Ihya Ulumiddin: Ilmu Yang Menjadi Fardhu Kifāyah – Bagian 4

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Bab Kedua

Ilmu yang Terpuji dan Tercela.

 

“Mengenai ilmu yang terpuji dan tercela,
bagian dan hukumnya, fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah.
Juga penjelasan di seputar ilmu kalam dan ilmu fikih
dari ilmu agama Islam
juga batasan serta keutamaan ilmu akhirat.”

[symple_spacing size=”40″]
Ilmu Yang Menjadi Fardhu Kifāyah – Bagian 4

Jika ditanyakan, mengapa saya tidak menyamakan antara ilmu fikih dengan ilmu dunia lainnya; seperti matematika dan kedokteran? Bukankah Ilmu kedokteran juga berkaitan dengan urusan dunia; terkait dengan upaya menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat? Dan, bukankah semua itu bertentangan dengan kesepakatan (pendapat mayoritas) umat Islam? Maka dapat saya jawab di sini, bahwa menyamakan keduanya bukanlah menjadi keharusan. Bahkan terdapat perbedaan yang signifikan di antara kedua jenis ilmu tersebut. Ilmu fikih masih lebih mulia dibandingkan dengan ilmu kedokteran atau ilmu dunia lainnya; minimal karena tiga faktor berikut ini. Pertama, ilmu fikih itu merupakan bagian syariat, disebabkan datangnya dari sumber kenabian. Berbeda dengan kedokteran yang datangnya dari sumber penelitian manusia. Dan ilmu kedokteran bukanlah termasuk dalam ilmu syariat. Kedua, ilmu fikih sangat dibutuhkan oleh seseorang yang berupaya menapaki jalan akhirat, baik dalam kondisi sehat maupun sakit. Sedangkan ilmu kedokteran tidak dibutuhkan selain oleh mereka yang menderita sakit. Dan, tidak semua orang menderita sakit. Ketiga, ilmu fikih memandang pada amalan manusia yang dilakukan oleh anggota tubuh mereka. Sedangkan sumber dari tempat terjadinya amal perbuatan pada anggota tubuh itu merupakan perilaku jiwa (batin). Amal perbuatan terpuji muncul dari akhlak yang terpuji, yang itu melepaskan diri pelakunya dari ancaman kesengsaraan akhirat. Sebaliknya, amal tercela muncul dari akhlak yang tercela pula. Dengan demikian, tidak dapat dimungkiri lagi adanya keterkaitan antara anggota tubuh dengan jiwa pelakunya.

Mengenai sehat dan sakit, terjadinya kedua peristiwa ini berkaitan dengan fisik manusia, yang sama sekali tidak berkaitan dengan fungsi qalbu. Oleh karena itu, jika dikaitkan antara ilmu fikih dengan ilmu kedokteran, maka terlihat dengan jelas kemuliaan ilmu fikih. Begitu pula jika ilmu fikih dikaitkan dengan ilmu mengenai jalan menuju akhirat, maka akan tampak kemuliaan ilmu mengenai jalan menuju akhirat.

Lalu, apa yang dimaksudkan dengan jalan menuju akhirat itu? Ilmu tentang jalan menuju akhirat sendiri dibagi menjadi dua, yaitu: ilmu tentang wahyu (mukāsyafah), dan ilmu tentang praktik agama (mu‘āmalah).

Ilmu mukāsyafah merupakan ilmu batin, dan merupakan tujuan akhir segala bentuk ilmu. Seorang sufi berkata: “Aku takut akan akhir buruk (sū’-ul-khātimah) bagi seseorang yang tidak mendapat bagian dari pengetahuan tentang wahyu (mukāsyafah).” Dan, bagian terkecil dari pengetahuan wahyu adalah mengimaninya dan menempatkannya pada mereka yang layak menerima.

Seorang yang ‘ārif juga pernah mengatakan: “Siapa saja yang terdapat padanya dua perkara berikut ini, maka tidak akan terbuka baginya sedikit pun dari ilmu mukāsyafah, yaitu: pelaku bid‘ah dan pemilik sifat takabur (sombong).”

Seorang sufi lainnya mengatakan: “Siapa saja mencintai dunia atau selalu memperturutkan hawa nafsunya, niscaya ia tidak akan meyakini keberadaan ilmu mukāsyafah, dan mungkin ia justru akan terpikat oleh ilmu-ilmu lain yang sebenarnya tidak membawa manfaat kepada dirinya. Setidaknya, mereka yang tidak meyakini itu akan mengalami siksaan batin berupa tidak mampu merasakan kelezatan ilmu mukāsyafah. Dalam sebuah nasyīd (1141) dikatakan:

Bersikaplah ridha terhadap apa saja yang telah lenyap dari sisimu.
Sebab, dengan kehilangan itu maka ikut terbawa pula rangkaian dosa yang menyiksanya.

Seorang ahli hikmah berkata: “Siapa saja terlena oleh tipu-daya dunia ini, atau tetap tenggelam dalam hasrat rendahnya yang fana’, maka ia tidak akan mencapai ilmu rahasia mukāsyafah, meskipun ia juga mempelajari ilmu-ilmu lainnya.” Ilmu rahasia ini adalah ilmu yang dimiliki orang-orang yang membenarkannya (shiddīqīn), dan mereka yang dekat dengan Allah s.w.t. (muqarrabīn). Ilmu ini ibarat cahaya yang menerangi jiwa, membersihkan qalbu dari setiap kotoran dan dosa yang tercela. Orang yang memiliki ilmu mukāsyafah akan memahami apa yang sebelumnya pernah didengar namun tidak dimengertinya. Ia mulai belajar mengenal sifat kekal dan ke-mahasempurna-an Allah s.w.t., perbuatan serta kebijaksanaan-Nya dalam penciptaan dunia, arti dan makna kenabian, setan, malaikat, sebab diutusnya Rasul, serta surga dan neraka. Juga akan memahami makna azab kubur, jembatan (shirāth), mīzān (timbangan amal), dan mengenal negeri akhirat. Juga mengenal pula cara-cara yang dilakukan iblis untuk menyengsarakan manusia menuju kegelapan alam akhirat bersamanya.

Inilah yang dimaksudkan dalam firman Allah s.w.t. berikut ini:

اِقْرَأْ كِتَابَكَ، كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيْبًا

“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadap amalmu.” (al-Isrā’ [17]: 14).

Juga makna dari firman Allah s.w.t.:

وَ إِنَّ الدَّارَ الآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ، لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ

“Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (al-‘Ankabūt [29]: 64).

Makna yang terkandung dalam penjelasan ayat di atas adalah, berjumpa dengan Allah ‘azza wa jalla, memandang kemuliaan wajah-Nya. Juga berarti dekat dan bertempat di samping-Nya, serta mendapatkan kebahagiaan dengan memperoleh teman setia yang baik di alam ruh bersama para malaikat dan para Nabi, dan mendapat posisi terbaik di surga. Mereka pun berkesempatan untuk saling mengunjungi satu dengan lainnya. Keberadaan mereka laksana bintang-gemintang yang gemerlapan di atas langit malam, dan masih banyak lagi makna lainnya yang akan sangat panjang jika diuraikan satu per satu.

Sebagian ahli hikmah mengatakan, bahwa semua itu merupakan bagian dari contoh yang bisa diberikan bagi manusia. Sedangkan karunia yang sesungguhnya telah dijanjikan Allah s.w.t. bagi hamba-hambaNya yang shalih jauh lebih dari apa yang sanggup mereka bayangkan. Yaitu, sesuatu yang belum pernah disaksikan oleh mata mereka, tidak pernah didengar oleh telinga mereka, atau sama sekali belum pernah terbersit dalam lubuk sanubari mereka.

Sebagian ahli hikmah lainnya menyatakan, bahwa manusia tidak mengetahui apa pun tentang surga kecuali sifat, nama, dan sebutannya. Yang lain berpendapat, bahwa sebagian dari sifat, nama dan sebutan itu hanyalah pola, serta sebagian lagi identik dengan realitas yang ditunjukkan olehnya.

Yang lain lagi bersiteguh pada pendapat, bahwa ilmu Allah s.w.t. tidak terjangkau oleh manusia. Objek pengetahuan rahasia adalah menguak selubung keraguan terhadap hal-hal tersebut dari sanubari manusia, dan penampakan cahaya di dalamnya yang membuat terang-benderang segala sesuatu ibarat siang hari yang cerah. Semua itu dimungkinkan berkat adanya cahaya pada qalbu. Qalbu kita ibarat cermin, dan melalui cermin itu seseorang dapat melihat dengan jelas segala sesuatu yang datang padanya; tentunya setelah dibersihkan dari semua kotoran yang melekat padanya. Ilmu tentang (mengelola) sanubari adalah ilmu yang dengannya kotoran-kotoran disingkirkan dari qalbu manusia, dikarenakan kotoran-kotoran itu menjadi hijab atau penghalang menuju pengetahuan di seputar sifat-sifat Allah s.w.t. (ma‘rifatullāh).

Adapun cara membersihkan kotoran-kotoran tersebut adalah dengan menjaga diri dari hasrat diri yang rendah dan hawa nafsu yang menipu. Yaitu: dengan jalan mengikuti ajaran para Nabi. Jadi, sejauhmana qalbu manusia telah dibersihkan dan diarahkan menuju kebenaran, maka sejauh itu pula cerminannya dalam realitas kehidupan. Ini semua mustahil dicapai tanpa disiplin dan usaha yang keras. Ilmu rahasia (mukāsyafah) ini tidak mungkin ditulis dalam buku, akan tetapi dapat diperoleh melalui pengalaman. Sebab semua itu merupakan karunia yang semata-mata datangnya dari sisi Allah s.w.t. Dan, tentang ilmu mukāsyafah ini, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

إِنَّ مِنَ الْعِلْمِ كَهَيْئَةِ الْمَكْنُوْنِ لاَ يَعْلَمُهُ إِلاَّ أَهْلُ الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ تَعَالَى، فَإِذَا نَطَقُوْا بِهِ لَمْ يَجْهَلْهُ إِلاَّ أَهْلُ الاِغْتِرَارِ بِاللهِ تَعَالَى، فَلاَ تَحْقِرُوْا عَالِمًا آتَاهُ اللهُ تَعَالَى عِلْمًا مِنْهُ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لَمْ يَحْقِرْهُ إِذْ آتَاهُ إِيَّاهُ

Sesungguhnya sebagian dari ilmu itu seperti sesuatu yang tersembunyi yang belum diketahui. Tidak ada yang mampu memahaminya kecuali mereka yang mengenal (ma‘rifat kepada) Allah Yang Maha Tinggi. Janganlah kalian merendahkan orang yang kepadanya Allah Yang Maha Tinggi telah mengaruniai sebagian dari ilmu tersebut, karena Allah ‘azza wa jalla tidak menghinakan seseorang yang kepadanya Dia telah memberi suatu karunia. (1152).

 

 

Catatan:


  1. 114). Nasyīd adalah lantunan dari susunan kalimat bijak yang serupa dengan sya‘ir – penerj. 
  2. 115). Diriwayatkan oleh Abu ‘Abd-ur-Rahman-is-Salmi dalam al-Arba‘īn pada pembahasan mengenai tasawuf, dari hadits Abu Hurairah r.a., dengan isnād lemah (dha‘īf). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *