Hukum Menyentuh dan Mencium Kuburan – Jawaban Tuntas Beragam Masalah Aqidah Islam

JAWABAN TUNTAS
BERAGAM MASALAH AKIDAH ISLAM
(Judul Asli: AL-AJWIBAH AL-GHĀLIYAH
FĪ ‘AQĪDAH AL-FIRQAH AN-NĀJIYAH

Karya: Habib Zein Ibrahim Bin Sumaith

Terjemah: Muhammad Ahmad Vad‘aq
Penerbit: Mutiara Kafie

Apa hukumnya menyentuh dan mencium kuburan?


Hukumnya menurut kebanyakan ulama makrūh saja. Sebagian dari mereka mengatakan hukumnya mubāḥ dan boleh untuk tabarruk. Namun tidak ada seorang ulama pun yang menyatakan hukumnya ḥarām.

Apa dalil yang membolehkannya?


Karena tidak ada larangan dari Allah dan Rasūl-Nya. Tidak pula ada dalil yang menyatakan pelarangannya.

Diriwayatkan bahwasanya ketika Bilāl r.a. menziarahi al-Mushthafā s.a.w., ia menangis hingga menempelkan kedua pipinya ke atas kubur beliau yang mulia. Begitu pula Ibnu ‘Umar r.a. meletakkan tangannya yang kanan pada kubur beliau. Ini disebutkan oleh al-Khathīb Ibnu Jumlah. (11).

Aḥmad meriwayatkan dengan sanad ḥasan dari Muththalib bin ‘Abdullāh bin Ḥanthab, ia mengatakan: “Marwān bin Ḥakam datang, ternyata di situ ada seorang yang selalu berada di kuburan. Ia pun memegang lehernya kemudian bertanya: “Apakah kamu mengerti apa yang kamu perbuat?”

Orang itu menghadap Marwān bin Ḥakam dan menjawab: “Ya! Aku tidak mendatangi batu tidak pula batu-bata, tetapi aku mendatangi Rasūlullāh s.a.w.”

Kata Muththalib: “Orang itu adalah Abū Ayyūb al-Anshārī”.” (22).

Dinyatakan dalam riwayat dari Imām Aḥmad bin Ḥanbal raḥimahullāh bahwasanya ia ditanya tentang mencium kuburan dan mimbar Nabi s.a.w.

Ia menjawab: “Itu tidak masalah.” Riwayat ini disebutkan as-Samhūdī dalam Khulāshat-ul-Wafā. (33).

Dengan demikian dapat diketahui bahwa tidak ada seorang imam kaum muslimin pun yang mengatakan adanya larangan mencium dan menyentuh kuburan. Terlebih bila sampai dinyatakan sebagai syirik dan kufur. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kemakruhannya. Orang yang menyatakan pendapat yang bertentangan dengan pendapat mereka dan menilai orang yang melakukan itu di antara kaum muslimin pada umumnya sebagai perbuatan syirik, ia harus menunjukkan dalil atas pernyataannya itu.

Catatan:

  1. 1). Lihat Wafā’-ul-Wafā’ karya as-Samhūdī (4: 1405, 1409).
  2. 2). Disampaikan oleh Aḥmad (5: 422) dan al-Ḥākim (4: 560).
  3. 3). Lihat Wafā’-ul-Wafā’ karya as-Samhūdī (4: 1404).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *