Bab Kelima
Adab (Aturan) Guru dan Murid
“Mengenai adab (aturan) yang semestinya dijalankan oleh seorang guru dan juga muridnya.”
Adab Seorang Guru
Ketahuilah, bahwa ada empat macam kondisi manusia dalam hubungannya dengan kekayaan. Pertama, orang yang kaya karena menghasilkan harta benda duniawi yang sangat banyak. Kedua, orang yang melakukan aktivitas produktif dan tidak membutuhkan bantuan orang lain. Ketiga, orang yang mampu membiayai dan mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, serta cukup puas dengan kekayaan yang sudah dimilikinya. Keempat, orang yang membelanjakan sebagian kekayaannya untuk orang lain, sehingga menjadi seorang yang pemurah dan dermawan.
Tentu saja, kelompok manusia yang terkahir inilah yang terbaik. Seperti itu pulalah kondisi ilmu. Ia dapat diperoleh seperti kita mendapatkan harta benda. Ada empat macam kondisi manusia dalam hubungannya dengan ilmu. Pertama, kondisi orang yang tengah mencari ilmu. Kedua, kondisi seseorang setelah memperoleh ilmu. Ketiga, kondisi seseorang di mana ia bisa berkontemplasi dan menikmati ilmu yang telah diraihnya. Dan yang keempat, kondisi seseorang di mana ia bisa menyebarkan ilmu yang telah didapatnya kepada orang lain. Dan, kondisi yang terakhir inilah yang terbaik.
Perilaku terbaik dari seorang guru ialah, sebagaimana dikatakan: “Siapa yang mempelajari suatu ilmu, kemudian mengamalkannya, dan setelah itu mengajarkannya kepada orang lain, maka ia termasuk kelompok yang disebut sebagai “pembesar” pada kerajaan langit.” Orang yang dikaruniai ilmu yang banyak, lalu beramal dengannya, dan juga mengajarkannya kepada orang lain, maka ia dipandang lebih mulia daripada para malaikat langit maupun malaikat yang bertugas di bumi.
Manusia demikian dapat diibaratkan matahari yang menyinari diri sendiri, dan sekaligus mendistribusikan sinarnya kepada benda lainnya. Orang yang seperti itu laksana wangi kasturi, ia sendiri harum, dan sekaligus menebarkan semerbak keharumannya kepada yang lain. Orang yang mengajarkan ilmu kepada orang lain (guru), namun tidak beramal dengannya adalah laksana buku cetak yang tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri, akan tetapi sungguh bermanfaat bagi pembacanya. Atau, laksana batu asah yang mampu menajamkan pisau yang diasah di atasnya, akan tetapi ia sendiri tidak mampu memotong apa pun. Atau ibarat jarum yang tetap telanjang, meskipun ia sendiri dapat menjahit pakaian bagi kebutuhan manusia. Atau ibarat lilin yang memberikan cahaya penerangan bagi benda lain di sekitarnya, akan tetapi ia sendiri habis terbakar. Diungkapkan dalam sebuah sya‘ir:
“Seolah-olah aku menjadi sumbu yang disulut api,
Aku menerangi sekitarku, sementara aku sendiri habis terbakar.”
Dengan kata lain, keberadaan ilmu tanpa amal laksana sumbu lampu yang menebari sinar ke sekitarnya, namun ia sendiri habis terbakar oleh nyala apinya. Orang yang menetapkan diri dan bertekad untuk mengambil pekerjaan sebagai guru, ia harus menjalankan tugas dan kewajiban berikut ini. Adab yang pertama, seorang guru harus memperlihatkan kebaikan, simpati dan bahkan empati kepada para muridnya, serta memperlakukan mereka laksana anaknya sendiri. Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ كَالْوَالِدِ لِوَلَدِهِ.
“Sesungguhnya posisiku terhadap kalian, laksana seorang ayah terhadap anak-anaknya.” (1961).
Sudah sepantasnya seorang guru dalam mengajarkan ilmunya mempunyai niat dan tujuan untuk melindungi para muridnya dari siksa api neraka. Sementara tugas kedua orangtua menyelamatkan anak-anaknya dari kesengsaraan hidup di alam dunia ini. Tugas seorang guru lebih berat daripada kedua orangtua. Bahkan, seorang guru adalah ayah yang sejati bagi murid-muridnya. Jika seorang ayah menjadi sebab atas keberadaan anak-anaknya pada kehidupan dunia yang fana’ ini, maka seorang guru justru menjadi sebab bagi bekal kehidupan murid-muridnya yang kekal di akhirat nanti. Dengan demikian, menjadi wajar apabila seorang murid tidak dibenarkan untuk membeda-bedakan antara hak guru dan hak kedua orangtuanya. Sebab, lantaran ajaran para guru ruhanilah seorang murid mengetahui dan ingat akan kehidupan akhirat.
Guru yang saya maksudkan di sini adalah guru yang mengajarkan ilmu-ilmu tentang akhirat (ukhrawi), atau ilmu-ilmu tentang dunia (duniawi) dengan tujuan keabadian negeri akhirat. Seorang guru dinilai membinasakan diri sendiri dan juga murid-muridnya jika ia mengajar hanya demi kepentingan dunia ini semata. Karena itu, seorang guru yang berorientasi pada kepentingan akhirat akan senantiasa menempuh perjalanan hidupnya di dunia ini untuk tujuan menggapai kebahagiaan negeri akhirat nanti. Juga, senantiasa bertujuan kepada Allah s.w.t. dengan tidak terikat kepada tipudaya dunia. Jika sedemikian posisi keduanya, maka para murid dengan guru sangat dianjurkan untuk saling mencintai. Sebab, pada hakikatnya ulama dan putra-putra akhirat itu laksana musafir yang sedang bepergian bersama-sama menuju Allah s.w.t.
Bulan dan tahun dalam kehidupan dunia ini hanyalah persinggahan sementara dalam perjalanan mereka. Tidak ada rasa benci dalam perjalanan menuju akhirat nanti, dan dengan demikian tidak ada pula rasa iri serta dengki di antara mereka. Di antara para musafir yang sedang menempuh perjalanan dari satu negeri ke negeri yang lain saja biasanya saling menyayangi, memiliki keperdulian yang sangat tinggi, dan saling membantu jika mendapatkan kesulitan. Apalagi dalam perjalanan menuju Allah s.w.t. dan surga Firdaus yang amat luas, seharusnya dihindari sikap saling bersaing dan menjatuhkan. Mereka seharusnya berpegang pada firman Allah s.w.t. berikut ini:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ.
“Sesungguhnya orang-orang Mu’min itu bersaudara.” (al-Hujurāt [49]: 10).
Juga pada firman Allah s.w.t.:
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِيْنَ.
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagaimana menjadi musuh bagi sebagian yang lain; kecuali orang-orang yang bertakwa.” (az-Zukhruf [43]: 67).
Kewajiban dan adab yang kedua, dari seorang guru adalah, mengikuti teladan dan contoh dari akhlak Rasulullah s.a.w. Dengan perkataan lain, seorang guru tidak diperkenankan menuntut imbalan atau upah bagi aktivitas mengajarnya; selain mengharapkan kedekatan diri kepada Allah s.w.t. semata. Sebab, Allah s.w.t. sendiri yang telah mengajarkan kepada kita untuk berkata, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya berikut ini:
وَ يَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللهِ.
“Katakanlah: “Aku tidak menginginkan upah darimu untuk seruanku ini. Upah yang aku harapkan hanyalah di sisi Allah.” (Hūd [11]: 29).
Harta dan kekayaan hanyalah pelayan bagi tubuh kita, yang menjadi kendaraan atau tunggangan bagi jiwa, yang pada hakikatnya adalah ilmu. Dan, hanya karena ilmu jiwa seseorang menjadi mulia. Orang yang mencari harta dengan menggadaikan ilmunya ibarat seseorang yang mukanya kotor, namun badannya yang dibersihkan. Dalam hal ini, tuan menjadi hamba, dan hamba menjadi tuan. Kendati seorang pengajar (guru) berjasa atas ilmu yang didapat oleh para muridnya, namun mereka (para murid) juga memiliki jasa atas diri sang guru. Karena, para murid-lah yang menjadi sebab ia (guru) bisa dekat kepada Allah s.w.t., dengan cara menanamkan ilmu serta keimanan di dalam qalbu mereka (para murid).
Kewajiban dan adab yang ketiga dari seorang guru adalah, tidak boleh menyembunyikan nasihat atau ajaran untuk diberikan kepada murid-muridnya. Setelah selesai menyampaikan ilmu-ilmu lahiriah, ia harus mengajarkan ilmu-ilmu batiniah kepada murid-muridnya. Seorang guru harus mengatakan, bahwa tujuan pendidikan adalah dekat kepada Allah s.w.t., bukan kekuasaan atau kekayaan. Juga menyampaikan, bahwa Allah s.w.t. menciptakan ambisi sebagai sarana untuk melestarikan ilmu yang merupakan hakikat bagi ilmu-ilmu yang tengah dipelajari. Contohnya, dengan melarang para murid mencari kedudukan sebelum mereka layak untuk mendapatkannya. Juga melarang mereka menekuni ilmu yang tersembunyi (batin), sebelum menyempurnakan ilmu yang nyata (zhahir).
Kewajiban dan adab yang keempat dari seorang guru adalah, berusaha mencegah murid-muridnya dari memiliki watak serta perilaku jahat dengan penuh kehati-hatian; atau, melalui cara-cara yang halus seperti, sindiran. Dengan simpati, bukan keras dan kasar. Karena, jika sikap semacam itu yang dikedepankan, maka sama artinya dengan guru tersebut melenyapkan rasa takut dan mendorong ketidakpatuhan pada diri murid-muridnya. Sebagaimana Nabi s.a.w. sebagai pembimbing para guru pernah bersabda:
لَوْ مُنِعَ النَّاسُ عَنْ فَتِّ الْبَعْرِ لَفَتُّوْهُ وَ قَالُوْا مَا نُهِيْنَا عَنْهُ إِلَّا وَ فِيْهِ شَيْءٌ.
“Jika manusia dilarang menyingkirkan kotoran unta, maka mereka akan tetap melakukan hal itu sambil mengatakan, bahwa mereka tidak dilarang melakukannya apabila tidak terdapat sejumlah kebaikan di dalam pelaksanaannya.” (1972).
Kewajiban dan adab kelima dari seorang guru adalah, tidak boleh merendahkan ilmu lain di hadapan para muridnya. Guru yang mengajarkan bahasa biasanya memandang rendah ilmu fikih, dan guru ilmu fikih melecehkan ilmu hadis, demikian seterusnya. Tindakan-tindakan semacam ini sungguh sangat tercela jika sampai dilakukan oleh seorang guru. Seharusnya, seorang guru dari satu disiplin ilmu tertentu harus turut mempersiapkan murid-muridnya untuk mampu mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Selanjutnya, seorang guru sebaiknya menyampaikan materi pengajaran sesuai dengan aturan yang ada secara bertahap atau berjenjang, tidak sekaligus. Sebab, semua itu bisa membebani pemahaman murid-muridnya.
Kewajiban dan adab keenam yang harus dipenuhi oleh seorang guru adalah, mengajar murid-muridnya hingga mencapai batas kemampuan pemahaman mereka. Tidak diperkenankan seorang guru menyampaikan materi pelajaran di luar batas kapasitas pemahaman para muridnya. Dalam hal ini, seorang guru yang baik harus bisa mencontoh Rasulullah s.a.w., sebagaimana beliau pernah bersabda:
نَحْنُ مَعَاشِرَ الْأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا أَنْ نُنْزِلَ النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ وَ نُكَلِّمَهُمْ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ.
“Kami para Nabi adalah satu kaum. Kami diperintahkan – oleh Allah s.w.t. – untuk mendudukkan setiap orang pada tempat (porsi kemampuan)-nya yang tepat, dan berbicara kepada manusia sesuai dengan tingkat pemahaman atau kapasitas pemikirannya.” (1983).
Pelajaran yang disampaikan kepada para murid hendaknya disajikan dengan cara-cara yang mudah dimengerti. Sekaligus membubuhkan penjelasan yang dibutuhkan dalam konteks kekinian, atau contoh nyata yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Semua itu demi tujuan mengembangkan pemahaman yang didapat oleh seorang murid, agar bisa lebih mudah untuk diamalkan. Sebagaimana Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
مَا أَحَدٌ يُحَدِّثُ قَوْمًا بِحَدِيْثٍ لَا تَبْلُغُهُ عُقُوْلِهِمْ إِلَّا كَانَ فِتْنَةً عَلَى بَعْضِهِمْ.
“Apabila seseorang berbicara sepenggal kalimat kepada suatu kaum yang pemahaman mereka belum sampai ke sana, maka kalimat tersebut berpotensi menjadi bahaya (fitnah) bagi sebagian orang lainnya.” (1994).
Sayyidina ‘Ali r.a. pernah berkata sambil menunjuk ke arah dadanya: “Di dalam sini terkumpul cukup banyak ilmu. Sekiranya mungkin saya dapati sejumlah orang yang mau dan mampu memahaminya?”
Dada orang-orang yang shalih berbentuk seperti muara bagi ilmu yang tersembunyi di dalamnya. Dari sini kita dapat memahami, bahwa apa yang diketahui oleh seorang guru tidak mesti semuanya disampaikan kepada murid-muridnya sekaligus.
Nabi ‘Isa a.s. pernah mengatakan: “Janganlah kalian mengalungkan mutiara ke leher babi.” Artinya, akan sangat tidak bermanfaat barang berharga yang disematkan pada diri yang sama sekali tidak mengetahui manfaat serta kegunaannya. Dan, sikap bijaksana jauh lebih berharga nilainya daripada sebuah permata. Siapa yang tidak suka kepada ilmu dan hikmah, maka kondisinya jauh lebih buruk dan lebih tidak bermanfaat daripada seekor babi.
Suatu hari, seorang ‘alim ditanya mengenai suatu persoalan, akan tetapi ia tidak menjawab: “Si penanya akhirnya berkata: bukanlah anda mendengar bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda:
مَنْ كَتَمَ عِلْمًا نَافِعًا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلْجَمًا بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ.
“Siapa saja yang menyembunyikan ilmu yang bermanfaat, maka ia akan datang pada Hari Berbangkit nanti dengan mulut yang terbelenggu (dipenuhi) oleh api neraka?” (2005).
Orang ‘alim itu pun akhirnya angkat bicara: “Tinggalkan belenggu itu, dan segera pergilah dari sini! Sebab, jika aku tidak menyampaikan ilmu yang engkau maksudkan itu hanya kepada siapa yang mampu memahaminya, maka aku siap jika harus engkau letakkan belenggu api neraka pada mulutku; aku akan menerimanya dengan terbuka.” Sebab, Allah s.w.t. telah berfirman:
وَ لَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمْ.
“Dan janganlah engkau serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (2016), harta [mereka yang berada dalam kekuasaanmu].” (an-Nisā’ [4]: 5).
Ada peringatan yang tersirat dalam makna ayat di atas, bahwa lebih baik kita menjaga ilmu (tidak memberikan) atas orang-orang yang bisa menjadikan mereka hancur jika memiliki ilmu dimaksud. Memberikan sesuatu kepada orang yang tidak berhak atau tidak memberikan sesuatu kepada yang berhak sama-sama dianggap sebagai tindakan zhalim. Seorang penya‘ir pernah berkata:
“Apakah aku harus menghambur-hamburkan mutiara,
Ke hadapan para penggembala yang terbatas kemampuan akalnya.
Mereka tidak akan mengerti nilainya,
Juga tidak akan pernah tahu manfaat serta kegunaannya.
Jika Allah dengan ilmu-Nya yang serba meliputi,
Memberikan setitik ilmu-Nya kepada seorang hamba,
Maka saya akan mempersembahkan seluruh kekayaan saya kepada hamba tersebut,
Dan berusaha mendapatkan cintanya.
Namun sayang, sang hamba tadi menyia-nyiakan ilmunya,
Dengan memberikannya kepada orang yang tidak layak menerima.
Hingga ia dianggap berdosa,
Dengan menahan ilmu dari orang yang tidak pantas mendapatkannya.”
Kewajiban dan adab ketujuh yang harus dipenuhi oleh seorang guru adalah, mengajarkan kepada para murid yang berkemampuan terbatas hanya sesuatu yang jelas, lugas, dan yang sesuai dengan tingkat pemahamannya yang terbatas. Orang yang awam acapkali menilai, bahwa kebijaksanaan yang ditempuh seorang guru dalam cara-cara mengajar yang digunakan dianggap menyalahi aturan umum yang berlaku. Mereka baru merasa puas jika pengetahuan yang disampaikan seorang guru, mereka anggap update (up to date,) sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman. Jika sebaliknya, maka guru dimaksud akan mendapat label bodoh, tidak mampu mengajar, atau – yang terburuk – pelit dalam menyebarkan ilmu yang dimilikinya. Dengan kalimat lain yang lebih urai dapat disampaikan di sini, bahwa pintu perdebatan tidak boleh dibuka di hadapan orang awam.
Kewajiban dan adab kedelapan yang harus dipenuhi oleh seorang guru adalah, bahwa guru sendiri harus melakukan terlebih dahulu apa yang diajarkannya, dan tidak boleh berbohong dengan apa yang disampaikannya. Ilmu dapat diserap dengan mata batin, dan amal dapat disaksikan melalui pandangan mata lahir. Banyak yang memiliki mata lahir, namun sangat sedikit yang memiliki dan mau memanfaatkan mata batin. Oleh karena itu, jika perbuatan seorang guru bertentangan dengan apa yang dianjurkannya, berarti ia tidak sedang membantu memberi petunjuk dan tuntunan, melainkan justru racun atau bencana. Seorang guru dapat diibaratkan stempel yang dibuat di atas tanah liat, dan murid seperti tanah liatnya. Apabila stempel tidak memiliki karakter yang mantap, maka tidak ada suatu tapak pun yang membekas pada tanah liat atau medianya.
Jadi, seorang guru dapat diibaratkan sebatang tongkat, dan murid adalah bayangan dari tongkat itu sendiri. Bagaimana mungkin bayangan dari sebatang tongkat diharapkan tegak lurus jika tongkatnya sendiri bengkok? Seorang penya‘ir pernah mengungkapkan:
“Janganlah engkau melarang suatu perbuatan tercela,
Sedangkan engkau sendiri melakukannya.
Berkalang malu kepada diri luar biasa,
Disaksikan orang engkau sendiri mengerjakannya.”
Allah s.w.t. berfirman:
أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَ تَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ.
“Mengapa engkau suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedang engkau melupakan diri (kewajiban) mu sendiri?” (al-Baqarah [2]: 44).
Imam ‘Ali karramallāhu wajhah pernah berkata: “Dua golongan manusia yang potensial mendatangkan bencana bagi kita adalah, orang berilmu yang tidak menjaga kehormatan diri dengan ilmu yang telah disandangnya, dan orang jahil yang menempuh jalan zuhud, dengan beribadah tanpa ilmu. Orang yang berilmu menyesatkan manusia dengan kelalaiannya, sedangkan orang yang jahil menyesatkan manusia melalui perbuatan bodohnya yang tidak didasari ilmu dalam beramal.” Wallāhu A‘lam (hanya Allah Yang Maha Tahu).
Catatan: