Bab Kedua
Ilmu yang Terpuji dan Tercela.
“Mengenai ilmu yang terpuji dan tercela,
bagian dan hukumnya, fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah.
Juga penjelasan di seputar ilmu kalam dan ilmu fikih
dari ilmu agama Islam
juga batasan serta keutamaan ilmu akhirat.”
Ilmu Yang Menjadi Fardhu Kifāyah – Bagian 5
Jenis kedua, adalah ilmu agama yang praktis (mu‘āmalah). Yaitu, ilmu-ilmu yang terpuji dan yang tercela, berkenaan dengan keadaan qalbu pemiliknya. Kualitas-kualitasnya yang terpuji adalah; sabar, syukur, takut, harap, ridha, zuhud, takwa, sikap ramah, memahami nikmat (karunia) Allah s.w.t. dalam setiap keadaan, bersikap ihsan, baik-sangka, berlaku benar, dan sikap ikhlas. Mengetahui batasan sifat-sifat itu, sifat-sifat dasarnya, dan alat-alat bantu yang dengannya mereka dapat dicapai, hasil-hasil dan tanda-tandanya, kesemuanya itu termasuk dalam rangkaian ilmu akhirat.
Adapun ilmu yang tercela antara lain; takut miskin, tidak menerima takdir Allah s.w.t., sikap iri, membenci sesama, bersikap munafik (hipokrit), menjilat, mengharap hidup panjang untuk bersenang-senang, takabur, pamer, (riyā’), amarah, memusuhi orang lain (dendam), sombong, kikir, angkuh, terlampau menghargai orang kaya karena kekayaannya, dan menghina orang miskin karena kemiskinannya, congkak (tinggi hati, besar kepala), besar mulut, kehilangan rasa takut kepada Allah s.w.t., dukungan setengah-setengah kepada kebenaran, batin memusuhi namun lahir bersahabat, dendam, menipu, khianat, berlaku kasar, tunduk kepada kepentingan dunia, menindas, hilangnya rasa malu, serta lenyapnya kelembutan qalbu. Semua itu merupakan cacat pada qalbu, yang menjadi akar dari setiap tindak kejahatan, kesengsaraan dan penderitaan bagi jiwa.
Sedangkan kualitas sebaliknya adalah apa saja yang terpuji, dan sumber dari semua amal kebaikan. Mengetahui sifat dasar dari kualitas-kualitas terpuji termasuk dalam ilmu ukhrawi, dan mengetahui sifat dasar itu diwajibkan (fardhu ‘ain) bagi orang yang mempelajari ilmu ukhrawi. Siapa saja memalingkan muka dari ilmu mukāsyafah, maka ia akan binasa di tangan Penguasa Akhirat, seperti halnya orang yang datang kepada penguasa dunia dan berdiri di hadapan hukum suatu negara dalam kondisi merugi.
Perhatian para ahli fikih pada ilmu-ilmu fardhu kifāyah yang mengarah pada perkara dunia, sedangkan perhatian orang-orang berilmu ukhrawi dipusatkan pada ususan akhirat. Jika seorang ahli fikih ditanya ihwal keikhlasan dan sikap tawakal kepada Allah s.w.t., atau yang sejenisnya, mungkin ia tertegun ketika harus menjawab. Akan tetapi, pada saat ditanya tentang perceraian dan masalah-masalah lainnya, ia akan langsung menjawab. Dan biasanya, ia akan lupa pada hal-hal yang pokok serta terpenting dalam urusan agama. Sebagian orang yang terpelajar dalam ilmu agama praktis (mu‘āmalah), pada saat ia bertakwa kepada Allah s.w.t., tentu ia akan mengakui kelebihan orang yang memiliki ilmu rahasia atau ilmu batin (mukāsyafah).
Seperti layaknya seorang siswa yang tengah duduk di bangku pendidikan, Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh pernah duduk di hadapan Syaiban, seorang penggembala biasa, dan mengajukan pertanyaan: “Bagaimana aku bisa melakukan pekerjaan seperti yang engkau lakukan ini?” Syaiban pun menjawab dengan mengajukan pertanyaan serupa kepada Imam asy-Syafi‘i: “Seperti apa yang Tuan tanyakan kepada seorang penggembala, apa yang sebenarnya Tuan maksudkan?” Imam asy-Syafi‘i pun menjawab: “Aku hanya ingin mempelajari apa yang banyak dilupakan oleh sebagian besar manusia.”
Pernah Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma‘in (1161) raḥimahumallāh tidak sepakat tentang suatu permasalahan, dan mereka pun bersepakat untuk menemui Ma‘ruf al-Karkhi yang lebih menguasai ilmu mu‘amalah. Mereka berdua memahami, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah ditanya: “Apakah yang harus saya lakukan jika mendapati persoalan yang tidak saya jumpai jawabannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah?” Rasulullah s.a.w. menjawab dengan bersabda:
سَلُوا الصَّالِحِيْنَ وَ اجْعَلُوْهُ شُوْرَى بَيْنَهُمْ
“Tanyakan kepada orang yang saleh dan berkonsultasilah kepada mereka tentangnya.” (1172).
Untuk itulah kami datang kepada Tuan. Meski menurut kebanyakan orang di zaman itu, keduanya merupakan ulama terkemuka. Telah berkata seorang bijak (‘ārif): “Orang yang menguasai ilmu lahiriah adalah permata bagi kerajaan dunia, dan orang yang menguasai ilmu batiniah adalah permata bagi kerajaan langit maupun alam malakūt.” (1183).
Al-Junaid raḥimahullāh berkata: “Pembimbing spiritualku pernah bertanya: “Siapakah sahabatmu ketika engkau meninggalkan rumahku?” Aku menjawab: “Aku bersahabat dengan al-Muhasibi.” Ia pun berkata: “Baik, ikutilah ilmu dan adabnya, akan tetapi hindarilah hal-hal yang pelik dari ucapannya, serta kembalikanlah itu semua kepadanya (jangan ditafsirkan sendiri).” Pada saat aku berpamitan dan hendak meninggalkannya, maka aku mendengar ia berkata kepadaku: “Semoga Allah s.w.t. menjadikan engkau sebagai muḥaddits (ahli hadits), kemudian sufi, dan bukan sebaliknya, sufi dahulu baru kemudian ahli hadis.”
Makna ucapan al-Junaid, seorang tokoh sufi generasi awal ini adalah bahwa kita pertama-tama harus mencari dan memperoleh ilmu tentang hadis dan ilmu-ilmu lahiriah, baru kemudian menjadi sufi serta memperoleh keselamatan dengannya. Janganlah kita menjadi sufi sebelum memperoleh pengetahuan lahiriah. Sebab, hal itu akan melemparkan kita ke dalam bahaya dan kesesatan.
Mengenai filsafat, ia bukanlah satu cabang yang berdiri sendiri dari ilmu, akan tetapi terdiri atas empat subyek. Subyek pertama mencakup ilmu ukur dan ilmu hitung. Yang kedua ilmu yang boleh dimiliki bagi orang-orang yang sudah cukup kuat dalam hal keimanan kepada Allah s.w.t. Subyek ini adalah logika (manthiq) yang merupakan ilmu berpikir dan nalar, serta ilmu mengenai cara mengajukan bukti, alasan, dan sebab secara sistematis (tersusun). Subyek dimaksud tercakup dalam ilmu kalam atau teologi. Subyek ketiga adalah ilmu mengenai tasawuf, atau ilmu mengenai wujud, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan Allah s.w.t. Sebagian dari subyek ini juga tercakup dalam ilmu kalam. Adapun subyek yang keempat adalah fisika, yang sebagian darinya bertentangan dengan syariat dan agama yang benar, hingga karenanya menjadi tidak benar pula. (1194).
Adapun mengenal Allah s.w.t., sebagaimana saya sebutkan dengan ilmu mukāsyafah, maka tidak bisa didapat hanya melalui ilmu kalam semata. Justru ilmu kalam hampir saja menjadi penghalang yang menakutkan jika ia disalahgunakan dalam pencariannya. Satu-satunya cara yang bisa digunakan untuk mendekatkan diri ke hadirat Allah s.w.t. hanyalah dengan melakukan aktivitas mujāhadah, berikut segenap niat yang ikhlas karena-Nya semata. Dan, amalan ini oleh Allah dijadikan sebagai pembuka bagi jalan memasuki cahaya petunjuk. Sebagaimana Allah s.w.t. sebutkan sendiri di dalam firman-Nya:
وَ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا، وَ إِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (al-‘Ankabut [29]: 69).
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. tidak lebih utama daripada manusia atau sahabat Rasulullah lainnya karena banyaknya melakukan shalat atau puasa sunnah, juga tidak disebabkan banyaknya mengeluarkan zakat atau sedekah, serta lebih banyaknya dari meriwayatkan hadis. Akan tetapi, kelebihan yang dimiliki oleh Abu Bakar justru terletak pada sesuatu yang bernilai mulia di dalam dadanya. Sebagaimana disebutkan oleh Nabi s.a.w. sendiri dalam sabdanya: “Kemuliaan Abu Bakar terletak pada apa yang tersimpan di dalam dadanya (qalbunya).” (1205).
Rasulullah s.a.w. telah berpulang ke hadirat Allah s.w.t. dengan meninggalkan lebih dari seribu orang sahabat r.a. Semua dari mereka merupakan ulama yang berjuang di jalan Allah. Mereka mendapatkan pujian secara langsung dari beliau. Namun demikian, tidak semua dari mereka yang menempatkan dirinya sebagai pemberi fatwa, kecuali beberapa orang saja. Seperti, pada saat ‘Abdullah bin ‘Umar r.a., diminta untuk memberikan fatwa terhadap suatu persoalan hukum, ia pun memberikan jawaban kepada sang penanya dengan menganjurkan penanya untuk mendatangi si fulan (siapa yang telah diberi amanah mengemban tugas sebagai pemberi fatwa saat itu) yang bertanggung-jawab atas segala urusan manusia, dan letakkanlah persoalanmu ini di pundaknya.
Pada saat Sayyidina ‘Umar Ibn-ul-Khaththab r.a. meninggal dunia, Ibnu Mas‘ud r.a. pernah mengatakan: “Kita telah kehilangan sembilan per sepuluh (9/10) dari ilmu.” Ditanyakan kepada Ibnu Mas‘ud: “Mengapa engkau harus mengatakan itu, padahal di tengah-tengah kita masih sangat banyak sahabat yang derajat keilmuan mereka tidak kalah dengan ‘Umar Ibn-ul-Khaththab?” Ibnu Mas‘ud menjawab: “Yang aku maksudkan di sini bukan ilmu mengenai fatwa dan pendapat hukum. Akan tetapi, justru yang aku maksudkan adalah ilmu tentang Allah s.w.t.”
Ada kalimat bijak yang pernah diungkap oleh seorang yang cukup bijak di bidangnya:
“Ambillah apa yang engkau dapatkan dari ilmu,
Tinggalkan sesuatu yang engkau hanya mendengarkannya saja.
Dan untuk menyaksikan terbitnya matahari pagi,
Engkau membutuhkan keberadaan bintang Zuhal.”
Di sini saya akan coba untuk menggambarkan sikap dan tindakan para ahli fikih pada generasi awal. Mereka tidak memiliki niat dan tujuan selain untuk mendapatkan keridhaan Allah s.w.t. Juga tanda-tanda orang yang memiliki ilmu ukhrawi, mereka mengenal betul batasan-batasan dari kehidupan yang tengah mereka jalani. Mereka bukan hanya hidup untuk mendalami ilmu fikih, akan tetapi juga ilmu tentang mengelola qalbu. Para sahabat Nabi s.a.w. tidak pernah menulis kitab fikih atau membaca kitab semacam itu. Demikan pula dengan para salaf yang shalih, mereka tidak menyusun kitab yang demikian.
Saya akan mengisahkan kehidupan sejumlah ulama fikih terkemuka di sini, bukan bertujuan mendiskreditkan mereka, akan tetapi justru untuk mengkritisi orang-orang yang menyebut diri sebagai pengikut mereka, namun melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sikap dan tindakan mereka.
Ada lima ulama fikih terkemuka, yaitu Imam asy-Syafi‘i, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Hanifah, dan Imam Sufyan ats-Tsauri raḥimahumullāh. Mereka semua sufi yang shalih, mempunyai ilmu yang mendalam tentang akhirat, pemberi fatwa bagi orang awam, pencari ridha Allah s.w.t. melalui pertolongan ilmu fikih. Mereka memiliki kelima kualitas tersebut, sedangkan para ahli fikih generasi setelah mereka (khalaf) hanya memiliki satu dari lima kualitas dimaksud. Empat kualitas lainnya berkaitan dengan kebaikan akhirat, dan hanya satu yang berkaitan dengan kebaikan dunia. Mereka diikuti hanya dalam kaitannya dengan satu kualitas saja, bukan keempat kualitas lainnya.
Catatan: