bersabda:

نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ

Kami berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (1336).

Oleh karena itu, janganlah kita membicarakan ilmu-ilmu yang dalam aturan syari‘at dinyatakan tidak berguna. Ada banyak ilmu yang apabila diselidiki lebih mendalam justru akan membinasakan dan menyengsarakan penuntutnya.

Sebagaimana pada riwayat lainnya dijelaskan, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

إِنَّ مِنَ الْعِلْمِ جَهْلًا وَ إِنَّ مِنَ الْقَوْلِ عِيًّا

Sesungguhnya sebagian dari ilmu yang ada (berkembang) itu merupakan bagian dari kejahilan, dan atau sebagian dari penjelasan yang disampaikan menjadi bagian yang tidak membawa arti (pengaruh) sesuai yang dibutuhkan.” (1347).

Yang dimaksudkan di sini adalah, disebabkan kejahilan pemiliknya, maka ilmu yang ada justru membuat pihak lain tidak bisa memahami atas kemauan atau tindakan pemiliknya dengan menyalahgunakan ilmu ke arah yang justru bertentangan dengan kehendak ilmu itu sendiri, yaitu; membawa kemaslahatan bagi semua pihak.

Juga seperti disitir oleh Rasulullah s.a.w. pada sabda berliau yang lain:

قَلِيْلٌ مِنَ التَّوْفِيْقِ خَيْرٌ مِنْ كَثِيْرٍ مِنَ الْعِلْمِ

Sedikit taufiq (petunjuk) dari Allah jauh lebih baik daripada banyak memiliki ilmu (tanpa taufiq).” (1358).

Nabi Allah ‘Isa a.s. pernah mengatakan: “Alangkah banyak pohon yang batang dan rantingnya tidak mengeluarkan buah-buahan. Juga alangkah banyak ragam buah-buahan, namun tidak semuanya bisa dinikmati. Begitu pula dengan banyaknya ilmu yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, walau tidak seluruhnya mendatangkan manfaat bagi pemilik maupun pencarinya.”

Catatan:


  1. 128). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun ‘alaih), dari hadits ‘A’isyah r.a. 
  2. 129). Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dari hadits Ibnu Mas‘ud r.a. dengan isnād ḥasan. 
  3. 130). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abd-il-Barr dari hadits yang disampaikan oleh Abu Muḥjan dengan isnād lemah (dha‘īf). Saya (muḥaqqiq) berpendapat, Syaikh al-Albani menyebutkan riwayat ini di dalam ash-Shaḥīḥah, hadits nomor 1127. Riwayat ini memiliki syawāhid (riwayat pendukung lainnya) dalam jumlah yang cukup banyak, hingga mengangkat derajatnya menjadi shaḥīḥ. Hingga al-Albani pun men-shaḥīḥ-kannya. 
  4. 131). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abd-il-Barr dari hadits Abu Hurairah r.a., dan beliau melemahkannya. 
  5. 132). Riwayat ini merupakan penggalan dari riwayat yang cukup panjang yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar r.a. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, bahwa redaksi riwayat ini disampaikan oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunan miliknya, Jilid 1, hadits nomor 54. Juga oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan miliknya, Jilid 4, hadits nomor 2885. Dan oleh Imam al-Hakim dalam Musnad miliknya, Jilid 4, hadits nomor 332, namun tidak mengomentari statusnya (mendiamkannya). Imam adz-Dzahabi mengatakan, statusnya adalah lemah (dha‘īf). Syaikh al-Albani memasukkan riwayat ini dalam Dha‘īf-ul-Jāmi‘, hadits nomor 3875, dan menegaskan bahwa statusnya adalah lemah (dha‘īf). Saya (muḥaqqiq) berpendapat, bahwa sebab kelemahannya terletak pada periwayat yang bernama ‘Abd-ur-Rahman bin Ziyad al-Ifriqi. 
  6. 133). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abd-il-Barr dari hadits Jabir bin ‘Abdullah dengan isnād yang berstatus ḥasan. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dari hadits Jabir bin ‘Abdullah dengan isnād yang berstatus sama, ḥasan. 
  7. 134). Diriwayatkan oleh Abu Dawud, yang di dalam sanad-nya terdapat seorang perawi bernama ‘Abdullah bin Tsabit (yang lebih dikenal dengan Abu Ja‘far), yang keberadaannya tidak diketahui (majhūl). Juga terdapat perawi lain bernama Shakhra bin ‘Abdullah bin Buraidah. Al-Hafizh al-‘Iraqi mengatakan dalam at-Taqrīb, periwayatannya bisa diterima. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, terdapat riwayat yang hampir sama redaksinya, juga dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan miliknya, Jilid 4, hadits nomor 5012, dengan redaksi (إِنَّ مِنَ الْقَوْلِ عِيَّلًا) “Sebagian dari penjelasan yang disampaikan menjadi bagian yang tidak membawa pengaruh sama sekali.” Dan bukan menggunakan redaksi (عِيًّا) “Tidak membawa arti (pengaruh) sesuai yang dibutuhkan.” Artinya: “Apa yang engkau sampaikan dari pembicaraanmu itu sesungguhnya tanpa arah maupun arti yang bisa dipahami.” Pada takhrīj hadits di atas, menurut muḥaqqiq, disebutkan berstatus majhūl (keberadaan perawinya tidak diketahui), dari jalur yang sama, yakni Buraidah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. 
  8. 135). Redaksi maupun matan (isi) hadits ini tidak saya (muḥaqqiq) temukan sumber rujukannya. Pemilik kitab al-Firdaus meriwayatkan hadits ini, dan menyebutkan sumbernya dari riwayat Abud-Darda’, akan tetapi dengan redaksi yang berbeda, yaitu (الْعَقْلُ بَدَلُ الْعِلْمِ) “Akal (pemikiran) sanggup menggantikan fungsi (kedudukan) ilmu.” Syaikh al-Albani menyebutkan riwayat ini dalam Dha‘īf-ul-Jāmi‘, hadits nomor 4113, dengan menyandarkannya kepada periwayatan Ibnu ‘Asakir, dari hadits Abud-Darda’, lalu mengatakan bahwa statusnya lemah (dha‘īf).