Ihya Ulumiddin: Ilmu Yang Menjadi Fardhu Kifāyah – Bagian 7

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Bab Kedua

Ilmu yang Terpuji dan Tercela.

 

“Mengenai ilmu yang terpuji dan tercela,
bagian dan hukumnya, fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah.
Juga penjelasan di seputar ilmu kalam dan ilmu fikih
dari ilmu agama Islam
juga batasan serta keutamaan ilmu akhirat.”

[symple_spacing size=”40″]
Ilmu Yang Menjadi Fardhu Kifāyah – Bagian 7

Imam Malik bin Anas raḥimahullāh ta‘ālā telah dianugerahi oleh Allah s.w.t. lima kualitas keilmuan yang sama dengan Imam asy-Syafi‘i. Ia pernah ditanya: “Wahai Malik, apa pendapatmu tentang menuntut ilmu?” Imam Malik menjawab: “Sangat baik. Jika seseorang tidak memisahkan anda dari menuntut ilmu sejak pagi hingga petang, maka jangan pisahkan anda darinya.”

Pada saat hendak menyampaikan riwayat sebuah hadits, terlebih dahulu Imam Malik mengambil air wudhu’, kemudian bersuci dengannya, menyisir (merapikan) rambut dan jenggotnya, memakai wewangian, lalu duduk dengan tenang serta bersikap khusyu‘, baru kemudian menyampaikan hadits tersebut. Ketika ditanya tentang formalitas-formalitas seperti yang kerap dilakukannya, Imam Malik menjawab: “Saya bermaksud ingin memberikan penghormatan kepada hadits-hadits Nabi s.a.w.”

Imam Malik bin Anas raḥimahullāh pernah berkata: “Ilmu adalah cahaya. Dan, Allah s.w.t. menyimpannya di mana pun yang dikehendaki-Nya.”

Tentang mengharapkan keridhaan Allah s.w.t. dengan ilmu, Imam Malik juga pernah berkata: “Tidak ada yang bermanfaat dalam argumentasi yang disampaikan tentang ilmu agama.” Ini dibuktikan oleh ucapan Imam asy-Syafi‘i yang pernah mengatakan: “Saya pernah tinggal dekat dengan rumah Imam Malik. Ia pernah ditanya tentang empat puluh delapan pertanyaan hukum agama (syar‘i). Namun, Imam Malik menjawab tiga puluh dua pertanyaan dengan jawaban: “Saya tidak mengetahui jawabannya.” Ketika orang-orang yang berilmu dibicarakan di tengah-tengah kerumunan orang, maka Imam Malik dianggap sebagai bintangnya yang paling bercahaya.

Dikisahkan, bahwa Khalifah al-Manshur pernah melarang Imam Malik meriwayatkan hadits tertentu perihal ketidaksahan perceraian (talak) yang dibuat atas dasar paksaan. Setelah itu, Khalifah menyuruh seseorang menanyai Imam Malik tentang hal itu? Imam Malik menyatakan kepada khalayak penanya, bahwa perceraian yang diputuskan di bawah paksaan tidaklah mengikat. Karena itu Khalifah menitahkan ia agar dihukum cambuk atas jawaban yang tidak dikehendaki sang Khalifah.

Khalifah Harun ar-Rasyid pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas: “Apakah engkau mempunyai rumah?” Jawab Imam Malik: “Tidak.” Kemudian Khalifah memberinya uang 3.000 dinar dan berkata: “Pergi dan belilah sebuah rumah dengan uang ini.” Imam Malik menerima pemberian sang Khalifah, namun tidak dipakai untuk membeli rumah, akan tetapi disedekahkan kepada fakir miskin. Ketika hendak kembali ke Baghdad, Khalifah bertanya kembali kepada Imam Malik: “Sebaiknya engaku ikut bersama kami, karena kami telah memutuskan agar masyarakat Baghdad mengikuti tausiyah dalam kitab al-Muwaththa’, (1231) sebagaimana Khalifah ‘Utsman r.a. mengajak para sahabat kembali kepada ajaran al-Qur’an.” Imam Malik pun menjawab: “Tidak pada tempatnya memerintahkan manusia mengikuti al-Muwaththa’ sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Sebab, para sahabat setelah Nabi s.a.w. wafat telah menyebar ke berbagai negeri, dan mereka meriwayatkan hadits di masing-masing daerah.” Dan, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda, di mana ini menjadi pegangan saya dalam memberikan pengajaran:

اِخْتِلَافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ

Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah bagian dari rahmat. (1242)

Mengenai ajakan baginda agar aku ikut dengan anda ke Baghdad, maka maaf, aku tidak bisa memenuhinya. Sebab, Nabi s.a.w. pernah bersabda:

الْمَدِيْنَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ

Bahwa Madinah jauh lebih baik bagi mereka – sebagai tempat tinggal – jika saja mereka mengetahui. (1253).

Dan, beliau s.a.w. juga pernah bersabda:

الْمَدِيْنَةُ تَنْفِيْ خَبَثَهَا كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ

Kota Madinah mampu menghilangkan kotoran seperti perapian yang berhasil menepis karat pada besi. (1264).

Oleh karena itu, aku kembalikan uang anda. Jika baginda berkehendak, ambillah kembali uang anda ini, dan jika baginda mau milikilah kembali uang ini. Lalu, Imam Malik mengajukan pertanyaan lanjutan: “Maaf baginda, apakah ini berarti bahwa maksud anda memintaku meninggalkan Madinah dengan memberi imbalan uang yang telah anda berikan kepadaku? Sungguh, aku tidak menyukai apa pun melebihi kota Nabi ini (Madinah), juga apabila dibandingkan dengan seluruh isi dunia.”

Begitulah tingkat kezuhudan yang disandang oleh Imam Malik bin Anas. Akibat dari meluasnya pengembangan ilmu Imam Malik dan penyebaran kawan-kawan serta murid-muridnya, harta serta kekayaan banyak berdatangan kepadanya dari seluruh penjuru negeri. Harta dan kekayaan itu tidak digunakannya sendiri. Imam Malik membagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Imam Malik berlaku seperti apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Allah Sulaiman a.s. yang tetap berlaku zuhud dalam keberlimpahan harta.

Contoh kezuhudan Imam Malik bin Anas lainnya adalah, seperti yang pernah diceritakan oleh Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berikut ini: “Aku melihat beberapa ekor kuda Khurasan – yang terkenal gagah, kuat, dan bertubuh tinggi perkasa – berada di depan pintu rumah Imam Malik. Aku belum pernah menyaksikan kuda yang lebih gagah daripada yang aku saksikan saat itu. Aku berkata kepada Imam Malik: “Betapa indah kuda-kuda milikmu ini, wahai Imam Malik.” Maka Imam Malik pun segera berkata: “Akan kuhadiahkan kuda-kuda itu kepadamu, wahai Abu ‘Abdillah.” Aku (Imam asy-Syafi‘i) pun berkata kepadanya (Imam Malik): “Sisakanlah seekor untuk anda kendarai sendiri.” Imam Malik balik berkata: “Tidak, wahai Abu ‘Abdillah, aku malu kepada Allah s.w.t., karena telah menginjakkan kuku kuda-kuda ini di atas tanah di mana jasad Rasulullah dikuburkan.””

Simaklah betapa pemurah qalbu sang Imam, dan betapa santunnya ia terhadap bumi Madinah. Ada riwayat lain perihal kezuhudan Imam Malik bin Anas. Sang Imam pernah berkata: “Suatu hari aku pergi menemui Khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu berkatalah Khalifah kepadaku (Imam Malik): “Wahai Imam Malik, engkau harus lebih sering datang ke tempatku, sehingga aku dapat belajar al-Muwaththa’ darimu secara langsung.” Imam Malik berkata: “Semoga Allah Yang Maha Tinggi menambahkan kemuliaan baginda Muhammad Rasulullah s.a.w., karena ilmu ini datang dari beliau. Jika anda menghargai beliau, niscaya akan mulialah ilmu yang anda dapatkan. Sebaliknya, jika anda menghinakan ajaran beliau, maka kehinaan pulalah yang akan anda dapatkan. Ilmu adalah sesuatu yang harus anda datangi wahai Khalifah, bukan ilmu yang harus mendatangi anda.” Khalifah Harun ar-Rasyid pun berkata: “Engkau benar.” Setelah kejadian itu, Khalifah memerintahkan kepada putra kandungnya sendiri: “Pergilah ke masjid di mana Imam Malik mengajarkan kitab al-Muwaththa’, dan bersama dengan masyarakat lainnya berlajarlah engkau darinya.”

Imam Abu Hanifah raḥimahullāh ta‘ālā adalah seorang Imam yang agung, sufi besar, dan orang yang bertaqwa kepada Allah s.w.t. Ia mencari keridhaan Allah s.w.t. dengan ilmunya yang tinggi dan mendalam. Ibnu al-Mubarak berkata, bahwa Imam Abu Hanifah mempunyai watak yang sangat santun, banyak beramal dan beribadah, seperti shalat dan puasa sunah. Hammad bin Abi Sulaiman berkata, bahwa Imam Abu Hanifah biasa melakukan shalat sunah hampir sepanjang malam, dan di dalam riwayat lain dinyatakan, setengah dari waktu malamnya. Suatu kali, Abu Hanifah tengah berjalan ketika seseorang mengejarnya sambil berkata kepada khalayak: “Orang ini menghabiskan waktu sepanjang malam untuk mendirikan shalat sunah.” Sang Imam berkata: “Aku malu di hadapan Allah s.w.t., karena aku digambarkan dengan sesuatu yang tak sesungguhnya kumiliki.”

Dalam menggambarkan tentang kezuhudan Imam Abu Hanifah, Rabi‘ bin ‘Ashim pernah berkata: “Suatu hari, Khalifah Yazid bin ‘Umar bin Hubairah mengutus aku kepada Abu Hanifah, dan baginda ingin mengangkat Abu Hanifah sebagai pengelola keuangan pada perbendaharaan negara. Dan, karena Imam Abu Hanifah menolak menerima jabatan yang ditawarkan kepadanya, sang Imam diberi 20 kali hukuman cambuk. Perhatikan, betapa tegas Imam Abu Hanifah menjauhi sebuah jabatan yang demikian tinggi, sehingga rela menerima hukuman atasnya.”

Al-Hakim bin Hasyim pernah berkata: “Aku mendengar kabar tentang Imam Abu Hanifah dari Siria, (1275) bahwa ia orang yang sangat terpercaya, yang karena itu Khalifah ingin mengangkatnya sebagai bendahara negara, dan mengancamnya dengan hukuman cambuk jika sampai ia menolak tawaran atas jabatan itu. Namun, Imam Abu Hanifah ternyata lebih memilih hukuman Khalifah daripada ancaman hukuman Allah s.w.t.”

Ibnu al-Mubarak mengisahkan tentang Imam Abu Hanifah: “Apakah kalian mendengar tentang orang yang diberi kepercayaan sebagai pemegang kunci perbendaharaan harta negara, akan tetapi justru menghindar darinya (jabatan itu)?” Muhammad bin Syuja‘ bercerita: “Khalifah Abu al-Manshur memerintahkan kepada bendahara negara agar memberikan uang sebanyak 10.000 dirham kepada Imam Abu Hanifah, akan tetapi sang Imam tidak mau menerima pemberian itu. Pada hari ketika uang sebanyak itu dikirimkan kepada sang Imam, ia menyelimut tubuhnya dengan selembar kain setelah shalat, dan tidak berbicara kepada seorang pun. Utusan Khalifah datang kepadanya dengan membawa uang itu, namun Imam Abu Hanifah tidak mau berbicara dengannya. Seseorang yang kebetulan berada di sana berkata: “Itulah kebiasaan Imam Abu Hanifah.” Utusan Khalifah pun akhirnya meletakkan uang yang ia bawa di salah satu sudut kamar Imam Abu Hanifah. Inilah yang akhirnya dilakukan. Setelah Imam Abu Hanifah mengetahui keberadaan uang tersebut, ia pun meninggalkan pesan keras mengenai uang itu dan berkata kepada anak laki-lakinya: “Kalau akau meninggal dan kalian selesai menguburkan jasadku, maka bawalah uang ini kepada Khalifah, lalu katakan kepadanya kalau ini adalah kekayaannya yang pernah ia simpan di kediaman Abu Hanifah.” Anak laki-lakinya pun berkata: “Saya akan melakukan pesan sesuai dengan wasiat ayah.” Setelah semua wasiat itu ditunaikan – tentunya setelah Imam Abu Hanifah meninggal dunia – , maka Khalifah mengatakan kepada anak Imam Abu Hanifah: “Semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati ayahmu dengan sikap zuhudnya”.”

Dikisahkan, bahwa Imam Abu Hanifah pernah ditawari jabatan ketua mahkamah tinggi negara, namun ia berkata: “Aku belum tepat untuk jabatan ini.” Sewaktu ditanya tentang alasan mengapa ia menolak jabatan tersebut, Imam Abu Hanifah berkata: “Sebab, jika aku berkata benar dalam keputusan yang aku tetapkan, maka semua itu baik bagi jabatan yang tengah aku sandang. Namun, jika aku ternyata berkata dusta atas keputusan yang aku tetapkan, maka sungguh aku tidak cocok untuk jabatan tersebut disebabkan aku hanyalah seorang pendusta.”

Ilmu dari Imam Abu Hanifah tentang urusan akhirat dan kepeduliannya pada perkara-perkara agama yang pokok dan penting terlihat dalam kisah-kisah berikut. Ibnu Juraij pernah berkata melalui pernyataan Nu‘man bin Tsabit: “Aku diberitahu, bahwa Imam Abu Hanifah adalah orang yang sangat bertaqwa (takut) kepada Allah ‘azza wa jalla.”

Syuraik an-Nakha‘i berkata: “Imam Abu Hanifah pernah menghabiskan waktu yang lama dalam diam, tafakur, dan amat sedikit berbicara dengan orang lain.” Perilaku semacam ini membuktikan ketinggian pengetahuan batiniahnya. Orang yang diberi anugerah berupa kesanggupan menahan diri dalam diam dan berlaku zuhud atas dunia adalah orang yang telah diberi seluruh ilmu Allah s.w.t.

Imam Ahmad bin Hanbal dan Sufyan ats-Tsauri raḥimahumullāh ta‘ālā mempunyai cukup banyak pengikut. Meskipun demikian, mereka dikenal terutama karena kezuhudan dan kewara‘an yang mereka tunjukkan kepada Allah s.w.t. Banyak kitab yang memuat ucapan dan kisah kezuhudan mereka. Sekarang, kaji dan periksalah kehidupan para Imam tersebut, lalu telitilah kehidupan mereka yang menyebutkan diri sebagai pengikut para Imam tadi. Apakah para Imam itu terkenal hanya karena ilmu fikih mereka, yang pada masa sekarang ini berarti ilmu mengenai perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam dan hukum-hukum duniawi lainnya, ataukah justru sebaliknya (bukan seperti itu?) Juga cermatilah tentang apakah pengikut-pengikut dari para Imam tersebut sudah menjalankan pelajaran sesuai dengan apa yang para Imam itu maksudkan dalam pengajaran mereka?

Catatan:


  1. 123). Al-Muwaththa’ adalah karya berupa kumpulan hadits yang diriwayatkan dan disusun oleh Imam Malik bin Anas raḥimahullāh – penerj. 
  2. 124). Riwayat ini disebutkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Risālat-ul-‘Asyriyyah pada edisi ta‘līq-nya, dengan sanad yang digabungkan pada hadits riwayat Ibnu ‘Abbas r.a., dengan redaksi (اِخْتِلَافُ أَصْحَابِيْ لَكُمْ رَحْمَةٌ) “Perbedaan pendapat di kalangan sahabatku (sahabat Nabi s.a.w.) adalah rahmat bagi kalian (untuk Islam secara keseluruhan),” dan di dalam isnād-nya terdapat kelemahan (dha‘īf). Saya (muḥaqqiq) berpendapat, bahwa riwayat ini tudak memiliki sumber asal. Imam as-Suyuthi dalam Jāmi‘-ush-Shaghīr: “Pada riwayat dimaksud hanyalah merupakan kutipan yang disarikan dari berbagai kitab yang ada. Namun sungguh disayangkan, sumber asalnya tidak sampai kepada kami.” Imam Ibnu Hazm dalam al-Iḥkām secara ringkas menyatakan: “Perkataan (riwayat semacam) ini merupakan ungkapan terburuk yang pernah ada. Sebab, jika perbedaan di kalangan umat ini bagian dari rahmat Allah, maka sama artinya dengan menanamkan perpecahan pada tubuh umat Islam sendiri.” 
  3. 125). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun ‘alaih), dari Sufyan bin Abi Zuhair. 
  4. 126). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun ‘alaih), dari hadits Abu Hurairah r.a. 
  5. 127). Siria adalah nama wilayah yang saat ini masuk dalam lingkup negeri Palestina – penerj. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *