Ihya Ulumiddin: Ilmu Yang Menjadi Fardhu Kifāyah – Bagian 2

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Bab Kedua

Ilmu yang Terpuji dan Tercela.

 

“Mengenai ilmu yang terpuji dan tercela,
bagian dan hukumnya, fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah.
Juga penjelasan di seputar ilmu kalam dan ilmu fikih
dari ilmu agama Islam
juga batasan serta keutamaan ilmu akhirat.”

[symple_spacing size=”40″]
Ilmu Yang Menjadi Fardhu Kifāyah – Bagian 2

Jika ada yang menanyakan: “Mengapa anda memasukkan ilmu fikih ke dalam kelompok ilmu duniawi?” Maka jawaban saya adalah, ketahuilah bahwa Allah ‘azza wa jalla menciptakan Nabi Adam a.s. dari unsur tanah, begitu juga semua keturunan beliau yang diciptakan dari sari pati tanah. Dari sari pati itu terbentuklah air sperma yang memancar dari sulbi laki-laki, lalu digiring memasuki rahim istri. Setelah melalui proses kehamilan selama masa tertentu (9 bulan), lalu dikeluarkan ke alam dunia. Setelah itu, dikembalikan lagi asalnya, dikubur dalam bumi (tanah). Kemudian berlanjut ke padang Mahsyar, di mana pada saat itu ditentukan apakah akan memasuki neraka atau meraih kenikmatan surga.

Itulah awal permulaan kehidupan manusia, berikut gambaran akhirnya. Juga tempat kejadian maupun tempat mereka bersemayam. Dunia ini dijadikan Allah sebagai tempat dan sarana mencari perbekalan hidup di alam berikutnya. Sehingga dari alam dunia ini manusia bisa membawa apa saja yang patut dijadikan bekal menuju negeri akhirat. apabila manusia menjalani dunia ini dengan cara-cara yang adil, maka akan segera lenyap segala bentuk permusuhan; hingga para ulama menjadi tidak ada fungsinya.

Sayangnya, manusia mempunyai kecenderungan meraih dunia melalui hawa nafsu yang berbau syahwat, hingga timbul banyak sekali perselisihan yang terkadang sangat komleks. Keadaan ini membutuhkan seorang pemimpin yang bijak. Di mana, dalam menjalankan kepemimpinannya, sang pemimpin membutuhkan peraturan (qānūn) sebagai pijakan dalam mengatur kehidupan dunia. Dan, para ulama fikih adalah para ahli hukum yang memahami seluk-beluk hukum dalam pemerintahan ahli yang mampu memediasi perselisihan di antara manusia.

Akan tetapi, usaha penegakan kebenaran yang dilakukan harus sesuai dengan upaya memerantarai konflik yang muncul secara proporsional. Sebab, dunia ini hanyalah ladang persemaian bagi apa yang bisa kita tuai di akhirat kelak. Itulah mengapa sering kita dengar ungkapan yang menyatakan bahwa ulama itu merupakan guru bagi pemimpin yang tengah berkuasa. Dengan ilmu yang dimiliki, para ulama membimbing pemimpin menuju tugas mulia yang tengah diembannya.

Aturan agama itu sendiri tidak akan pernah berhasil ditegakkan dengan sempurna tanpa adanya alam dunia. Jadi, jika kita menyerahkan urusan agama kepada mereka yang tidak berhak, maka kita akan mendapati bahwa agama bukan lagi menjadi pondasi, dan penguasa dunia bukan lagi sebagai pengawal serta penjaganya. Pemimpin dan aturan agama itu laksana anak kembar yang saling menguatkan satu dengan lainnya. Jika sebuah bangunan didirikan tanpa menggunakan pondasi, maka akan dengan mudah hancur. Sebagaimana sesuatu yang berharga dibiarkan begitu saja tanpa adanya penjagaan, maka juga bisa hancur dengan mudah. Kekuasaan tidak mungkin berjalan tanpa penguasa, dan alat kekuasaan adalah ilmu fikih atau hukum administratif (pengurusan dan pengelolaan kekuasaan dunia).

Pada tingkatan awal, ilmu tentang pemerintahan (siyāsah) tidak termasuk dalam ilmu syari‘ah. Kedudukannya hanya berfungsi sebagai pelengkap yang menyempurnakan. Namun demikian, keberadaan agama tidak akan pernah bisa disempurnakan pelaksanaannya tanpa ilmu dunia. Sebagaimana kita maklumi, bahwa pelaksanaan ibadah haji dinilai kurang sempurna jika dilakukan tanpa adanya pengawalan yang melindungi pelaksananya dari berbagai gangguan dalam perjalanan maupun pada saat pelaksanaannya. Dengan kata lain, pelaksanaan ibadah haji adalah satu hal, sedangkan aturan yang membingkai dan keamanan dalam pelaksanaan ibadah haji adalah hal yang berbeda, di mana jaminan keamanan merupakan unsur penunjang, dan hukum-hukumnya yang ditegakkan menjadi unsur penyempurna.

Objek dari ilmu fikih adalah memberikan pengetahuan tentang sistem perundang-undangan dan perlindungan. Semua itu didukung oleh sebuah hadis dengan status musnad berikut ini:

لاَ يُفْتِي النَّاسَ إِلاَّ ثَلاَثَةٌ:أَمِيْرٌ أَوْ مَأْمُوْرٌ أَوْ مَتَكَلِّفٌ

Tidak ada yang dapat memberikan fatwa (pendapat hukum) kecuali tiga orang: penguasa, orang yang diberi wewenang dan tidak begitu terbebani dengannya, dan orang yang memberikan putusan dengan hasil ijtihadnya sendiri. (1051).

Penguasa atau pemimpin tertinggi memenuhi syarat untuk memberikan fatwa (pendapat hukum). Sedangkan seseorang yang diberi wewenang oleh penguasa disebut wakil dari penguasa yang bersangkutan. Di luar keduanya, yakni subjek yang ketiga, maka dapat disebut sebagai yang memikul tanggungjawab bagi dirinya sendiri.

Para sahabat Nabi s.a.w. umumnya menahan diri dari memberikan fatwa. Hingga mereka sering menyerahkan kepada sahabat lainnya untuk memberikan jawaban jika dimintai fatwa; dan merasa diri kurang berkompeten dalam menjawab. Terutama pada saat mereka ditanya tentang kandungan al-Qur’an dan ilmu-ilmu tentang urusan akhirat, mereka pasti akan memberikan jawaban yang sama; agar bertanya kepada yang lebih ahli.

Para riwayat berbeda disebutkan, bahwa mereka yang memberikan jawaban tanpa pemahaman yang sesuai porsinya, maka sama artinya dengan mengambil alih beban ke atas pundaknya. Mereka menghindarkan diri dari berbuat riya’. Sebab, orang yang bersedia memikul risiko dengan menyatakan suatu fatwa (pendapat hukum), sedang ia tidak ditugaskan untuk memberikan jawaban yang dibutuhkan, maka tidak terselip maksud dari pemberi jawaban kecuali mencari kemegahan dunia dan harta, atau pujian pihak lain.

Jika anda mengemukakan pendapat, bahwa fatwa (pendapat hukum) ilmu fikih – kalaupun benar – hanya terkait dengan masalah hukum penganiayaan, utang-piutang, dan urusan penyelesaian persengketaan; dan, tidaklah benar jika fatwa dimaksud berkaitan dengan bagian ibadah seperti puasa maupun shalat, juga tidak ada fatwa atas apa yang dilengkapi oleh bagian adat (kebiasaan) dari hukum mu‘amalah, terutama dari penjelasan seputar masalah halal maupun haram, maka dapat dikatakan di sini bahwa pernyataan ini tidaklah benar.

Kita dapat mengatakan, bahwa ulama fikih memberikan putusan tentang masalah agama terkait dengan masalah Islam, shalat, zakat, apa saja yang dihalalkan maupun yang diharamkan. Apabila anda perhatikan sejauh pandangan ahli fikih tentang perkara di atas, maka anda akan segera mengetahui bahwa urusan tersebut tidaklah melampaui batas-batas dunia kepada akhirat. Selain itu, apabila alur penjelasan pada masalah-masalah tersebut anda pahami, maka pada selainnya jauh lebih mudah dan semakin jelas untuk dimengerti.

Dalam masalah keislaman (seseorang), para ulama fikih hanya memberikan perhatian pada pengakuan lahiriah atas dua kalimat syahadat; yakni mengenai pengucapan, berikut syarat yang dibutuhkan dalam aplikasinya. Sedangkan pada perkara batin atau alam pikiran berada di luar wilayah perhatian mereka. Sebagaimana Rasulullah s.a.w. juga tidak menilai batin atau pikiran para penguasa, serta para mujahid (orang-orang yang berjihad, berperang di jalan Allah). Meskipun beliau mengetahui melalui sumber wahyu, seperti dikemukakan dalam hadis berikut ini, di mana beliau meletakkan pemegang pedang dan kekuasaan di luar kehendak batinnya. Diriwayatkan, beliau bertanya kepada orang yang telah membunuh musuhnya – dalam peperangan – yang sebelum dibunuh akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat:

هَلاَّ شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ

Apakah engkau telah memeriksa qalbu orang yang engkau bunuh itu? (1062)

Yaitu, apakah ia mengucapkan dua kalimat syahadat karena takut engkau bunuh atau justru sebaliknya. Para ahli fikih menetapkan, bahwa keislaman orang tersebut baik, meskipun ia mengucapkan syahadat di bahwa ancaman pedang. Sebab, pedang yang terhunus tidak mampu mengungkap apa yang tersembunyi di dalam qalbu seseorang, juga tidak mengurangi atau menambah kejahiliahan seseorang yang diancam olehnya (hunusan pedang). Karena itu, isyarat yang ada justru terletak pada pemegang pedang, apa yang ia niatkan pada saat menghunuskan pedangnya itu. Jika niatnya sesuai dengan aturan Allah, maka selamatlah ia. Jika tidak, maka kebinasaan yang bakal menghampirinya. Dua kalimat syahadat mampu membentengi jiwa dan harta pengucapnya dari hunusan pedang yang hampir menebas batang leher. Inilah aturan dalam urusan dunia. Dan atas pertimbangan yang sama pula Nabi s.a.w. pernah bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، فَإِذَا قَالُوْهَا فَقَدْ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ

Aku diperintahkan [oleh Allah] untuk memerangi manusia, sampai mereka mengucapkan kalimat “Lā ilāha illallāh”. Apabila kalimat tersebut telah diucapkan, maka terpeliharalah darah maupun hartanya atas tanggunganku (berada dalam naungan Islam). (1073).

Nabi s.a.w. menetapkan akibat dari ucapan itu pada darah (jiwa) dan harta pengucapnya.

Adapun di alam akhirat nanti harta tidak lagi berguna atas pemiliknya. Yang menolong mereka di Hari Pembalasan amal nanti justru keadaan qalbu yang bercahaya bisa yang menerangi kegelapan, termasuk di alam kubur. Juga ketulusan dan keikhlasan jiwa-lah yang sangat berguna bagi pemiliknya. Dan ini berada di luar wilayah fikih. Apabila seorang ulama fikih menceburkan diri secara total di luar ilmu di seputar urusan fikih, maka sama halnya jika ia menceburkan diri atau mendalami ilmu kalam atau ilmu tentang kesehatan tubuh manusia. Dengan kata lain, ia beranjak di luar bidang keahliannya semula.

Catatan:


  1. 105). Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari riwayat ‘Amru bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun maknanya sama, dan isnadnya berstatus ḥasan. 
  2. 106). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Usamah bin Zaid r.a. 
  3. 107). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun ‘alaih), dari hadits Abu Hurairah, ‘Umar Ibnul-Khaththab, dan Ibnu ‘Umar r.a. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *