Ihya Ulumiddin: Ilmu yang Menjadi Fardhu ‘Ain – Bagian 1

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Bab Kedua

Ilmu yang Terpuji dan Tercela.

 

“Mengenai ilmu yang terpuji dan tercela,
bagian dan hukumnya, fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah.
Juga penjelasan di seputar ilmu kalam dan ilmu fikih
dari ilmu agama Islam
juga batasan serta keutamaan ilmu akhirat.”

 

Ilmu yang Menjadi Fardhu ‘Ain – Bagian 1

Nabi s.a.w. pernah bersabda: Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim. Beliau s.a.w. juga pernah bersabda: Carilah ilmu, sekalipun hingga ke negeri Cina. (891). Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang cabang ilmu yang berkedudukan sebagai fardhu ‘ain (902) bagi setiap Muslim. Tercatat lebih dari dua puluh kelompok yang berbeda pendapat dalam masalah ini. Di sini kami tidak hendak menguraikan seluruhnya satu per satu. Yang jelas, masing-masing pendapat menyatakan bahwa kedudukan fardhu ‘ain atas ilmu yang telah mereka tetapkan dan yakini adalah sesuatu yang wajib didahulukan, sesuai dengan pemahaman mereka.

Para ahli kalam (mutakallimūn) mengatakan bahwa ilmu kalam-lah yang berstatus fardhu ‘ain bagi setiap Muslim. Sebab, dengan ilmu kalam mereka mengetahui seputar ke-esa-an Allah s.w.t. (tauhīd), Dzat serta Sifat-Nya.

Sedangkan para ahli fikih mengatakan bahwa ilmu fikih-lah yang berkedudukan sebagai fardhu ‘ain. Sebab, dengan memahami ilmu fikih, maka seluruh perkara ibadah, urusan mu‘amalah, baik itu berkaitan dengan apa saja yang diharamkan maupun dihalalkan, dapat diketahui serta dipahami. Dan, mengenai penanganan terhadap seluruh persoalan tersebut, mereka yang memahami ilmu fikih mampu menyajikan solusi atas apa saja yang mereka butuhkan.

Para ahli tafsir dan ahli hadits juga mengklaim, bahwa ilmu tentang al-Qur’an serta as-Sunnah Rasulullah s.a.w. adalah ilmu yang berkedudukan sebagai fardhu ‘ain. Sebab, melalui pemahaman terhadap kedua ilmu tersebut bisa menyampaikan pemiliknya kepada seluruh ilmu yang berada di bawah keduanya (yang dibutuhkan); secara keseluruhan.

Para sufi juga berkata, bahwa ilmu tasawuf-lah yang dimaksud berkedudukan sebagai fardhu ‘ain. Ada pendapat dari sebagian ahli tasawuf yang mengatakan, bahwa ilmu seputar tasawuf adalah memahami kedudukan hamba terhadap Sang Maha Pencipta, Allah ‘azza wa jalla. Ada pula pendapat sebagian dari ahli tasawuf lainnya yang menyatakan, bahwa ilmu tasawuf mengandung pelajaran penting seputar pemahaman atas sikap ikhlas, juga penjelasan di seputar penyakit yang melingkupi jiwa dan sangat membahayakan bagi kedudukan hamba dalam pandangan Allah, juga ilmu yang membicarakan seputar perbedaan antara langkah yang ditempuh manusia hingga melebihi derajat malaikat, serta kehinaan yang digapai karena mengikuti tipu-daya setan yang terkutuk.

Pendapat lain yang sempat dikatakan oleh para ahli tasawuf mengenai ilmu ini adalah, bahwa ilmu tasawuf dikhususkan bagi pemahaman di seputar batin manusia. Oleh sebab itu, diwajibkan kepada mereka yang telah mencapai derajat khusus (tertentu) mempelajarinya (ilmu tasawuf), agar mereka benar-benar memahaminya. Dan dengan memahami ilmu tasawuf, mereka yang sudah mencapai kedudukan tertentu itu bisa memunculkan kalimat hikmah yang bisa berguna bagi kepentingan sesama manusia.

Abu Thalib al-Makki pernah mengatakan, bahwa pengetahuan mengenai rukun Islam yang lima sebagai ilmu yang berkedudukan fardhu ‘ain bagi setiap Muslim. Semua ini sesuai dengan sabda Nabi s.a.w.:

بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ…… إِلَى آخِرِ الْحَدِيْثِ

Ajaran Islam itu didirikan (dibangun) atas lima sendi (pilar) utama (pokok), yaitu: bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah….. sampai akhir hadits. (913).

Disebabkan kelima pilar tersebut dinyatakan sebagai yang wajib dimiliki (fardhu ‘ain), maka beriringan dengan itu pula kita diwajibkan mengetahui cara pelaksanaan dan memahami kedudukan dari kelima sendi tersebut.

Sebagaimana pernah kami sebutkan pada awal pembahasan buku ini, ada dua jenis ilmu dalam Islam, yaitu ilmu agama praktis (mu‘āmalah) dan ilmu tentang hal-hal yang bersifat ghaib, atau berkaitan dengan urusan spiritual (mukāsyafah). Jenis yang pertama-lah yang akan kita bicarakan dalam buku ini. Yaitu, ilmu yang wajib diketahui, dikuasai (dipahami) dan diamalkan oleh setiap hamba Allah s.w.t. yang berakal serta mencapai usia dewasa (bāligh). Ilmu dimaksud terkait dengan tiga perkara: akidah, tindakan (amal perbuatan), dan larangan. Seperti, ketika seseorang yang berakal sehat mencapai masa pubertas atau bāligh, baik melalui jalan mimpi basah bagi laki-laki (menstruasi pada wanita – penerj.) maupun melalui takaran usia, maka wajib baginya mempelajari dua kalimat syahadat, atau bersaksi bahwa Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Nabi serta utusan Allah. Sedangkan memahami makna dari perkara batiniah di seputar kesaksian tersebut tidak diwajibkan baginya. Dengan kata lain, siapa saja yang sudah bersaksi harus meyakininya, dengan tidak memperbincangkan apa saja yang belum dikuasainya, serta berusaha untuk menyingkirkan keraguan yang mendekati dirinya.

Periode pertama bagi hamba dalam kategori ini diperbolehkan untuk bertaqlid (924) dahulu kepada siapa (guru) yang diyakininya bisa untuk diikuti, tanpa harus mendiskusikan seputar dalil yang digunakan, cukup mendengarnya saja. Nabi s.a.w. pada periode pertama dalam dakwah beliau hanya mensyaratkan Islam dan Iman diterima serta diakui secara verbal oleh komunitas Arab kala itu, tanpa harus memahami dalilnya.(935) Apa yang diwajibkan atas mereka pada waktu itu sudah cukup jika telah dipenuhi kepatutannya. Sebab, pengetahuan tentang kewajiban yang harus dilakukan itu menjadi fardhu ‘ain atas diri mereka. Dan, jika mereka meninggal dunia setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka sudah cukup bagi mereka mati dalam kondisi taat kepada Allah ‘azza wa jalla, dengan tidak dianggap bermaksiat kepada-Nya.

Setelah itu, jika memasuki fase berikutnya; yaitu pada saat mempelajari seluruh unsur yang berkaitan dengan (di luar) kelima pilar Islam tersebut, maka fase yang dilalui sudah meningkat dari sebelumnya. Meski demikian, kewajiban lanjutan ini tidak berlaku bagi setiap orang yang menyatakan diri dengan dua kalimat syahadat. Kewajiban yang dibutuhkan bagi setiap orang hanyalah yang berhubungan dengan apa yang diperintahkan, apa yang dilarang, dan seputar urusan akidah (keyakinan, keimanan).

Berkenaan dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap Muslim adalah, seperti jika suatu hari seorang Muslim diberi kesempatan hidup sampai memasuki waktu shalat Zhuhur, maka diwajibkan baginya mengetahui terlebih dahulu bagaimana tata cara bersuci dan melakukan perintah shalat Zhuhur, lalu mewujudkan pengetahuan tersebut ke dalam tindakan nyata berupa pelaksanaan shalat. Kewajiban dimaksud datang seiring dengan terbukanya kesempatan bagi dirinya memasuki waktu dari perintah itu dilaksanakan (waktu Zhuhur). Hingga kesempatan yang ada harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Sebab, mendahulukan belajar atas masuknya waktu pelaksanaan shalat juga diwajibkan baginya. Atau, bisa juga dikatakan, kewajiban atas adanya ilmu mengenai pelaksanaan shalat menjadi syarat bagi dilaksanakannya amalan shalat itu sendiri; sesudah diwajibkan pelaksanaan atas amalan shalatnya. Dan, akan lebih utama jika mempelajari seputar bersuci serta pelaksanaan shalat Zhuhur itu sebelum matahari tergelincir (memasuki waktu Zhuhur) pada hari itu. Demikian pula tuntunan dimaksud berlaku pada pelaksanaan waktu shalat-shalat lainnya.

Jika seorang Muslim diberi kesempatan hidup hingga datang bulan Ramadhan kepadanya, maka bertambah pula kewajiban baginya mengetahui aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan di seputar puasa Ramadhan, lalu menjalankannya sesuai aturan yang telah ada. Seperti, menahan diri dari makan, minum, dan melakukan hubungan suami-istri sejak masuknya waktu Shubuh hingga datangnya waktu Maghrib; diikuti pula dengan niat untuk melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Kondisi serupa harus terus dilakukannya, sampai akhir masa bulan Ramadhan. Yaitu, saat ia telah menyaksikan datangnya bulan baru (tanggal 1 Syawwal), yang disaksikan oleh dua orang selain dirinya.

Apabila harta seorang Muslim bertambah satu memang ia adalah orang yang memiliki cukup harta ketika dewasa, maka diwajibkan pula baginya mempelajari ilmu tentang kewajiban berzakat. Akan tetapi, tidaklah diwajibkan menunaikan apa yang telah dipelajari, hingga terpenuhi seluruh unsur yang dibutuhkan bagi muzakki. (946) Jika harta yang dimiliki telah sampai satu tahun (ḥaul) (957) dari masa Islamnya, dan juga telah memenuhi nishab-nya (968), maka kewajiban tersebut (mempelajari dan mengamalkan zakat) baru dibebankan kepadanya. Seperti, jika ia mempunyai harta berupa unta, maka yang harus (wajib) diperlajari hanyalah zakat mengenai unta (kendaraan) saja. Begitu pula jika ia memiliki harta dari jenis lainnya.

Demikian pula dengan ibadah haji. Apabila datang bulan haji, tidaklah serta-merta diwajibkan seorang Muslim bersegera mempelajari pengetahuan di seputar pelaksanaan ibadah haji. Sebab, perintah mengerjakannya adalah dalam batasan yang ditentukan saja; bukan terhadap mereka yang belum memenuhi ketentuan yang telah digariskan-Nya. Dari itu, tidak diwajibkan mempelajarinya segera.

Akan tetapi, selayaknya bagi para ulama memperingatkan kepada setiap Muslim bahwa ibadah haji itu merupakan kewajiban yang juga dibebankan atas tiap-tiap orang yang memiliki perbekalan yang cukup dan tersedia kendaraan untuk menuju ke sana (Mekkah al-Mukarramah). Apabila seorang Muslim telah memiliki dan memenuhi persyaratan yang dibutuhkan, maka hendaklah ia menyegerakan diri mempelajari ilmu di seputar pelaksanaan ibadah haji dan segera pula menunaikannya (ibadah haji itu).

Dan, yang terpenting untuk segera dipelajari dan dipahami hanyalah seputar rukun serta wajib haji saja, selain sunnahnya. Sebab, dalam mengerjakan amalan yang disunnahkan, mempelajarinya pun adalah sesuatu yang bernilai sunnah pula. Oleh itu, tidak menjadi fardhu ‘ain mempelajari apa yang disunnahkan dalam rangkaian ibadah haji.

Di samping itu, dilarang berdiam diri dari memberitahukan atas kewajiban pokok dari pelaksanaan seluruh ibadah yang ada, termasuk di dalamnya ibadah haji, seperti yang banyak kita saksikan pada waktu sekarang. Dan, sudah seharusnya semua itu menjadi perhatian yang berimbang pada perkembangan ilmu fikih dewasa ini. Demikian pula halnya dengan kewajiban-kewajiban lain yang diperintahkan oleh Allah s.w.t., yaitu mengikat setiap kaum Muslim dalam aturan fardhu ‘ain.

Mengenai apa saja yang dilarang mengerjakannya, maka semua itu bergantung pada keadaan dan kejadian yang berlaku, serta bergantung pula pada konteksnya. Tidak wajib, misalnya, bagi seorang tuna rungu (bisu) mempelajari seluruh kalimat yang dilarang untuk mengucapkannya. Juga bagi penderita tuna netra, tidak diwajibkan mengetahui objek penglihatan mana saja yang terlarang (diharamkan) bagi mereka untuk disaksikan. Demikian pula atas diri penduduk dusun (pedalaman), maka tidaklah diwajibkan bagi mereka mempelajari tempat-tempat yang diharamkan untuk didatangi (dikunjungi). (979).

 

 

Catatan:


  1. 89). Takhrīj dari kedua riwayat hadits ini telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya – penerj. 
  2. 90). Fardhu ‘ain merupakan kewajiban yang telah Allah s.w.t. tetapkan kepada setiap hamba-Nya, yang pengamalannya tidak boleh diwakilkan kepada pihak lain, atau harus dilaksanakan oleh masing-masing individu – penerj. 
  3. 91). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun ‘alaih) dari hadis Ibnu ‘Umar r.a. 
  4. 92). Taqlīd adalah periode awal dalam beragama bagi pemula, dengan mengikuti apa saja yang diajarkan oleh guru yang diyakininya tidak akan pernah menyesatkan keyakinannya – penerj. 
  5. 93). Riwayat ini sangat dikenal dalam buku-buku Sīrah, juga kitab-kitab Hadits. Seperti dalam kitab Shaḥīḥ Muslim pada kisah Dhammam bin Tsa‘labah. 
  6. 94). Muzakki adalah subjek zakat yang telah memenuhi anasir sebagai yang berkewajiban mengeluarkan zakat – penerj. 
  7. 95). Ḥaul adalah masa satu tahun penuh (365 hari) bagi kepemilikan harta yang padanya dikenakan kewajiban menunaikan perintah zakat; tentunya jika telah memenuhi anasir lainnya dari kewajiban berzakat, yaitu mencapai nishab atau standar harta yang pada jumlahnya diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya – penerj. 
  8. 96). Nishab merupakan standar atau jumlah harta yang dikenakan wajib zakat atasnya – penerj. 
  9. 97). Seperti mendatangi tempat-tempat maksiat yang terdapat di wilayah perkotaan modern seperta sekarang ini – penerj.