Ihya Ulumiddin: Ilmu Yang Menjadi Fardhu Kifāyah – Bagian 3

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Bab Kedua

Ilmu yang Terpuji dan Tercela.

 

“Mengenai ilmu yang terpuji dan tercela,
bagian dan hukumnya, fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah.
Juga penjelasan di seputar ilmu kalam dan ilmu fikih
dari ilmu agama Islam
juga batasan serta keutamaan ilmu akhirat.”

[symple_spacing size=”40″]
Ilmu Yang Menjadi Fardhu Kifāyah – Bagian 3

Tentang shalat, seorang ahli fikih akan menetapkan, bahwa shalat itu sah jika formalitas lahiriah dipenuhi oleh pelakunya. Sekalipun saat ia melaksanakan shalat, dari awal hingga akhir, pikirannya justru asyik memikirkan hasil perniagaan atau memikirkan yang lainnya dalam urusan dunia. Kalaupun hadir, hanya terjadi saat takbīr di awal shalat saja. Shalat seperti ini tidak mendatangkan manfaat di akhirat kelak. Sebagaimana tidak bergunanya ungkapan semata kalimat syahadat. Akan tetapi, ilmu fikih akan menyatakan sah perbuatan shalat atau ucapan syahadat sepanjang dilaksanakan sesuai dengan perintah, hingga gugurlah kewajiban atas mereka dan sekaligus mendapatkan perlindungan hukum sebagai seorang Muslim. Sedangkan persoalan khusyu‘ dan hadirnya hati saat shalat yang akan mendatangkan kemanfaatan di akhirat dan akan menunjang perbuatan lahiriah, berada di luar wilayah kajian seorang ulama fikih. Dan jika dipaksakan untuk ada, maka sungguh berada di luar konteks yang berlaku.

Mengenai zakat, seorang ahli fikih hanya akan menilai apakah kewajiban berzakat telah direalisasikan menurut ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh aturan agama. Sehingga jika didapati seorang Muslim yang tidak mau mengeluarkan zakat dari hartanya yang sudah memenuhi ketentuan wajib zakat, maka ia boleh menginstruksikan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil zakat dari harta orang tersebut secara paksa. Ada sebuah riwayat yang mengisahkan tentang seorang qādhī (hakim) bernama Abu Yusuf (1081) memfatwakan sah (boleh) kasus seseorang yang menghibahkan harta kepada istrinya pada penghujung tahun (mendekati masa ḥaul), lalu menerima kembali harta itu dengan cara yang sama (hibah) setelahnya, meskipun orang itu melakukannya dalam rangka menghindari diri dari kewajiban zakat. Sementara itu, Abu Hanifah raḥimahullāh menyatakan, bahwa keputusan itu dihasilkan dari pengetahuan dan pemahamannya tentang ilmu fikih, dan itu sah serta merupakan hasil dari kebijaksanaan duniawi dirinya, meskipun tidak ada nilainya di akhirat kelak. Dan, nilai madharatnya di akhirat nanti lebih besar daripada manfaatnya. Memang seperti itulah sifat ilmu yang berkaitan dengan urusan duniawi.

Mengenai halal dan haram, menjaga diri (wara‘) dari segala bentuk perkara yang diharamkan bernilai sebagai kebaikan. Bahkan nilainya – menurut sebagian pendapat – mencapai bagian dari agama itu sendiri. Terkait dengan sikap wara‘ ini ada empat tingkatan, yaitu:
Pertama, wara‘ yang menjadi syarat atas keadilan sebuah kesaksian. Jika seseorang tidak memiliki sikap ini, maka ia tidak layak untuk menjadi hakim, wali, pencatat perkara atau saksi. Wara‘ seperti ini dilakukan dengan cara memelihara diri dari semua perkara yang jelas keharamannya.
Kedua, wara‘ orang shalih (shāliḥīn). Yaitu, ia menjaga dirinya dari unsur yang meragukan (syubhat); apakah suatu perkara itu berada pada jalur yang dihalalkan atau justru diharamkan. Nabi s.a.w. pernah bersabda dalam perkara ini:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ

Tinggalkanlah apa saja yang meragukan untuk kemudian mengambil yang tidak meragukan. (1092)

Beliau s.a.w. juga pernah bersabda:

الْإِثْمُ حَزَّازُ الْقُلُوْبِ

Dosa itu membawa penyakit bagi jiwa (qalbu). (1103).

Ketiga, wara‘ orang-orang yang bertakwa (muttaqīn). Pada tingkatan ini, mereka bersedia meninggalkan yang dihalalkan karena rasa khawatir terjatuh kepada yang diharamkan. Sebagaimana Rasulullah s.a.w. bersabda mengenai hal itu:

لاَ يَكُوْنُ الرَّجُلُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأْسَ بِهِ مَخَافَةً مِمَّا بِهِ بَأْسٌ

Seseorang tidak bisa disebut bertakwa sebelum ia sanggup meninggalkan sesuatu yang tidak mengandung apa-apa (yang dihalalkan), hanya karena takut akan menyebabkan apa-apa nantinya. (1114)

Contoh dari perkara ini adalah, dengan tidak ikut membicarakan atau mendengarkan pembicaraan di seputar urusan orang lain, karena takut terperosok pada perbuatan mengumpat (ghībah). Atau, berusaha menjaga diri dari memperturutkan nafsu mengonsumsi makanan serta minuman yang lezat-lezat, disebabkan takut akan merangsang syahwat melalui tenaga yang mendorongnya melakukan hal-hal yang diharamkan (terlarang).

Keempat, wara‘ orang-orang yang shiddīq (yang membenarkan). Yaitu, mereka yang meninggalkan segala sesuatu selain Allah s.w.t., karena takut menghabiskan waktu – meski hanya sebentar – untuk perbuatan yang sia-sia.

Di antara keempat tingkatan tersebut, yang pertama saja yang berada dalam wilayah fikih, sedangkan ketiga tingkatan lainnya berada di luar wilayah fikih. Yaitu, wara‘ yang berkaitan dengan pemeliharaan diri pada saat menjadi hakim, saksi, atau menjaga sikap proporsional dalam setiap pengambilan keputusan. Sebab, menegakkan pemeliharaan pada diri mampu membentengi pelakunya dari siksa di akhirat kelak. Diriwayatkan, bahwa Nabi s.a.w. pernah berpesan kepada Wabisa: (1125).

اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَ إِنْ أَفْتَوْكَ، وَ إِنْ أَفْتَوْكَ، وَ إِنْ أَفْتَوْكَ

Mintalah fatwa (pendapat hukum) kepada nurani (qalbu)mu, sekalipun orang lain telah memberi fatwa kepadamu, sekalipun orang lain telah memberi fatwa kepadamu, dan sekalipun orang lain telah memberi fatwa kepadamu. (1136)

Seorang ulama fikih tidak menyatakan pendapat mengenai pengelolaan batin, akan tetapi membatasinya pada sesuatu yang merupakan materi subjek dalam penegakan hukum. Wilayah hukumnya sebatas materi-materi akhirat. Pada saat seorang ahli fikih membicarakan tentang sesuatu dari pembahasan pelengkap semata; bukan pokok. Sebagaimana halnya ahli ilmu pengobatan, matematika, astronomi (perbintangan) dan juga kalam. Atau sama halnya dengan seorang filusuf yang membicarakan persoalan tata bahasa maupun sya‘ir.

Sufyan ats-Tsauri, seorang mutjahid dan ahli hadis yang cukup dikenal, pernah mengatakan: “Sesungguhnya mendalami ilmu fikih bukanlah termasuk perbekalan yang dibutuhkan menuju negeri akhirat. Sebab, para ulama salaf telah bersepakat bahwa kemuliaan ilmu ini justru terletak pada pengalamannya. Siapa saja yang mempelajari seluruh ilmu tersebut untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah s.w.t., maka ia sudah melakukan sesuatu yang jauh dari tujuannya.

 

 

Catatan:


  1. 108). Abu Yusuf menjadi hakim pada masa kekhalifahan ‘Abbasiyyah di Baghdad, Iraq – penerj. 
  2. 109). Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan beliau men-shaḥīḥ-kannya. Juga oleh Imam an-Nasa’i dan Ibnu Hibban, dari hadits al-Hasan bin ‘Ali r.a. 
  3. 110). Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Syu‘ab-ul-Īmān, dari hadits Ibnu Mas‘ud r.a. Diriwayatkan pula dalam Musnad-ul-Baihaqi secara mauqūf kepada Ibnu Mas‘ud r.a. Menurut al-Hafizh al-‘Iraqi, hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam asy-Sya‘ab, Jilid 5, hadits nomor 7277, dengan perbedaan redaksi pada kata (جَوَّازُ) “tidak diterima”, secara mauqūf kepada ‘Abdullah bin Mas‘ud r.a. Imam al-Haitsami juga meriwayatkan dalam al-Mujma‘, Jilid 1, hadits nomor 176, dengan perbedaan redaksi pada kata (حَوَّازُ) “menyelubungi” Kemudian dikatakan, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani seluruhnya dengan isnād pada rijāl haditsnya berstatus tsiqah (dapat dipercaya). Ibnu al-‘Atsir dalam an-Nihāyah mengatakan dengan redaksi (حَوَّازُ الْقُلُوْبِ) “menyelubungi jiwa” atau menyelubungi jiwa, meredupkan cahayanya dan membuatnya membeku. 
  4. 111). Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, dan beliau meng-ḥasan-kan statusnya. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dan al-Hakim, dengan men-shaḥīḥ-kan statusnya, dari hadits ‘Athiyyah as-Sa‘di. 
  5. 112). Wabishah adalah seorang sahabat yang pernah bertanya kepada Nabi s.a.w. tentang makna dosa yang mudah dipahami? Maka beliau menjawab: “Tanyakan kepada nuranimu. Jika nuranimu menolak, maka itulah dosa.” – penerj. 
  6. 113). Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Wabishah. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, bahwa riwayat ini dikeluarkan oleh Imam ad-Darimi, Jilid 2, hadits nomor 2533. Juga oleh Imam Ahmad Jilid 4, hadits nomor 228, dari hadits Wabishah. Imam al-Albani menyebutkan riwayat ini dalam Shaḥīḥ-ul-Jāmi‘, hadits nomor 948. Ditemukan pula dalam kitab at-Tārīkh-ul-Kabīr dari hadits Wabishah dengan redaksi (اِسْتَفْتِ نَفْسَكَ) “Tanyakanlah kepada jiwamu.” 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *