Ihya Ulumiddin: Bahaya Debat dan Dampaknya bagi Akhlak

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Jilid 1.
Oleh: Imam al-Ghazali
Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

 

Bab Keempat


Bahaya Debat dan Dampaknya bagi Akhlak

Bahaya dan keburukan berikut ini lahir serta muncul dari perdebatan-perdebatan yang marak belakangan ini, dan dampaknya secara umum sungguh sangat merugikan akhlak kaum Muslim. Bahaya dan keburukan yang pertama adalah, bahwa dengan berdebat di seputar persoalan khilafiyah akan cenderung memunculkan sikap dengki di antara kaum Muslim yang tengah berdebat. Sebagaimana Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

الْحَسَدُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ.

Sikap dengki memakan amal kebaikan seorang hamba seperti api yang melumat kayu bakar.” (1731).

Seorang pendepat hampir tidak bisa terbebas dari rasa dengki dan benci terhadap lawan bicaranya. Rasa dengki itu ibarat api yang baranya masih (selalu) menyala. Orang yang terjerembab ke dalam perangkap rasa dengki akan mendapatkan dampak buruknya di alam dunia ini. Ibnu ‘Abbas r.a. perintah berkata: “Tuntutlah ilmu di mana pun ia berada, dan jangan pernah kalian bersikap taat kepada setan yang kegemarannya hanya bertengkar (berdebat).”

Bahaya dan keburukan yang kedua adalah, bahwa dengan berdebat di seputar persoalan khilafiyah akan cenderung memunculkan sikap takabur di antara kaum Muslim yang tengah berdebat. Sebagaimana Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

مَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ اللهُ وَ مَنْ تَوَاضَعَ رَفَعَهُ اللهُ.

Barang siapa takabur, Allah akan merendahkannya, dan barang siapa tawadhu‘ (merendahkan dirinya), Allah akan mengangkat derajatnya.” (1742)

Dalam sebuah hadits qudsi diriwayatkan, bahwa Allah s.w.t. pernah berfirman:

الْعَظَمَةُ إِزَارِيْ وَ الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِيْ فَمَنْ نَازَعَنِيْ فِيْهِمَا قَصَمْتُه.

Keagungan adalah jubah-Ku, dan kesombongan adalah busana-Ku. Aku akan membinasakan orang yang bertengkar (berdebat) dengan mengenakan salah satu dari kedua pakaian-Ku itu.” (1753).

Seorang Mu’min itu dilarang menjatuhkan diri dalam kehinaan, baik itu melalui sikap takabur dalam perdebatan ataupun tindakan hina lainnya. Sebagaimana Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

وَ أَنَّ الْمُؤْمِنَ مُنْهِيْ عَنِ الْإِذْلَالِ لِنَفْسِهِ.

Bahwa sesungguhnya seorang Mu’min itu tidak diperkenankan (dilarang) menjatuhkan dirinya sendiri dalam kehinaan (kerendahan).” (1764).

Bahaya dan keburukan yang ketiga adalah, bahwa dengan berdebat di seputar persoalan khilafiyah akan cenderung memunculkan sikap dendam di antara kaum Muslim yang tengah berdebat. Seorang pendebat jarang bisa terbebas dari keburukan dan kejahatan sikap dendam. Sebagaimana Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

الْمُؤْمِنُ لَيْسَ بِحُقُوْدٍ.

Seorang Mu’min itu adalah pribadi yang terbebas dari memiliki rasa dendam terhadap sesama.” (1775).

Bahaya dan keburukan yang keempat adalah, bahwa dengan berdebat di seputar persoalan khilafiyah akan cenderung memunculkan sikap mengumpat (ghibah) di antara kamu Muslim yang tengah berdebat. Dalam hal ini, Allah s.w.t. telah mengingatkan bahaya sikap ini dalam firman-Nya, bahwa sikap mengumpat (ghibah) itu laksana aktivitas memakan bangkai dari saudara sendiri yang telah meninggal dunia. (1786) Sebab, kecenderungan seorang pendebat akan mencari-cari dan mengungkapkan kebodohan, kelemahan, kekurangan serta ketidaktahuan lawan bicaranya.

Bahaya dan keburukan yang kelima adalah, bahwa dengan berdebat di seputar persoalan khilafiyah akan cenderung memunculkan sikap mengklaim diri sendiri suci di antara kaum Muslim yang tengah berdebat. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah s.w.t. dalam firman-Nya:

فَلَا تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بمَنِ اتَّقَى.

Janganlah kalian menyatakan diri kalian suci. Sebab sesungguhnya hanya Allah yang paling mengetahui siapa orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (an-Najm [53]: 32).

Bahaya dan keburukan yang keenam adalah, bahwa dengan berdebat di seputar persoalan khilafiyah akan cenderung memunculkan sikap mencari-cari kelemahan lawan di antara kaum Muslim yang tengah berdebat. Sebagaimana Allah s.w.t. berfirman:

وَ لَا تَجَسَّسُوْا.

Janganlah kalian mengintip dan memata-matai – kelemahan orang lain,….” (al-Hujurat [49]: 12).

Bahaya dan keburukan yang ketujuh adalah, bahwa dengan berdebat di seputar persoalan khilafiyah akan cenderung memunculkan sikap nifaq (munafik) di antara kaum Muslim yang tengah berdebat. Seorang pendebat mengungkapkan sikap bersahabatnya dengan lawan hanya secara lahiriah, akan tetapi jauh di dasar sanubari ia memendam kebencian kepada lawan debatnya. Sebagaimana Nabi s.a.w. pernah mengingatkan dalam sabda beliau:

إِذَا تَعَلَّمَ النَّاسُ الْعِلْمَ وَ تَرَكُوْا الْعَمَلَ وَ تَحَابُّوْا بِالْأَلْسُنِ وَ تَبَاغَضُوْا بِالْقُلُوْبِ وَ تَقَاطَعُوْا فِي الْأَرْحَامِ لَعَنَهُمُ اللهُ عِنْدَ ذلِكَ فَأَصَمَّهُمْ وَ أَعْمَى أَبْصَارَهُمْ.

Ketika seorang ‘alim tidak menerapkan ilmu yang didapatnya ke dalam amal dan perilaku sehari-hari, sama artinya dengan ia mengungkapkan rasa cinta kepada kekasihnya (orang lain) dengan lisan, akan tetapi memelihara kebencian di dalam qalbunya, atau sama saja dengan ia telah memutuskan tali silaturrahim, hingga Allah ‘azza wa jalla akan mengutuknya, membuat lidahnya kelu, dan tertutup mata batinnya.” (1797).

Bahaya dan keburukan yang kedelapan adalah, bahwa dengan berdebat di seputar persoalan khilaifiyah akan cenderung memunculkan sikap menolak kebenaran di antara kaum Muslim yang tengah berdebat. Salah satu yang paling dibenci oleh Allah s.w.t. pada diri pendebat adalah, menolak kebenaran yang keluar dari mulut lawan bicaranya. Dan, karena itulah ia menolak kebenaran yang disampaikan; jika perlu dengan menipu dan berkhianat. Sebagaimana Rasulullah s.a.w. telah melarang perdebatan, bahkan sekadar perbincangan yang mengarah ke sana (perdebatan), mengenai urusan yang tidak bermanfaat (persoalan khilafiyah). Beliau bersabda:

مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَ هُوَ مُبْطِلٌ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِيْ رَبَضِ الْجَنَّةِ، وَ مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَ هُوَ مُحِقٌّ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِيْ أَعْلَى الْجَنَّةِ.

Siapa saja yang meninggalkan perdebatan, sedangkan berada pada posisi yang batil (keliru), maka Allah akan membangungkan baginya sebuah rumah di perkampungan surga. Dan siapa saja yang meninggalkan perdebatan sedangkan berada pada posisi yang haq (benar), maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga yang tertinggi.” (1808).

Allah s.w.t. telah berfirman:

وَ مَنْ أَظَلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ.

Siapakah yang lebih besar kesalahannya daripada orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan mendustakan kebenaran ketika kebenaran itu datang kepadanya?” (al-‘Ankabut [29]: 68).

Pada surah yang lain Allah s.w.t. juga berfirman:

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَبَ عَلَى اللهِ وَ كَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءَهُ.

Siapakah yang lebih besar kesalahannya daripada orang yang berdusta terhadap Allah, dan mendustakan kebenaran tatkala ia datang kepadanya?” (az-Zumar [39]: 33).

Bahaya dan keburukan yang kesembilan adalah, bahwa dengan berdebat di seputar persoalan khilafiyah akan cenderung memunculkan sikap riya’ di antara kamu Muslim yang tengah berdebat. Di antara sifat-sifat jelek perdebatan adalah riya’ (pamer) dan ‘ujub (menyanjung diri sendiri) di hadapan orang lain dalam usaha menarik serta menyesatkan mereka. Riya’ atau ‘ujub adalah penyakit terbesar yang menyebabkan pendapat dicela, dan riya’ termasuk ke dalam kategori dosa besar.

Bahaya dan keburukan yang kesepuluh adalah, bahwa dengan berdebat di seputar persoalan khilafiyah akan cenderung memunculkan sikap menipu (memperdaya) di antara kaum Muslim yang tengah berdebat. Para pendebat terpaksa menipu atau memperdaya lawan debatnya agar memenangkan perdebatan yang tengah mereka lakukan.

Sepuluh keburukan tersebut adalah dosa besar namun tersembunyi, yang diakibatkan oleh perdebatan dan pertengkaran dengan sesama. Di samping berbagai bentuk keburukan yang sudah saya sebutkan tadi, perdebatan dan pertengkaran banyak melahirkan dosa kecil lainnya, yang timbul akibat kontroversi-kontroversi yang kemudian saling mengait antara satu dengan lainnya, hingga memunculkan sikap menyerang, saling pukul, saling merusak, dan lain sebagainya.

Pahamilah, bahwa pada saat kita mengklasifikasikan (mengelompokkan) akhlak yang terburuk dalam tuntunan ajaran Islam, maka akan kita dapati semua itu terkumpul dalam sikap-sikap tercela; seperti dalam memperbincangkan urusan khilafiyah yang sama sekali tidak berguna bagi kemaslahatan umat. Sebab, mencari keridhaan manusia sama artinya dengan menduakan Allah s.w.t., dan itu termasuk kategori berbuat atau melakukan dosa yang tidak terampuni (dosa besar). Jadi, siapa saja yang menuntut ilmu bukan untuk tujuan mengharapkan keridhaan Allah s.w.t. dan kebahagiaan negeri akhirat, maka ilmu yang didapat menjadi sia-sia bagi pemiliknya. Berkaitan dengan masalah ini, Nabi s.a.w. pernah bersabda: “Hamba yang sangat menderita dengan ditimpa azab (siksa) pada Hari Berbangkit nanti adalah; siapa yang memiliki ilmu, yang ilmu itu sama sekali tidak mendatangkan manfaat bagi pemiliknya.” (1819).

Nabi s.a.w. juga pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ لَيُؤَيِّدُ هذَا الدِّيْنَ بِأَقْوَامٍ لَا خَلَاقَ لَهُمْ

Sesungguhnya Allah hendak menguatkan agama ini dengan adanya kaum (orang-orang) yang tidak berbudi.” (18210).

Dan, Nabi s.a.w. pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ لَيُؤَيِّدُ هذَا الدِّيْنَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ.

Sesungguhnya Allah hendak menguatkan agama ini dengan adanya orang-orang yang zhalim.” (18311).

Oleh karena itu ketahuilah, bahwa ada tiga kelompok ulama. Kelompok pertama adalah ulama yang menghancurkan diri mereka sendiri dan juga merusak orang lain. Kelompok kedua adalah ulama yang memberi manfaat bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain. Ulama yang demikian ini akan menyeru manusia kepada kebaikan. Sedangkan kelompok ketiga adalah ulama yang membawa kehancuran bagi dirinya sendiri, akan tetapi justru memberi manfaat bagi orang lain.

Catatan:


  1. 173). Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari hadis Abi Hurairah r.a. Sedangkan Imam Bukhari tidak membenarkan riwayat dari jalur ini. Riwayat yang sama juga disampaikan oleh Ibnu Majah dari hadis Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu, dengan isnād lemah (dha‘īf). Juga terdapat dalam Tārīkh Baghdādī, dengan isnād ḥasan. 
  2. 174). Diriwayatkan oleh Imam al-Khathib dari hadis ‘Umar ibn-ul-Khaththab r.a., dengan isnād shaḥīḥ. Dikatakan pula, bahwa statusnya gharīb dari jalur ats-Tsauri. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dengan redaksi yang berbeda dari hadis Abi Sa‘id al-Khudri r.a., dengan sanad ḥasan. 
  3. 175). Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari hadis Abu Hurairah r.a. Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dengan redaksi yang sedikit berbeda, dari hadis Abu Hurairah dan Abu Sa‘id al-Khudri r.a. 
  4. 176). Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, dan beliau men-shaḥīḥ-kannya. Diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Majah dari hadis Hudzaifah r.a. dengan redaksi yang sedikit berbeda. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, bahwa status riwayat ini adalah shaḥīḥ. Sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Albani dalam Shaḥīḥ-ul-Jāmi‘, hadis nomor 7797. Juga dalam ash-Shaḥīḥah, hadis nomor 615. 
  5. 177). Takhrīj (sumber asal) dari hadis ini tidak saya (muḥaqqiq) temukan. 
  6. 178). Lihat lebih lanjut penjelasannya dalam firman Allah s.w.t. pada surah al-Hujurāt [49]: 12. 
  7. 179). Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dari hadis Salman al-Farisi r.a., dengan isnād yang lemah (dha‘īf). 
  8. 180). Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadis Anas bin Malik r.a., dengan sejumlah catatan. Imam at-Tirmidzi berpendapat, statusnya adalah ḥasan. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, bahwa riwayat ini tanpa keraguan dikeluarkan oleh Imam at-Tirmidzi, Jilid 4, hadis nomor 1993. Juga oleh Ibnu Majah, Jilid 1, hadis nomor 51, dengan redaksi: “Siapa saja yang meninggalkan perkataan dusta, sedangkan ia dalam kondisi keliru (terpojok dalam suatu diskusi), maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di pinggiran surga…” Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh kami Nashiruddin al-Albani dari hadis Anas bin Malik r.a. dengan redaksi dimaksud dengan status munkar (menyendiri dalam periwayatkannya, dan banyak catatan pada perawinya, bukan akibat dusta – penerj.). Lihat lebih lanjut dalam adh-Dha‘īfah, hadis nomor 1056. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, bahwa riwayat ini diperkuat dengan banyaknya jalur periwayatan, seperti oleh Abu Dawud, Jilid 4, hadis nomor 4800, dari hadis Abu Umamah dengan redaksi: “Aku (Allah) akan membangunkan sebuah rumah di perkampungan surga bagi siapa yang meninggalkan perdebatan, meski ia dalam posisi yang benar. Aku (Allah) akan membangunkan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang menjauhi perkataan dusta dalam perdebatan yang dilakukan, meski sebenarnya ia berada dalam posisi yang diuntungkan dengan dustanya. Dan, Aku (Allah) akan membangunkan sebuah rumah di surga pada tingkatan tertinggi bagi siapa yang mengutamakan akhlak yang mulia dalam perdebatan.” Imam al-Albani mengomentari riwayat hadis ini dengan memberinya status ḥasan. Lihat lebih lanjut dalam ash-Shaḥīḥah, hadis nomor 273. 
  9. 181). Riwayat ini lemah sekali (dha‘īf jiddan), sebagaimana disebutkan oleh al-Albani dalam Dha‘īf-ul-Jāmi‘, hadis nomor 968, dari hadis Abu Hurairah r.a. 
  10. 182). Diriwayat oleh Imam an-Nasa’i dari hadis Anas bin Malik r.a., dengan isnād shaḥīḥ. 
  11. 183). Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun ‘alaih), dari hadis Abu Hurairah r.a. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *