Hati Senang

Ihya Ulumiddin: Ilmu Yang Menjadi Fardhu Kifāyah – Bagian 1

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Bab Kedua

Ilmu yang Terpuji dan Tercela.

 

“Mengenai ilmu yang terpuji dan tercela,
bagian dan hukumnya, fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah.
Juga penjelasan di seputar ilmu kalam dan ilmu fikih
dari ilmu agama Islam
juga batasan serta keutamaan ilmu akhirat.”

 

Ilmu Yang Menjadi Fardhu Kifāyah – Bagian 1

Ketahuilah bahwa perbedaan hukum menuntut ilmu menjadi fardhu (kewajiban) dan tidak fardhu (diwajibkan) tidak terjadi kecuali dengan mengaitkan dengan bagian-bagian ilmu. Di mana ilmu tersebut dibagi menjadi dua kategori pokok, yaitu: ilmu yang terkait dengan masalah agama (‘ilmu syarī‘ah) dan ilmu yang tidak langsung terkait dengan masalah agama (‘ilmu ghairu syarī‘ah). Ilmu syari‘ah adalah ilmu yang berasal atau diperoleh dari para nabi Allah – semoga shalawat dan salam Allah selalu tercurah kepada mereka semua – . Ilmu ini tidak diperoleh melalu pemahaman akal manusia seperit halnya ilmu hitung (matematika); (1001) tidak juga dengan melakukan diagnosa seperti ilmu kesehatan, dan juga tidak dengan hanya mendengar seperti ilmu bahasa. Ilmu ini hanya bisa diperoleh melalui wahyu.

Adapun ilmu selain syari‘ah terbagi menjadi ilmu yang terpuji (maḥmūdah), ilmu yang tercela (madzmūmah), dan ilmu mengenari sesuatu yang diperbolehkan (mubāḥ). Ilmu yang terpuji adalah ilmu-ilmu yang diperlukan bagi kemaslahatan kehidupan manusia di dunia seperti ilmu kedokteran (kesehatan) dan ilmu hitung (matematika).

Ilmu yang terpuji terbagi menjadi dua, yaitu: fardhu kifāyah dan fadhīlah (keutamaan). Fardhu kifāyah adalah kewajiban yang jika suatu kaum atau bangsa tidak memilikinya sama sekali, maka mereka tidak akan pernah mampu bertahan hidup [dalam persaingan – penerj.] di alam dunia ini. Jika sekurang-kurangnya satu orang memperoleh dan menguasai ilmu tersebut dalam suatu kota atau komunitas, maka semua penduduk kota atau seluruh anggota komunitas itu terbebas dari dosa. Akan tetapi, jika tidak ada seorang pun yang mau mempelajarinya, maka seluruh komunitas dianggap berdosa dan tidak terbebas dari kewajiban dimaksud.

Jadi, tidaklah terlalu mengherankan apabila mempelajari ilmu seperti kedokteran atau matematika menjadi fardhu kifāyah. Juga ilmu-ilmu yang seharusnya dipelajari oleh setiap komunitas Muslim seperti pertanian, administrasi (manajemen), pengolahan hasil (industri), ilmu kesehatan, pertenunan, dan sebagainya adalah fardhu kifāyah. Apabila pada suatu negeri tidak memiliki seorang ahli dalam pengobatan, maka bisa dipastikan negeri itu tidak akan pernah selamat dari musibah penyakit. Dan, seluruh komunitas yang ada dianggap berdosa, karena tidak mau mempelajari ilmu di seputar pengobatan. Sebab, pada saat Allah s.w.t. menjadikan suatu penyakit, maka bersamaan dengan itu Dia telah pula menurunkan penyembuhnya, memberi petunjuk mengenai cara menggunakannya (obat) serta menyediakan pula sebab-sebab (sarana) untuk bisa mempelajarinya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan jika kita mengarahkan diri pada kebinasaan tanpa usaha penyembuhan.

Akan tetapi, menjadi ahli dalam ilmu-ilmu tersebut merupakan fardhu kifāyah. Meski demikian, akan sangat banyak manfaatnya jika dalam suatu negeri terdapat ahli pada masing-masing bidang tersebut; yang sangat dibutuhkan.

Mengenai ilmu-ilmu yang tercela, antara lain; judi, sihir, mantera, tenung, dan sejenisnya. sedangkan ilmu-ilmu yang berstatus boleh (mubāḥ) seperti puisi, sejarah, geografi, geologi (ilmu bumi), dan sebagainya.

Adapun ilmu syari‘ah pada dasarnya semua ilmu ini terpuji (maḥmūdah). Akan tetapi, seringkali ilmu ini tercampur dengan ilmu yang disangka syari‘ah, yang berakibat ilmu ini pun berubah menjadi tercela (madzmūmah). Itulah sebabnya, kemudian ilmu ini pun dibagi menjadi ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela.

Ilmu yang terpuji terbagi kepada empat jenis, yaitu: Ushūl (ilmu-ilmu sumber/pokok), Furū‘ (ilmu cabang), muqaddamāt (ilmu penunjang) dan mutammamāt (ilmu pelengkap).

Pertama, Ushūl (ilmu-ilmu sumber/pokok). Semuanya ada empat, yaitu: Kitabullāh ‘azza wa jalla (al-Qur’an), Sunnah Rasulullah s.a.w., Ijma‘ (kesepakatan para ulama Islam), dan Atsar (peninggalan atau ucapan para sahabat Nabi). Ijma‘ menjadi sumber hukum pokok yang ketiga, karena memberi petunjuk kepada Sunnah Rasulullah s.a.w. Begitu juga dengan sumber keempat; atsar para sahabat, yang dengannya bisa merujuk ke Sunnah Rasulullah s.a.w. Para sahabat menyaksikan turunnya wahyu. Mereka pun bisa melihat apa yang tidak dilihat yang lain; seiring dengan persahabatan dan kebersamaan mereka dengan Rasulullah s.a.w. Oleh sebab itu, melalui dasar inilah para ulama berpendapat untuk mengikuti dan berpegang teguh kepada atsar sahabat. Namun demikian, perwujudannya dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, dan dalam kondisi yang tertentu pula. Akan tetapi, tidak pada tempatnya jika harus dijelaskan dalam pembahasan kali ini; karena akan sangat panjang dan banyak ragamnya.

Kedua, furū‘ (ilmu-ilmu cabang). Ilmu yang diperoleh dengan memahami sumber pokok, dengan tidak berpegang pada makna harfiah, namun mendasarkan pada makna ucapan. Di mana semuanya merupakan kerja akal (pikiran) yang terbebas dari pengaruh emosi, sebagaimana ditunjukkan oleh hadis Rasulullah s.a.w. berikut ini:

لاَ يَقْضِيَ الْقَاضِيْ وَ هُوَ غَضْبَانُ

Seorang qadhi (hakim) tidak diperkenankan mengadili suatu perkara tatkala ia sedang dalam kondisi marah. (1012).

Ilmu furū‘ terbagi menjadi dua. Pertama, ilmu yang berhubungan dengan kemaslahatan kehidupan dunia. Ilmu ini terangkum dalam kitab-kitab fikih yang penyusunannya dipercayakan kepada para ahli fikih; karena, mereka lebih memahami urusan dunia. Kedua, ilmu yang berhubungan dengan kegiatan ukhrawi (akhirat). Yaitu ilmu tentang keadaan qalbu dan perilakunya yang terpuji dan tercela; berikut segala bentuk kejadian yang mengundang keridhaan Allah s.w.t. pembahasan buku Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn, yang sesungguhnya menjadi tujuan utama penyusunan buku ini. Di samping itu, pada bagian lainnya, ada pembahasan seputar ilmu yang terpancar dari lubuk sanubari melalui anggota tubuh, baik itu melalui amalan ibadah maupun kebiasaan hidup keseharian. Dan, bahasan mengenai masalah dimaksud ada pada bahasan-bahasan awal buku ini.

Ketiga, muqaddamāt (ilmu-ilmu yang menunjang keberadaan ilmu terpuji), seperti bahasa dan tata bahasa (naḥwu maupun sharaf) yang sangat dibutuhkan untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah. Ilmu-ilmu ini memang bukan bagian dari ilmu-ilmu syari‘ah. Akan tetapi, ilmu ini tetap harus dipelajari karena menjadi jalan untuk mengetahui ilmu syari‘ah. Seluruh syari‘at di dalam ajaran Islam diturunkan dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, mempelajari bahasa Arab menjadi perantara (wasilah) yang menyampaikan kita kepada isi kandungan syari‘at yang diturunkan oleh Allah s.w.t.

Termasuk dalam kategori ilmu ini adalah ilmu tulis-menulis. Meskipun, tidak sepenting ilmu bahasa, karena Rasulullah Muhammad s.a.w. sendiri tidak bisa membaca dan menulis (ummi). (1023) Apabila menghafal semua yang didengar merupakan satu kekuatan, maka menulis atau membaca tidak lagi dibutuhkan. Akan tetapi, jika hafalannya dirasa lemah, maka kepandaian menulis dan kemampuan membaca menjadi penting, dan tidak mungkin diabaikan.

Keempat, mutammamāt (ilmu pelengkap), ilmu ini terkait dengan ilmu al-Qur’an baik yang berhubungan dengan pengucapan kata-kata (kalimat) seperti ilmu qiraat atau ilmu makhārij-ul-ḥurūf (cara melafalkan huruf), maupun yang berkaitan dengan makna, seperti ilmu tafsir. Termasuk kategori ilmu ini adalah pengetahuan asbāb-un-nuzūl (sebab-sebab turunnya satu ayat). Karena, untuk memperoleh makna serta tujuan satu ayat tidak bisa semata berpegang pada aspek bahasa, diperlukan pemahaman tentang sejarah yang melatari turunnya ayat tersebut. Selain itu, ada juga ilmu tentang nāsikh-mansūkh, (1034) ‘ām dan khāsh, dan yang lainnya yang termasuk dalam ruang lingkup ilmu ushūl-ul-fiqh.

Sementara ilmu pelengkap di seputar hadis Nabi dan atsar sahabat adalah ilmu mengenai para perawi (periwayat) hadis; mulai dari nama, keturunan, riwayat hidup, serta kepribadian mereka. Juga pengetahuan mengenai ‘adālah (kejujuran) para perawi serta kondisi mereka dalam meriwayatkan sebuah hadis. Juga pengetahuan seputar karakter mereka sehingga bisa dibedakan antara hadis yang lemah (dha‘īf) dengan hadis yang shaḥīḥ. Di samping itu, perlu juga mengetahui usia mereka sehingga bisa membedakan antara hadis yang mursal dengan hadis yang musnad. (1045) Semua itu merupakan ilmu syari‘ah, dan kesemuanya terpuji serta dipandang sebagai fardhu kifāyah, yang berarti mengikat komunitas sebagai satu kesatuan.

 

 

Catatan:


  1. 100). Namun dalam aplikasinya tetap menggunakan akal untuk memahaminya – penerj.
  2. 101). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun ‘alaihi) dari hadits Abu Bakrah.
  3. 102). Yaitu, Rasulullah s.a.w. tidak pandai membaca tulisan yang diberikan kepada beliau. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dalam kitab Tafsīr miliknya, dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar r.a. secara marfū‘: “Bahwa sesungguhnya saya, Muhammad, adalah seorang Nabi yang Ummi (tidak bisa membaca dan menulis.” Di dalam riwayat ini terdapat seorang perawi yang bernama Ibnu Luhai’ah. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban, Imam ad-Daruquthni, Imam al-Hakim, serta Imam al-Baihaqi, dan beliau men-shaḥīḥ-kannya dari hadits Ibnu Mas‘ud r.a., dengan redaksi: “Ya Allah, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Muhammad, Nabi yang ummi (tidak pandari membaca dan menulis).” Pada riwayat Imam Bukhari disebutkan dari hadits al-Barra’ degnan redaksi: “Dan beliau s.a.w. mengajarkan al-Qur’an, akan tetapi tidak pandai membaca maupun menulis.”
  4. 103). Nasakh-mansūkh adalah ayat-ayat yang keberadaannya menghapus hukum yang diturunkan sebelumnya – penerj.
  5. 104). Hadits musnad adalah semua hadits yang berstatus marfū‘ (khabar yang disandarkan kepada Nabi s.a.w.), serta sanad-nya bersambung – penerj.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.