Bab Kelima
Adab (Aturan) Guru dan Murid
“Mengenai adab (aturan) yang semestinya dijalankan oleh seorang guru dan juga muridnya.”
Adab Seorang Murid
Adab atau aturan bagi seorang murid terdiri dari sepuluh jenis. Kewajiban pertama atas adab seorang murid adalah, tetap menjaga diri dari kebiasaan yang merendahkan akhlak serta perilaku tercela lainnya. Usaha untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan lainnya adalah melalui amalan jiwa. Yaitu, mengutamakan kesucian jiwa dari akhlak yang tercela. Adapun ilmu membersihkan kotoran jiwa yang tersembunyi mampu menuntun murid kepada Sang Maha Pencipta, s.w.t. Seperti shalat, kewajiban ini dikerjakan oleh organ lahiriah – demikian pula dengan ibadah jiwa lainnya – di mana sumber untuk memperoleh ilmu tersebut tidak dapat dicapai tanpa menyingkirkan kebiasaan-kebiasaan buruk dan sifat-sifat tercela yang mengitarinya. Dalam hal ini, Rasulullah s.a.w. pernah mengingatkan melalui sabdanya:
بُنِيَ الدِّيْنُ عَلَى النِّظَافَةِ
“Agama ini ditegakkan atas kesucian.” (1841).
Oleh karena itu, kesucian lahir maupun batin sungguh sangat dibutuhkan oleh siapa saja yang menguku dirinya Mu’min. Sebagaimana Allah s.w.t. berfirman:
إِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrik) itu najis (tidak suci).” (at-Taubah [9]: 28).
Dari sini dapat kita pahami, bahwa suci dari najis bukan hanya secara lahiriah saja harus kita perhatikan. Sebab, orang-orang musyrik juga menjaga pakaian dan kondisi fisik mereka agar tetap terlihat bersih. Namun, disebabkan jiwa mereka yang terlanjur kotor, maka seluruh fisik mereka dianggap najis (kotor) pula. Dalam aturan Islam, kebersihan batin menduduki posisi yang jauh lebih penting ketimbang kebersihan lahir. Oleh karena itu, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بِيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ.
“Malaikat – rahmah, kasih sayang – tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya memelihara anjing.” (1852).
Jiwa ibarat rumah, tempat tinggal bagi para malaikat, dan sekaligus tempat mereka bergerak memantau perilaku manusia. Sifat-sifat tercela seperti marah, nafsu, dendam, dengki, takabur, ‘ujub dan sebagainya digambarkan seperti najis pada anjing. Jika najis bersemayam dalam jiwa seseorang, maka adakah lagi tempat bagi para malaikat itu? Allah s.w.t. menuangkan rahasia ilmu ke dalam jiwa manusia melalui para malaikat yang bertugas menjaganya. Dan, para malaikat itu tidak akan menanamkan rahasia ilmu kecuali ke dalam jiwa yang bersih, sanubari nan suci. Sebagaimana Allah s.w.t. telah berfirman:
وَ مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ.
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dirinya kecuali dengan perantaraan wahyu, atau di belakang tabir, (1863) atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat), lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.” (asy-Syūrā [42]: 51)
Wujud lahir dalam pandangan dunia ini mengalahkan makna batin yang tersembunyi. Sedangkan di akhirat kelak adalah sebaliknya, makna batinlah yang lebih berkuasa ketimbang aktivitas lahir ketika di alam dunia. Oleh karena itu, masing-masing hamba akan dibangkitkan sesuai dengan wujud yang sesungguhnya. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah riwayat: “Manusia yang gemar melucuti kehormatan orang lain, maka di alam akhirat kelak ia akan dibangkitkan menyerupai seekor anjing yang menyalak. Sedangkan manusia yang ketika hidup di alam dunia suka mengambil harta milik orang lain melalui cara-cara yang tidak dibenarkan, maka kelak di alam akhirat akan dibangkitkan seperti seekor srigala yang sangat buas. Adapun bagi manusia yang ketika hidup di alam dunia suka menyombongkan diri di hadapan manusia lain, niscaya pada Hari Berbangkit nanti akan dihidupkan kembali seperti seekor harimau yang ganas. Dan, bagi siapa saja yang pada saat berada di alam dunia menghalalkan segala cara demi pangkat maupun jabatan, maka di alam akhirat kelak akan dibangkitkan seperti seekor singa yang mengaum-aum menanti mangsanya.” (1874).
Ibnu Mas‘ud r.a. berkata: “Ilmu batin tidak mungkin diraih hanya dengan melalui cara banyak mempelajarinya. Ilmu batin (jiwa) adalah cahaya Allah s.w.t. yang sengaja dipancarkan ke dalam dada manusia. Oleh karena itu, ilmu seseorang tidak dapat diukur dari banyaknya ia meriwayatkan hadis. Akan tetapi, sesungguhnya ilmu itu lebih merupakan cahaya yang terpancar dari relung qalbu pemiliknya.”
Sebagian dari para pencari (penempuh jalan) kebenaran mengatakan: “Kami pernah menuntut ilmu bukan dengan niatan karena Allah s.w.t., hingga ilmu itu menolak kami pelajari terasa berat, hingga kami tidak bisa menemukan hakikat yang terkandung di dalamnya. Dan yang kami dapatkan hanya sekedar cerita serta berbagai bentuk ungkapan semata.”
Seorang ahli hikmah berkata: “Ilmu adalah cerminan dari sikap takwa seorang hamba kepada Allah s.w.t. Sebab, Allah sendiri telah berfirman di dalam al-Qur’an:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ.
“Sesungguhnya yang paling takut (bertakwa) kepada Allah di antara hamba-hambaKu adalah para ulama.” (Fāthir [35]: 28).
Kewajiban kedua atas adab seorang murid adalah, mengurangi keterpautannya kepada urusan duniawi dan berusaha mencari tempat yang berbeda dari lingkungan keluarga serta kerabat dekatnya. Sebab, ilmu tidak mungkin diperoleh di lingkungan yang kurang atau tidak kondusif. Dan, hendaknya mengurangi berbagai ketergantungan yang ada pada qalbu, serta sebisa mungkin berhijrah, supaya qalbu bisa terfokus pada ilmu. Karena alasan itu, Allah s.w.t. berfirman:
مَا جَعَلَ اللهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِيْ جَوْفِهِ.
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua jiwa dalam rongga dadanya.” (al-Aḥzāb [33]: 4).
Dan, disebabkan alasan itu pula seorang ahli hikmah pernah berkata: “Seluruh bagian ilmu tidak akan diberikan kepada kalian, sampai kalian mampu menundukkan seluruh jiwa kalian secara utuh kepadanya (mengabdi untuk ilmu). Dengan kata lain, bahwa ilmu tidak akan memberimu walau sebagiannya saja, sampai engkau memberikan dirimu utuh kepadanya.”
Kewajiban ketiga atas adab seorang murid adalah, bersikap tawadhu‘ atau tidak meninggikan diri di hadapan gurunya. Seorang murid seharusnya mempercayakan segala urusan keilmuannya kepada sang guru, dan tunduk kepada segala aturan yang telah diberikan, seperti pasien yang patuh kepada nasihat dokter pribadinya jika ingin segera sembuh dari sakit yang tengah diderita.
Asy-Sya‘bi meriwayatkan sebuah kisah: “Suatu ketika Zaid bin Tsabit r.a. melaksanakan shalat jenazah. Setelah selesai melaksanakan shalat tersebut, segera Ibnu ‘Abbas r.a. mendekatkan tali kekang pada bighal (1885) miliknya untuk dikendarai. Menyaksikan sikap Ibnu ‘Abbas, Zaid pun berkata: “Tidak usah wahai anak paman Rasulullah.” Ibnu ‘Abbas pun menyahut: “Beginilah cara yang diperintahkan kepada kami untuk menghormati para ulama dan orang-orang mulia.” Mendapati ucapan itu, Zaid bin Tsabit pun segera memegang dan mencium telapak tangan Ibnu ‘Abbas sambil mengatakan: “Seperti inilah aturan (adab) yang diperintahkan kepada kami oleh Rasulullah s.a.w. untuk memperlakukan keluarga dekat beliau.” (1896).
Sebagaimana Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:
لَيْسَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِ التَّمَلُّقُ إِلَّا فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ.
“Bukan merupakan kebiasaan (adab) seorang Mu’min dengan merendahkan diri di hadapan orang lain; kecuali pada saat sedang menuntut ilmu (belajar).” (1907).
Ilmu dan hikmah merupakan harta milik kaum Mu’min yang hilang. Oleh karena itu, setiap kita harus bisa menemukannya di mana saja kita bisa meraihnya. Dan, ucapkan terima kasih kepada siapa saja yang sudi membawakannya ke hadapan kita. Dikatakan dalam sebuah sya‘ir:
“Ilmu dan hikmah sama artinya dengan perjuangan,
Yang dilakukan oleh pemuda berkeinginan mulia.
Layaknya air bah (banjir) yang tengah berjuang,
Menemukan tempat menuju hilir.”
Penya‘ir lainnya mengatakan:
“Ilmu itu enggan menyambut pemuda yang sombong,
Laksana banjir yang malas mencapai tempat yang tinggi.”
Ilmu tidak akan dapat diraih kecuali dengan kesederhanaan dan kerendahan jiwa pencarinya. Sebagaimana Allah s.w.t. telah berfirman:
إِنَّ فِيْ ذلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَ هُوَ شَهِيْدٌ.
“Sesungguhnya hal demikian itu menjadi peringatan bagi siapa yang mempunyai qalbu atau mau menggunakan pendengarannya, sementara ia menjadi saksi.” (Qāf [50]: 37).
Makna “mempunyai qalbu” adalah jiwa yang mantap dalam menerima ilmu dan qalbu yang siap untuk memahami ilmu. Apa saja yang disampaikan dan dianjurkan oleh guru, maka murid harus mengikutinya, dan mengesampingkan pendapatnya sendiri. Para murid hanya boleh bertanya perihal perkara yang diizinkan oleh gurunya; pada saat proses belajar mengajar tengah dilaksanakan. Dalam hal ini, ada contoh yang telah dikisahkan oleh Allah s.w.t. dalam al-Qur’an, yaitu kisah tentang Nabi Musa dan Nabi Khidhir a.s. Nabi Khidhir berkata kepada Nabi Musa:
إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا. وَ كَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا.
“Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana engkau dapat sabar atas sesuatu, yang engkau sendiri belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (al-Kahfi [18]: 67-68).
Setelah itu, Nabi Khidhir a.s. memberikan satu persyaratan kepada Nabi Musa a.s.: “Engkau tidak boleh bertanya tentang apa yang aku lakukan.” Sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya s.w.t.:
فَإِنِ اتَّبَعْتَنِيْ فَلَا تَسْأَلْنِيْ عَنْ شَيْءٍ حَتِّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا.
“Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri yang akan menerangkannya kepadamu.” (al-Kahfi [18]: 70).
Namun, kemudian diungkap dalam al-Qur’an, pada penjelasan ayat berikutnya, bahwa persyaratan yang diajukan oleh Nabi Khidhir ternyata tidak dipatuhi oleh Nabi Musa. Sebab, Nabi Musa masih juga mengajukan pertanyaan kepada Nabi Khidhir. Dan, karena itu pula Nabi Khidhir memutuskan untuk berpisah dengan Nabi Musa.
Jika ditanyakan, mengapa kita diperintahkan untuk bertanya manakala kita tidak mengetahui atas sesuatu, sebagaimana difirmankan oleh Allah s.w.t. sendiri dalam al-Qur’an:
فَسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ.
“Maka bertanyalah kalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl [16]: 43).
Jawaban yang dapat diberikan atas pertanyaan tersebut adalah, diperolehkan seorang murid bertanya kepada gurunya jika pertanyaan yang tersedia diperintahkan oleh sang guru yang mengajar untuk dipertanyakan. Sebab, semua itu berkaitan erat dengan sampainya murid atas materi bahasan yang tengah diajarkan, atau dikhawatirkan sang murid belum sampai pada materi bahasan yang diajukan pertanyaan atasnya. Dan, ini akan menjadikan kendala tersendiri dalam penyerapan pelajaran yang diberikan kepada murid.
Kewajiban keempat atas adab seorang murid adalah, mula-mula berusaha dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk tidak mencari-cari perselisihan di antara sesama manusia. Karena, hal itu dapat menimbulkan kegelisahan dan penderitaan bagi jiwa. Diawali jiwa akan cenderung pada semua yang masuk melalui pendengaran, terlebih hal-hal yang dapat menimbulkan rasa malas dan enggan untuk berbuat sesuatu. Oleh karena itu, bagi para penuntut ilmu yang masih berada pada barisan pemula, tidak dianjurkan mengikuti perbuatan orang-orang yang memiliki sifat pemalas. Sampai-sampai, ada ungkapan yang mengatakan: “Siapa yang memperhatikan kami (guru) pada tingkat permulaan (al-bidāyah), maka ia adalah teman di dalam mencari kebenaran. Dan, siapa yang memperhatikan kami hanya pada saat-saat terakhir saja (an-nihāyah), maka ia laksana seorang zindiq dalam usaha menuntut ilmu serta kebenaran.”
Sudah seharusnya seorang murid tidak terlalu memberikan perhatian pada perbedaan antara ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi. Sebab, semua itu potensial mengotori jiwanya, dan ia bisa kehilangan gairah mempelajari ilmu. Jangan lupa, seorang murid harus senantiasa mengindahkan ucapan gurunya, dan tidak boleh mempermasalahkan berbagai madzhab atau sekte yang berkembang. Sebab, pada saat seseorang hanya mementingkan yang akhir saja (ujung) dari suatu amalan, niscaya anggota tubuh mereka terlatih untuk menjadi malas beraktivitas secara utuh, kecuali hanya melakukan hal-hal yang difardhukan saja. Mereka mengganti amalan-amalan sunah hanya dengan gerakan-gerakan qalbu, dan kesaksian yang cenderung melalaikan. Sedangkan murid yang lalai itu cenderung bermalas-malasan serta bersikap santai.
Ada satu ungkapan yang menyatakan, bahwa tidak layak seorang tuna netra (buta) menjadi penunjuk jalan bagi para tuna netra lainnya. Demikianlah seharusnya adab seorang murid dalam bersikap. Murid tidak layak berperilaku seperti seorang guru. Oleh karena itu, diperbolehkan atas Nabi s.a.w. apa yang belum tentu diperbolehkan bagi umat beliau. Sebab, kekuatan sikap adil yang beliau miliki mendapatkan naungan dan bimbingan secara langsung dari sisi Allah s.w.t. seperti, izin atas diri Nabi s.a.w. menikahi istri lebih dari sembilan (1918) wanita.” (1929).
Kewajiban kelima atas adab seorang murid adalah, seorang murid tidak boleh meninggalkan satu cabang ilmu pun. Ia harus berusaha menjadi ahli dalam berbagai cabang ilmu. Sebab, setiap cabang ilmu saling membantu dan sebagian cabang ilmu itu saling berhubungan erat. Jika seorang murid tidak mendapatkan sesuatu, maka acapkali sesuatu itu dimusuhinya. Dengan kata lain, setiap disiplin ilmu yang terpuji harus terus ditekuni, sampai terlihat dengan jelas tujuan atau hasilnya. Jika seseorang memiliki kesempatan yang memadai, maka ia dituntut untuk menyempurnakan di dalam mempelajarinya (ilmu yang terpuji). Kalau tidak, maka ia pilih saja yang terpenting dari ilmu yang tersedia. Menjatuhkan pilihan pada yang paling penting itu dilakukan setelah mengamati keseluruhannya terlebih dahulu. Sebagaimana Allah s.w.t. berfirman:
وَ إِذْ لَمْ يَهْتَدُوْا بِهِ فَسَيَقُوْلُوْنَ هذَا إِفْكٌ قَدِيْمٌ.
“Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama.”” (al-Ahqāf [46]: 11).
Seorang penya‘ir mengatakan:
“Makanan manis yang dimasukkan ke mulut seorang pasien
Akan terasa hambar baginya seperti tanpa rasa.”
Kecerdasan seseorang menentukan hasil perolehan ilmu yang baik. Ilmu yang baik menuntun manusia kepada Allah s.w.t., atau menolong manusia untuk menjalani dengan baik kehidupannya di dunia. Setiap cabang ilmu telah mendapatkan kedudukannya yang tetap. Siapa saja yang mengawal ilmu, ia dapat diibaratkan seperti petugas berpakaian dinas yang selalu berjaga di daerah terdepan perbatasan. Setiap orang mendapatkan derajat tertentu di dalam pencariannya, dan setiap orang mendapatkan balasan di akhirat sesuai dengan derajat yang didapatnya pada saat mencari ilmu. Satu-satunya syarat yang dibutuhkan, yaitu objek pencarian ilmu haruslah diridhai oleh Allah s.w.t.
Kewajiban keenam atas adab seorang murid adalah, ia tidak boleh mempelajari atau mendalami beberapa atau semua cabang ilmu pada suatu waktu secara bersamaan. Ia harus mempelajari lebih dahulu ilmu yang terpenting bagi kehidupannya, karena hidup tidak cukup untuk menguasai semua cabang ilmu. Seorang murid harus memfokuskan perhatian terhadap ilmu yang paling penting di antara ilmu-ilmu yang ada; yakni ilmu mengenai urusan akhirat. Yang kami maksudkan di sini ialah, bagian mu‘āmalah dan mukāsyafah. Sebab, mu‘āmalah itu akan menuju kepada mukāsyafah. Sedangkan mukāsyafah ialah bentuk pengenalan kepada Allah s.w.t. melalui cahaya yang disematkan oleh-Nya pada qalbu yang bersih, akibat proses ibadah serta mujāhadah. (19310) Di mana, hal itu akan berujung pada tingkatan (derajat) keimanan seseorang. Seperti pada diri Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., sebagaimana dinyatakan dalam sebuah riwayat: “Seandainya keimanan penduduk bumi ini ditimbang dengan keimanan yang dimiliki oleh Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., niscaya keimanan Abu Bakar masih lebih berat.” (19411).
Hal itu lebih disebabkan adanya “rahasia” yang menetap di dalam jiwa Abu Bakar, bukan karena pengajuan bukti-bukti tentang jatidirinya atau berbagai argumentasi yang pernah ia sampaikan. Sangat mengherankan sikap seseorang yang telah mendengar sabda dari Rasulullah s.a.w., sebagaimana yang saya sebutkan di atas, namun ia justru cenderung untuk meremehkan ucapan “ala sufi” yang didengarnya. Ia bahkan menganggap, bahwa hal itu merupakan rangkaian kebatilan yang sengaja diembuskan oleh kalangan sufi. Berhati-hatilah dalam menyikapi masalah ini. Karena, hal tersebut dapat menyia-nyiakan sesuatu yang pokok (utama) dalam diri anda. Berusahalah dengan sekuat tenaga untuk memahami rahasia yang terkandung dalam ilmu para ahli fikih dan mutakallimun (penyampai kebenaran) lainnya. Dan jangan melakukannya, kecuali karena anda ingin mencari kebenaran tentangnya.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ilmu yang sangat mulia dan paling puncak itu adalah mengenal Allah s.w.t. Inilah samudera yang dasarnya sangat sulit untuk dijangkau. Yang karenanya, derajat manusia termulia terletak pada diri para nabi a.s., kemudian para wali, dan seterusnya.
Sebagaimana diceritakan mengenai dua orang bijak yang sama-sama rajin beribadah, di mana terlihat pada tangan salah seorang dari mereka memegang secarik kain yang bertuliskan: “Jika engkau berbuat baik dalam segala hal, maka janganlah engkau mengira bahwa engkau telah berbuat baik terhadap segala sesuatu, sebelum engkau mengenal Allah s.w.t., dan meyakini Dia-lah yang membuat sebab serta yang mewujudkan segala sesuatu itu.”
Sedangkan di tangan orang bijak lainnya juga memegang secarik kain yang bertuliskan: “Sebelum aku mengenal Allah s.w.t., setelah meminum seteguk air aku merasakan haus kembali. Dan setelah mengenal-Nya, aku mampu merasakan kesegaran tanpa harus meminum apa pun.”
Sedikit ilmu, jika itu didapat melalui semangat dan gairah, maka in sya’ Allah akan menyempurnakan ilmu ukhrawi. Tujuan kita dengan pengetahuan ini bukan agar kepercayaan itu diwariskan dari generasi ke generasi. Tujuan kita dengan pengetahuan ini adalah untuk mendapatkan cahaya yang memancar dari kepercayaan yang Allah s.w.t. tanamkan dalam jiwa kita. Jadi, ilmu yang tertinggi dan termulia adalah ilmu mengenal Allah, atau ma‘rifatullāh.
Kewajiban ketujuh atas adab seorang murid adalah, ia tidak boleh mendalami cabang ilmu baru, hingga ia menguasai dengan baik cabang ilmu sebelumnya. Sebab, biasanya itu merupakan persyaratan utama bagi pengetahuan yang baru tersebut. Satu cabang ilmu umumnya menjadi pengantar dan penuntun bagi cabang berikutnya.
Allah s.w.t. berfirman:
الَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُوْنَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ.
“Orang-orang yang telah Kami (Allah) berikan al-Kitab (al-Qur’an) kepada mereka, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya.” (al-Baqarah [2]: 121).
Seorang murid hendaknya menuntut ilmu untuk tujuan menghiasi batin dengan sifat-sifat yang dapat mengantarkan hamba ke hadirat Allah s.w.t., dan berada pada posisi para malaikat yang selalu bersanding di dekat-Nya. Jadi, bukan untuk memperoleh kekuasaan, harta dan kedudukan duniawi. Dengan kata lain, seorang murid tidak akan mempelajari secara mendalam satu ilmu, sebelum ia mampu menguasai ilmu pendahuluannya. Sebagaimana Imam ‘Ali r.a. pernah berkata: “Kalian tidak akan mampu memahami kebenaran, sampai kalian menjadi orang (murid) yang menguasai kebenaran.”
Kewajiban kedelapan atas adab seorang murid adalah, mengetahui sebab-sebab mengapa ilmu itu disebut sesuatu yang sangat mulia. Suatu ilmu dapat dikenali dari dua sisi, kemuliaan buah atau hasilnya, dan keotentikan serta kekuatan prinsip yang dimilikinya. Sebagai contoh, ilmu agama dan ilmu kedokteran. Buah dari ilmu agama adalah mendapatkan kehidupan yang kekal. Sedangkan buah dari ilmu kedokteran adalah memperoleh kehidupan sementara (status sosial) di dunia. Dari sudut pandang ini, ilmu agama lebih mulia ketimbang ilmu kedokteran. Sebab, hasilnya jauh lebih mulia dan lebih kekal. Contoh lainnya adalah, ilmu matematika dan ilmu astrologi. Ilmu matematika lebih mulia disebabkan dasar-dasarnya yang lebih otentik, argumentatif, dan pasti.
Dari sini tampak jelas, bahwa ilmu dengan buah berupa mengenal Allah s.w.t., para malaikat-Nya, kitab-kitabNya, dan para Rasul-Nya merupakan ilmu yang sangat mulia. Demikian pula cabang-cabang dari ilmu penunjangnya.
Kewajiban kesembilan atas adab seorang murid adalah, mempercantik jiwa dan tindakan dengan kebajikan. Semua itu untuk tujuan menggapai kedekatan dengan Allah s.w.t. dan para malaikat-Nya, serta bersahabat dengan orang-orang yang dekat dengan Allah s.w.t. Tujuan hidup seorang murid seharusnya bukan untuk memperoleh kemilaunya urusan dunia, menumpuk harta dan kekayaan, berdebat dengan mereka yang jahil, serta memamerkan keangkuhan dan kesombongan. Seorang murid yang berusaha untuk memperoleh kedekatan dengan Allah s.w.t. seharusnya mencari ilmu yang dapat menolong dirinya mencapai tujuan dimaksud, yaitu: ilmu tentang akhirat dan ilmu-ilmu yang menjadi penunjangnya. Sebagaimana Allah s.w.t. berfirman:
يَرْفَعُ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (al-Mujādilah [58]: 11).
Juga pada firman Allah s.w.t.:
هُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ اللهِ.
“[Kedudukan] mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah.” (Āli ‘Imrān [3]: 163).
Dengan kata lain, derajat orang beriman itu bertingkat-tingkat dalam pandangan Allah s.w.t. Sebagian lebih rendah, dan sebagian lainnya lebih tinggi. Derajat tertinggi atas keimanan seorang hamba dimiliki oleh para Nabi, kemudian para wali, lalu para ulama yang mengamalkan ilmunya dalam kebenaran, dan kemudian orang-orang shalih yang mengikuti mereka (para ulama yang mengamalkan ilmunya).
Allah s.w.t. berfirman:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَ مَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ.
“Siapa saja yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan siapa saja yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya pula.” (az-Zalzalah [99]: 7-8).
Jadi, seorang murid yang menuntut ilmu dengan tujuan mengharapkan kemuliaan diri dan sekaligus mengharapkan keridhaan Allah s.w.t., niscaya ilmu yang akan didapat akan berguna bagi kehidupannya di alam dunia, dan sekaligus meninggikan derajatnya dalam pandangan Allah s.w.t.
Kewajiban kesepuluh atas adab seorang murid adalah, harus tetap memusatkan perhatian pada tujuan utama menuntut ilmu. Bukan demi kekuasaan dan wewenang semata. Di samping untuk tujuan menikmati anugerah kehidupan di alam dunia ini, yang terpenting di atas kesemuanya itu untuk tujuan kebahagiaan negeri akhirat yang lebih kekal dan abadi. Dunia adalah tempat tinggal kita yang sementara. Tubuh menjadi kendaraan menuju tujuan, sedangkan amal menjadi jalan menuju tujuan dimaksud, yaitu: menggapai keridhaan Allah s.w.t., dan bukan selain Dia. Pada Allah-lah semua kenikmatan dan kebahagiaan bermuara. Karena itu, berikanlah perhatian yang lebih besar terhadap ilmu-ilmu yang mampu menuntun kita kepada tujuan akhir dari kehidupan ini.
Oleh karena itu, jenis ilmu terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, ilmu yang dapat kita ibaratkan seperti membeli barang untuk bekal dalam perjalanan. Yang dimaksud dalam jenis ini antara lain, adalah; ilmu kedokteran, hukum (fikih), dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan kesejahteraan manusia di alam dunia. Kedua, ilmu untuk menempuh perjalanan menghadapi rintangan yang sangat berat, sekaligus cara mengtasi rintangan-rintangan dan gangguan-gangguan di sekitarnya. Ilmu jenis ini mampu membersihkan jiwa pemiliknya dari perilaku jahat, dan sanggup membawanya ke tempat tertinggi yang tidak dapat dicapai manusia; kecuali mereka yang mendapatkan karunia dari sisi Allah s.w.t. Ketiga, ilmu dapat kita ibaratkan seperti ilmu mengenai perjalanan haji dengan semua syarat dan rukunnya. Yang dimaksudkan di sini adalah ilmu tentang Allah s.w.t., sifat-sifatNya, dan ilmu tentang para malaikat-Nya. Ilmu ini mustahil diraih, kecuali oleh orang-orang ‘arif yang dekat dengan Allah s.w.t. Sementara mereka yang berderajat lebih rendah dari mereka pun akan memperoleh keselamatan. Sebagaimana Allah s.w.t. berfirman:
فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ. فَرَوْحٌ وَ رَيْحَانٌ وَ جَنَّةُ نَعِيْمٍ. وَ أَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِيْنِ فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِيْنِ.
“Adapun jika ia (orang yang mati) termasuk orang-orang yang didekatkan – kepada Allah – , maka ia memperoleh ketenteraman dan rezeki, serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan, maka keselamatanlah bagimu, karena engkau dari golongan kanan.” (al-Wāqi‘ah [56]: 88-91).
Inilah kebenaran pasti yang mereka pahami dan rasakan melalui perenungan, kontemplasi, musyāhadah (penyaksian). Penglihatan yang ada di dalam musyāhadah jauh lebih jelas daripada penglihatan dengan mata lahiriah. Keyakinan mereka tentu lebih kuat setelah mereka menyaksikan sendiri. Sementara kebanyakan orang, beriman akan tetapi tanpa musyāhadah, dan tanpa melihat dengan mata batin mereka sendiri.
Qalbu yang saya maksudkan di sini bukanlah fisik jantung yang terbuat dari daging, akan tetapi sesuatu yang mempunyai hakikat yang halus atau rahasia. Yaitu, sesuatu yang tidak dapat dipersepsi dengan indera tubuh. Ini adalah dzat spiritual yang langsung bersumber dari sisi Allah s.w.t., yang terkadang disebut dengan an-nafs (jiwa, ruh), dan terkadang dinamai dengan qalbu (jantung). Qalbu adalah wahana bagi hakikat spiritual untuk menyingkapkan selubung yang menyelimutinya. Sebab, jiwa (rūh) merupakan bagian dari ilmu yang bersifat wahyu (mukāsyafah). Yakni, ilmu yang tidak mungkin dijangkau oleh akal manusia semata, dan tidak boleh diperbincangkan; apalagi diperdebatkan.
Yang diperkenankan adalah membicarakan bahwa jiwa (rūh) adalah permata yang sangat berharga, dan sekaligus termasuk dalam alam ruh, bukan alam materi. Sebagaimana Allah s.w.t. berfirman:
وَ يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ، قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّيْ.
“Dan, mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang rūh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Rabbku.” (al-Isrā’ [17]: 85).
Hubungan rūh manusia dengan Allah s.w.t. lebih mulia daripada hubungan rūh manusia dengan segenap anggota tubuhnya sendiri. Kepunyaan Allah s.w.t. segenap makhluk dan rūh. Akan tetapi, yang terakhir ini (rūh) berderajat lebih mulia dibandingkan ciptaan Allah lainnya. Rūh-lah yang paling berharga, karena dapat memikul amanat Allah s.w.t. Rūh manusia lebih mulia daripada langit dan bumi, berikut segala isinya. Karena, makhluk-makhluk lain tidak mau menerima amanat disebabkan takut pada rūh. Rūh manusia berasal langsung dari sisi Allah s.w.t., dan akan kembali kepada-Nya. Rūh adalah dzat spiritual yang mengendalikan tubuh manusia menuju Allah s.w.t. sebagai Pemiliknya.
Catatan: