Ihya Ulumiddin: Ilmu yang Menjadi Fardhu ‘Ain – Bagian 2

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Bab Kedua

Ilmu yang Terpuji dan Tercela.

 

“Mengenai ilmu yang terpuji dan tercela,
bagian dan hukumnya, fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah.
Juga penjelasan di seputar ilmu kalam dan ilmu fikih
dari ilmu agama Islam
juga batasan serta keutamaan ilmu akhirat.”

[symple_spacing size=”40″]
Ilmu yang Menjadi Fardhu ‘Ain – Bagian 2

Mengetahui sesuatu tidak wajib atas seorang Muslim yang tidak membutuhkannya. Dengan kata lain, segala sesuatu yang diketahui bahwa seseorang terlepas darinya (tidak berkaitan dengannya), maka tidaklah diwajibkan untuk mempelajarinya. Demikian pula sebaliknya. Jika sesudah menerima (masuk) Islam seseorang mengenakan pakaian yang terbuat dari kain sutera, bersekutu dalam merampas harta orang lain, atau melihat wanita lain yang bukan maḥram dengan penuh nafsu, maka ia harus mengetahui bagaimana cara membatasi dan menjaga diri dari hal-hal tersebut.

Sedangkan pada segala sesuatu yang tidak melekat pada diri seseorang, namun akan selalu dihadapinya segera pada masa mendatang, seperti pengetahuan seputar makanan dan minuman, maka diwajibkan mempelajari atau mengajarkannya kepada pihak lain yang membutuhkan. Karena itu, apabila beredar di dalam negeri minuman beralkohol dan makanan yang bercampur unsur babi, atau makanan yang diharamkan lainnya, maka pengetahuan (ilmu) di seputar persoalan-persoalan semacam itu wajib diajarkan serta diberitahukan. Sebab, setiap yang diwajibkan untuk disampaikan (diajarkan), maka mempelajarinya juga menjadi kewajiban yang bernilai setara.

Dan, mengenai keimanan atau amalan batin, mengetahui kondisi serta mengendalikan suasananya juga diwajibkan bagi setiap Muslim. Jadi, kalau seorang Muslim merasa ada keraguan dalam batinnya, misalnya tentang arti dan makna dari dua kalimah syahadat, maka diwajibkan segera baginya mempelajari apa saja yang dapat menghilangkan keraguan tersebut. Juga apabila tidak tersemat gairah rasa yang meyakinkan, hingga qalbu menjadi beku (mati) sebelum keyakinan ditambatkan, misalnya keyakinan di seputar qadīm-nya kalam Allah, adanya perjumpaan dengan Allah kelak di Hari Pembalasan amal, perbedaan sifat makhluk dengan Penciptanya (Khāliq), dan yang sejenis dengan itu, maka para ulama telah bersepakat bahwa qalbunya sudah dinyatakan mati, atau tidak lagi mampu menerima hidayah Allah s.w.t.

Bisikan yang terdapat dalam batin itu selalu mengarahkan pada keyakinan, yang sebagiannya disebabkan oleh bentukan pribadi seseorang, dan sebagian lainnya dikarenakan adanya pengaruh di luar batinnya (pengaruh lingkungan sekitar). Apabila di sekeliling kita terjadi perbuatan bid‘ah dan keyakinan manusia dipertaruhkan di dalamnya, maka mencegah atau menjaganya merupakan kewajiban bersama, demi menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran. Manakala batin seseorang telah tersusupi kebatilan, ia harus segera menghilangkan kebatilan tersebut sebelum berkarat dan menjadi sulit dibersihkan. Memang, penerapan dari amalan dimaksud tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Seperti membudayanya unsur rente (praktik riba’) dalam perdagangan yang banyak dilakukan pada dewasa ini di kalangan kaum Muslim, maka usaha mencegah dan atau menghilangkan praktik semacam itu, melalui cara mempelajarinya serta menjaga diri dari pengaruhnya menjadi suatu kewajiban.

Seperti itulah gambaran di seputar fardhu ‘ain. Dengan kata lain, terhadap ilmu mengenai tata cara amalan yang diwajibkan bagi setiap Muslim, maka seorang Muslim yang memahami ilmu yang diwajibkan, atau kapan waktu diwajibkannya, berarti ia telah menguasai ilmu yang berkedudukan sebagai fardhu ‘ain. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan, ketika suatu kewajiban mengikat diri seorang Muslim, maka memperoleh pengetahuan tentangnya juga mengikat orang yang bersangkutan. Sebagaimana banyak di antara kaum sufi (981) yang telah menjelaskan bagaimana cara memahami bisikan-bisikan yang berpotensi menjerumuskannya, berikut langkah tepat dalam menanggulanginya. Yaitu, melalui cara-cara suci yang khusus dan berkaitan langsung dengan sumber persoalan yang terjadi; melalui cara mendekatkan diri kepada Allah s.w.t.

Jika diri seoranag Muslim tidak atau belum mampu terbebas dari rasa benci, iri, dan dengki terhadap sesama, maka diwajibkan baginya mempelajari bagian dari ilmu yang membahas mengenai segala bentuk keburukan amalan yang mampu membinasakan manusia. Bagaimana mungkin mempelajari mengenai masalah tersebut tidak menjadi kewajiban bagi kita, jika Rasulullah s.a.w. sendiri pernah bersabda:

ثَلاَثَةٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ، وَ هَوًى مُتَّبَعٌ، وَ إِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

Tiga perkara yang membinasakan manusia, yaitu: sikap kikir yang ditaati, nafsu yang diperturutkan, dan rasa bangga manusia yang berlebihan kepada diri sendiri. (992).

Berbagai keburukan lain yang mengikuti ketiga keburukan utama tadi, seperti sikap takabbur, ‘ujub, serta penyakit batin (qalbu) lainnya, akan kami jelaskan nanti. Wajib atau fardhu ‘ain hukumnya menghilangkan keburukan-keburukan semacam itu dari qalbu kita. Dan, akan sulit menghilangkan semua penyakit tersebut, kecuali dengan memahami batas-batasnya, apa saja yang menjadi penyebabnya, tanda-tandanya, sekaligus cara untuk menanggulanginya. Seseorang yang tidak mengetahui suatu tindak kejahatan akan mudah terperosok ke dalamnya. Sedangkan obat penyembuhnya adalah, menghadapi penyebab itu dengan menggunakan kebalikan atau apa yang menjadi lawannya.

Oleh karena itu, bagaimana mungkin mengadakan perlawanan jika untuk mengidentifikasinya saja kita tidak mampu? Apa yang menjadi penyebab dan hasil apa yang disebabkan juga tidak tahu?. Semua itu merupakan rangkaian usaha dalam menjalani kewajiban berupa fardhu ‘ain. Kebanyakan manusia sudah enggan memperhatikan urusan semacam ini, karena terlanjur disibukkan dengan urusan serta perkara lainnya yang tidak penting.

Jika seseorang telah mengakui kebenaran Islam dengan mengucap dua kalimat syahadat, maka diwajibkan pula baginya untuk segera beriman kepada adanya surga, neraka, Hari Berbangkit, dan Hari Perhitungan amal (hisāb). Sebab, ketidakyakinan seseorang mengenai apa yang sudah kami sebutkan tadi berpotensi mengubah keimanannya, dan mengarahkan pelakunya untuk keluar (menyimpang), lalu mencari sandaran lain yang dianggapnya benar; padahal salah. Semua itu merupakan usaha untuk menyempurnakan dua kalimat syahadat yang sudah diikrarkan, dengan beriman (mempercayai), kemudian mengamalkannya dalam keseharian.

Dengan membenarkan kerasulan Muhammad s.a.w., berarti kita juga membenarkan apa yang beliau sampaikan dan ajarkan (risālah yang beliau bawa). Yaitu, bagi siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka baginya telah disediakan surga. Sebaliknya, siapa saja yang mendurhakai Allah dan tidak mengimani Rasul-Nya, maka tempatnya berada di neraka.

Apabila kita telah memberikan perhatian atas pelajaran tersebut secara berkala, maka ketahuilah selanjutnya bahwa inilah madzhab yang ḥaqq (benar). Dan yakinlah, bahwa setiap hamba dalam beragam akitivitasnya, siang maupun malamnya, tidak mungkin berlepas diri dari berbagai peristiwa yang berkaitan dengan ibadah maupun mu‘amalahnya secara berkesinambungan, juga atas konsekuensi yang bakal dituai. Oleh karena itu, sebaiknya kita bertanya kepada diri sendiri seputar berbagai peristiwa dimaksud, apakah sudah sesuai ataukah belum dengan nilai-nilai kebenaran? Di samping itu, bersegeralah mempelajari apa saja yang diharapkan atau mungkin terjadi dalam waktu mendatang.

Ketika Rasulullah s.a.w. menyampaikan bahwa: menuntut ilmu diwajibkan bagi setiap Muslim,” dengan menggunakan kata al-‘ilmu dalam bentuk ma‘rifat (menunjukkan kekhususan), ini menunjukkan bahwa ilmu yang dipelajari merupakan ilmu yang khusus; yaitu ilmu yang dibarengi dengan amal. Ketika berbagai amal secara berangsur-angsur diwajibkan atas diri seorang hamba, maka memperoleh pengetahuan tentang berbagai kewajiban itu berangsur-angsur pula menjadi kewajiban baginya. Wallāhu a‘lam (hanya Allah Yang Maha Tahu).

 

 

Catatan:


  1. 98). Yaitu mereka yang memiliki qalbu lembut dan telah terasah – penerj. 
  2. 99). Diriwayatkan oleh Imam al-Bazzar, Imam ath-Thabrani, Abu Nu‘aim, dan Imam al-Baihaqi dalam asy-Syu‘ab, dari hadis Anas bin Malik r.a. dengan sanad yang lemah (dha‘īf). Imam al-Albani mengatakan dalam ash-Shaḥīḥah, hadits nomor 1802, bahwa hadits ini diriwayatkan melalui banyak jalur dari kalangan sahabat Nabi s.a.w., hingga statusnya in sya’ Allah adalah ḥasan berdasarkan banyaknya sahabat yang meriwayatkan.