Bab Kedua
Ilmu yang Terpuji dan Tercela.
“Mengenai ilmu yang terpuji dan tercela,
bagian dan hukumnya, fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah.
Juga penjelasan di seputar ilmu kalam dan ilmu fikih
dari ilmu agama Islam
juga batasan serta keutamaan ilmu akhirat.”
[symple_spacing size=”40″]
Ilmu Yang Menjadi Fardhu Kifāyah – Bagian 6
Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh ta‘ālā adalah ahli ibadah yang sangat taat. Ia membagi malam menjadi tiga bagian; satu bagian untuk belajar, satu bagian untuk shalat, dan satu bagian untuk tidur. Ar-Rabi‘ bin ‘Ashim pernah mengatakan, bahwa Imam asy-Syafi‘i gemar menamatkan bacaan al-Qur’an 60 kali dalam satu bulan Ramadhan, dan ia menyelesaikan bacaan tersebut dalam rangkaian shalat malam.
Sahabat terbaik dari Imam asy-Syafi‘i yang bernama al-Buwaiti juga pernah menghabiskan malam bersama Imam asy-Syafi‘i. Ia terbiasa menghabiskan sepertiga malam untuk shalat, dan saya sering menyaksikan ia membaca al-Qur’an tidak lebih dari lima puluh ayat. Dan sesekali saya saksikan bacaan yang terbanyak (maksimal), hanya mencapai seratus ayat. Namun, selalu saya dapati pada akhir setiap ayat yang menyebutkan seputar kasih-sayang Allah, sang Imam selalu memohon kasih-sayangNya bagi dirinya dan segenap kaum Muslim. Manakala sang Imam sampai pada bacaan di seputar murka Allah, sang Imam selalu memohon perlindungan kepada-Nya bagi dirinya dan segenap kaum Muslim.”
Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh ta‘ālā sendiri pernah mengatakan: “Aku tidak pernah lagi makan hingga kenyang selama 16 tahun terakhir, karena perut yang penuh membuat tubuh menjadi berat, batin menjadi keras, sering tidur, dan akhirnya malas beribadah.” Perhatikanlah bagaimana sang Imam mengingatkan akan bahaya perut yang terlalu kenyang. Juga pengaruhnya atas kesungguhan di dalam beribadah. Sebab, meninggalkan tindakan memakan makanan hingga terlalu kenyang. Juga pengaruhnya atas kesungguhan di dalam beribadah. Sebab, meninggalkan tindakan memakan makanan hingga terlalu kenyang itu juga merupakan bentuk ibadah yang diperintahkan. Sampai-sampai pernah disebutkan, bahwa menata porsi makan sesuai dengan kebutuhan adalah bagian tertinggi dalam urusan ibadah yang berkaitan dengan urusan konsumsi.
Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh ta‘ālā juga pernah berkata: “Tidak pernah aku bersumpah demi Allah, baik itu atas urusan yang benar maupun salah.” Betapa hormat dan patuhnya sang Imam kepada Allah s.w.t., hingga dibuktikan dengan senantiasa mengagungkan nama-Nya dalam setiap kesempatan. Yaitu, dengan tidak menjadikan nama Allah s.w.t. sebagai komuditas pendukung yang bernilai sangat rendah.
Pernah sang Imam ditanya mengenai suatu persoalan, namun ia berdiam diri dan tidak menjawab pertanyaan yang diajukan. Hingga kondisi itu mendorong sang penanya mengulang kembali pertanyaan serupa untuk kedua kalinya. Maka sang Imam menjawab, bahwa pada diamnya tadi sebenarnya ia tengah berpikir keras tentang manakah yang terbaik bagi mereka berdua, di antara memberikan jawaban atau berdiam diri saja? Sampai benar-benar memahami mana di antara keduanya yang lebih bermanfaat. Betapa sang Imam sangat menjaga lisannya, di mana lidah merupakan anggota fisik manusia yang sering disalahgunakan, dan paling sulit untuk dikendalikan.
Ahmad bin Yahya bin al-Wazir pernah mengatakan: “Pada suatu hari Imam asy-Syafi‘i keluar rumah menuju pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Saya mengikuti beliau dari arah belakang. Di perjalanan menuju pasar, sang Imam mendapati seseorang yang tengah membicarakan keburukan seorang ulama. Segera sang Imam menoleh ke arah belakang dan mengatakan kepadaku: “Bersihkanlah pendengaranmu segera dari mendengarkan sesuatu yang tidak bermanfaat, sebagaimana engkau diperintahkan untuk membersihkan lisanmu dari mengucap sesuatu yang merugikan dirimu sendiri. Sebab, pendengar yang mendiamkan apa yang ia dengar berarti ikut bersekutu dengan pengucapannya.””
Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh ta‘ālā juga pernah berkata: “Siapa saja menyatakan bahwa cinta kepada dunia dan cinta kepada Allah s.w.t. bisa bersatu dalam dirinya, maka ia adalah pendusta.”
Al-Humaidi bercerita: “Suatu hari, Imam Syafi‘i pergi ke Yaman bersama beberapa orang, dan kembali pulang ke Makkah dengan membawa uang 10.000 (sepuluh ribu) dirham. Sebuah kemah didirikan baginya di luar kota, dan orang-orang datang kepadanya. Sang Imam tidak berpindah dari tempatnya hingga semua uang habis dibagi-bagikan.”
Kedermawanan Imam asy-Syafi‘i sangatlah besar, dan dasar bagi perilaku zuhud adalah sikap kedermawanan. Seseorang yang mencintai sesuatu tentu akan menjaga agar sesuatu itu tetap bersamanya, padahal ia tidak berarti bagi seseorang yang menganggap dunia ini tidak berarti. Inilah kezuhudan yang mengantarkan kepada derajat taqwa.
Suatu hari, Sufyan bin ‘Uyainah menyaksikan Imam asy-Syafi‘i terjatuh dan tidak sadarkan diri (pingsan), setelah ia mendengarkan sebuah riwayat mengenai beratnya azab (siksa) di negeri akhirat bagi mereka yang durhaka. Sufyan dan beberapa orang lain yang menyaksikan peristiwa itu pun mengira kalau sang Imam telah meninggal dunia. Sufyan berkata: “Jika benar sang Imam telah meninggal dunia, maka orang yang terbaik pada masanya telah pergi meninggalkan alam dunia yang fana’ ini.”
Dikisahkan dari ‘Abdullah bin Muhammad al-Balawi, bahwa ‘Umar dan Nabatah berkata: “Aku belum pernah berjumpa dengan seseorang yang lebih taqwa daripada Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i raḥimahullāh ta‘ālā ‘anhu”. Pada suatu hari, aku, sang Imam, dan Harits bin Lubaid pergi ke Lembah (bukit) Shafa. Al-Harits membawa serta seorang murid yang pandai membaca al-Qur’an. Murid itu kebetulan mempunyai suara yang sangat merdu, dan mulai membaca:
اِقْرَأْ كِتَابَكَ، كَفْى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيْبًا
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” (al-Isrā’ [17]: 14)
Catatan: (S.H.)
(dan pada sebagian naskah yang lain: )
هذَا يَوْمُ لاَ يَنْطِقُوْنَ. وَ لاَ يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُوْنَ
“Ini adalah hari di mana mereka tidak dapat berbicara, dan pada hari itu mereka tidak diizinkan meminta uzur.” (al-Mursalāt [77]: 35-36). (1211).
Mendengar lantunan ayat tersebut dibaca, aku menyaksikan raut wajah sang Imam seketika berubah, dan tubuhnya menggigil, berguncang keras, lalu terjatuh pingsan. Ketika sadar kembali, Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh segera mengangkat kedua tangan dan berdo‘a: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari posisi orang yang suka berdusta, dan dari penyelewengan orang yang lalai. Ya Allah, jiwa orang yang ‘arif ini telah tunduk kepada-Mu, dan tengkuk orang yang rindu kepada-Mu ini telah melengkung (ruku‘, tunduk) di hadapan-Mu. Ya Rabbku, karuniailah aku dengan kemurahan-Mu, dan liputilah aku dengan kasih-sayangMu. Ampunilah kesalahanku berkat kemurahan-Mu.”
Kemudian sang Imam bersama kami (‘Umar bin Nabatah) pergi meninggalkan tempat itu. Ketika tiba di Baghdad, wilayah ibu kota negeri Iraq, kami pun menyaksikan seseorang tengah mengambil air wudhu’ untuk mendirikan shalat di pinggir sebuah sungai kecil. Tiba-tiba orang yang berjalan di sampingku ini berkata: “Wahai anak muda, berwudhu’lah dengan baik, semoga Allah s.w.t. akan memberi kebaikan kepadamu di dunia maupun di akhirat.” Mendengar ucapan yang bernada teguran, anak muda itu pun bergegas menyelesaikan wudhu’nya, lalu ikut berjalan beriringan dengan rombongan kami. Mendapati perjalanannya tengah diikuti oleh orang di luar rombongan, sang Imam pun mengajukan pertanyaan: “Apakah engkau ada suatu keperluan dengan kami?” Pemuda itu menjawab: “Ajarilah aku pengetahuan yang telah Allah s.w.t. karuniakan kepadamu.” Sang Imam berkata: “Ketahuila, siapa saja yang membenarkan Allah, ia akan memperoleh keselamatan. Dan siapa yang bersikap zuhud dari urusan dunia, matanya akan tetap melihat pahala yang akan Allah s.w.t. berikan kepadanya pada hari esok (akhirat).” Pada penghujung dari rangkaian kalimat yang diucapkan, sang Imam bertanya kepada pemuda itu: “Apakah aku harus menambahkan lagi nasihatku kepadamu?” Pemuda itu menjawab: “Ya.” Kemudian sang Imam berkata: “Seseorang yang keimanannya memiliki tiga karakteristik berikut ini, niscaya ia mendekati kesempurnaan. Pertama, gemar menyuruh kebaikan dan beramal sesuai dengannya. Kedua, gemar mencegah kejahatan dan menjauhkan diri darinya. Ketiga, menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t.” “Apakah aku harus menambahkan lagi?” tanya sang Imam kemudian. Pemuda itu pun berkata: “Ya.” Kemudian sang Imam berkata lagi: “Berzuhudlah di dunia, gantungkanlah harapanmu pada akhirat, dan berimanlah kepada Allah s.w.t. dalam setiap urusanmu, niscaya engkau akan termasuk golongan orang yang akan meraih keselamatan di dunia maupun di akhirat kelak.” Kemudian pemuda itu pergi meninggalkan rombongan kami. Sebelum pergi, ia sempat mengajukan pertanyaan kepadaku (‘Umar bin Nabatah): “Siapakah orang ini?” aku (‘Umar bin Nabatah) menjawab: “Beliau adalah Imam asy-Syafi‘i.”
Taqwa dan kezuhudan Imam asy-Syafi‘i bukanlah dihasilkan dari ilmu apa pun kecuali karena pemahamannya tentang Allah ‘azza wa jalla yang cukup mendalam dan meresap ke relung qalbunya. Dan, bukan pula karena ilmunya tentang hukum-hukum di seputar zakat, pinjaman, upah, dan sebagainya; seperti yang terdapat dalam ilmu fikih. Perhatikan firman Allah s.w.t. berikut ini:
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama.” (1222) (Fāthir [35]: 28).
Pada kesempatan berbeda, Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh juga pernah mengatakan: “Ilmu yang tidak menyebabkan diri seseorang sempurna tidak akan bermanfaat baginya.” Sang Imam juga berkata: “Siapa saja yang menjalankan ketaatan kepada Allah s.w.t. dengan pertolongan ilmunya, maka jiwanya menjadi terang.”
Sang Imam raḥimahullāh juga pernah berkata: “Jika seseorang mendapati sebagian orang menyayangi dan sebagian lainnya membencinya, maka bergabunglah ia pada kelompok orang-orang yang taat kepada Allah s.w.t.”
‘Abd-ul-Qahir bin ‘Abd-ul-‘Aziz adalah seorang shalih yang cukup dikenal berjiwa wara‘. Ia pernah bertanya kepada Imam asy-Syafi‘i seputar masalah sikap wara‘: “Manakah yang lebih baik di antara kebajikan-kebajikan berikut; sikap sabar pada saat mendapati ujian, atau kedamaian jiwa dalam ketenangan hidup (tanpa ujian yang berarti)?” Sang Imam raḥimahullāh menjawab: “Kedamaian jiwa merupakan derajat para Nabi, dan tidak dapat dicapai kecuali melalui ujian serta kesabaran dalam menjalani ujian. Tidakkah kalian perhatikan, bahwa Allah s.w.t. menguji Nabi Ibrahim a.s., lalu Dia menganugerahkan kepada beliau kedamaian jiwa? Allah s.w.t. juga telah menguji Nabi Musa a.s., kemudian menganugerahkan kepada beliau kedamaian jiwa. Allah s.w.t. juga telah menguji Nabi Sulaiman a.s., kemudian menganugerahkan kepada beliau kedamaian jiwa dan kerajaan yang dinaungi kasih-sayang-Nya.”
Allah s.w.t. juga telah menguji Nabi Yusuf a.s., sebagaimana dijelaskan di dalam firman-Nya:
وَ كَذَالِكَ مَكَّنَّا لِيُوْسُفَ فِي الْأَرْضِ
“Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir).” (Yūsuf [12]: 21)
Dan Allah s.w.t. juga telah menguji Nabi Ayyub a.s., sebagaimana digambarkan di dalam firman-Nya berikut ini:
وَ آتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَ مِثْلَهُمْ مَعَهُمْ
“Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipatgandakan bilangan mereka.” (al-Anbiyā’ [21]: 84).
Semua jawaban tersebut menunjukkan kedalaman ilmu sang Imam tentang al-Qur’an dan ketetapan jiwanya memenuhi derajat keutamaan.
Sufyan ats-Tsauri pernah berkata: “Belum pernah aku atau orang lain menyaksikan kepandaian seorang ulama seperti yang dimiliki oleh Imam asy-Syafi‘i.”
Catatan:
- 121). Pada sebagian naskah asli dari buku Iḥyā’ edisi maupun dari penerbit yang lain, berbahasa ‘Arab, saya menemukan adanya perbedaan atas penggunaan ayat seperti pada buku ini. Ayat yang saya dapati dibaca pada rangkaian kisah ini adalah firman Allah pada surah al-Mursalāt [77]: ayat 35-36. Allāhu A‘lamu bish-Shawāb – penerj. ↩
- 122). Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah ‘azza wa jalla – penerj. ↩