PASAL 31
‘ILMU-‘ILMU SHŪFĪ ADALAH ‘ILMU KEADAAN SPIRITUAL
Saya berkata: hanya karena Allah-lah segala keberhasilan: Ketahuilah bahwasanya ‘ilmu-‘ilmu dari Shufi itu adalah ‘ilmu keadaan spiritual, dan ‘ilmu keadaan spiritual itu adalah warisan perbuatan (‘amal), dan ‘ilmu keadaan spiritual ini tidak diwariskan kecuali kepada orang-orang yang berbuat baik.
Dan permulaan dari pekerjaan-pekerjaan yang baik adalah mengetahui ‘ilmu-‘ilmunya, yaitu di antaranya ialah ‘ilmu hukum-hukum syarī‘at mulai dari ‘ilmu Ushūl Fiqih dan cabang-cabangnya yaitu: shalat, puasa, dan segala perbuatan yang diwājibkan Allah sampai kepada ‘ilmu yang berhubungan dengan kemasyārakatan (mu‘āmalat) di antaranya yaitu: perkawinan (nikāḥ), thalāq, dan jual-beli, serta semua hal yang diwājibkan dan disunnahkan Allah sampai kepada ‘ilmu-‘ilmu yang berhubungan dengan kehidupan manusia. ‘Ilmu-‘ilmu ini dapat dipelajari dan dicari.
Dan yang pertama kali harus dikerjakan oleh seseorang (hamba) adalah: bersungguh-sungguh dalam mencari/mempelajari ‘ilmu-‘ilmu tersebut beserta hikmah-hikmah dari ‘ilmu itu sesuai dengan tingkat kemampuannya, setelah ia mempelajari ‘ilmu Tauhīd dan Ma‘rifat (mengetahui Allah) yang berdasarkan al-Kitāb (al-Qur’ān) dan as-Sunnah, dan sepakat (ijmā‘) para ‘Ulamā’ Salaf yang shālih dari golongan ahli Sunnah wal-Jamā‘ah.
Dan jika Allah memperkenankannya kepada yang lebih tinggi lagi dari mempelajari ‘ilmu-‘ilmu tersebut maka ia akan mendatangkan kemungkinan-kemungkinan untuk mencapainya dengan sekejap mata saja, asal saja tidak cenderung kepada pemikiran-pemikiran yang buruk. Dan apabila berpaling dari pemikiran-pemikiran buruk dengan menggunakan ‘ilmu-‘ilmu yang ada padanya sehingga dari pemikiran-pemikiran yang dikehendaki dan diperdebatkannya maka mudah-mudahan ia akan beramal dengan apa yang diketahuinya.
Maka yang harus lebih dahulu dipelajarinya adalah: ‘Ilmu yang mengetahui kehancuran/kebiasaan jiwa, ‘ilmu ma‘rifat (mengenal) jiwa, latihan kejiwaan (riyādhah), melatih budi pekertinya, mengetahui tipu daya musuh dan godaan-godaan dunia, dan cara-cara menghindarkannya, ‘ilmu-‘ilmu ini adalah termasuk dalam ‘ilmu hikmah (‘ilmu kebijaksanaan).
Dan apabila jiwa seseorang dalam keadaan tenang, bertabiat baik, menjaga diri dari berlaku buruk, mengekang hawa nafsunya, maka akan mudahlah bagi seseorang itu untuk memperbaiki budi pekertinya, mensucikan lahiriyahnya dan bāthinnya, menyelesaikan segala urusannya, menghindarkan diri dari kelezatan dunia.
Dalam keadaan demikian itu maka seseorang akan dapat mengontrol pemikirannya, membersihkan hatinya, ini semua adalah termasuk ‘ilmu ma‘rifat.
Kemudian sesudah ‘ilmu ma‘rifat ini dikuasai maka seseorang akan meningkat kepada ‘ilmu musyāhadat dan mukāsyafat, dan kedua ‘ilmu ini termasuk dalam ‘Ilmu isyārat, yang khusus bagi para Shūfī setelah mereka mempelajari ‘ilmu-‘ilmu seperti yang tersebut di atas.
Dan disebut dengan ‘ilmu isyārat karena pembuktiannya dilakukan dengan melalui keyakinan dalam hati (musyāhadat al-qalb) dan diuraikan dengan getaran bathin (mukāsyafat-ul-asrār) yang tidak mungkin dengan kenyataan lahir, tetapi harus dipelajari dengan pengalaman spiritual dan mistik (gaib). Sehingga ‘ilmu-‘ilmu ini hanya diketahui oleh orang-orang yang menjalankan pengalaman-pengalaman (pendalaman) spiritual dan mistik yang hidupnya dalam keadaan demikian.
Diriwāyatkan oleh Sa‘īd bin al-Musayyib dari Abū Hurairah, ia berkata bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
إِنَّ مِنَ الْعِلْمِ كَهَيْئَةِ الْمَكْنُوْنِ، لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا أَهْلُ الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ فَإِذَا نَطَقُوْا بِهِ لَمْ يُنْكَرْهُ ِإِلَّا أَهْلُ الْعِزَّةِ بِاللهِ
“Sesungguhnya seperti halnya gerakan yang tersembunyi itu adalah sebagian dari ‘ilmu (isyārat), tidak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali orang-orang Shūfī (ahli ma‘rifat billāh), dan apabila mereka membicarakannya tidak ada orang yang mengingkarinya kecuali orang-orang yang tidak memperdulikan Allah.” (Imām Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm-id-dīn Jilid 1 dalam kitāb ‘Ilmu).
Diceritakan dari ‘Abdul-Wāhid bin Zaid dengan katanya: “Saya telah bertanya kepada al-Hasan tentang ‘ilmu bāthin, maka ia menjawāb: Saya telah bertanya kepada Hudzaifah bin al-Yaman tentang ‘ilmu bāthin maka ia pun menjawāb: Saya telah menanyakan kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang ‘ilmu bāthin, maka Rasūlullāh pun menjawab: Saya telah menanyakan kepada Jibrīl tentang ‘ilmu bāthin, maka Jibrīl pun menjawāb: Saya telah menanyakan kepada Allah tentang ‘ilmu bāthin, maka Allah pun menjawāb: ‘Ilmu bāthin adalah rahasia dari kerahasiaan-Ku, Aku telah jadikan ‘ilmu bāthin itu di dalam hati hamba-Ku, tidak ada seorang pun dari makhlūq-Ku yang mengetahuinya.”
Abul-Hasan bin Abī Dzarr di dalam kitābnya Manhaj-ud-Dīn bersya‘ir untuk asy-Syiblī:
عِلْمُ التَّصَوُّفِ عِلْمٌ لَا نَفَادَ لَهُ
عِلْمٌ سَنِيٌّ سَمَاوِيٌّ رَبُوْبِيٌّ
فِيْهِ الْفَوَائِدُ لِلْأَرْبَابِ يَعْرِفُهَا
أَهْلُ الْجَزَالَةِ وَ الصُّنْعِ الْخُصُوْصِيْ
‘Ilmu Tasawwuf itu tidak mempunyai batas, ia merupakan,
‘ilmu yang tertinggi, ‘ilmu gaib, ‘ilmu ketuhanan.
Ia mempunyai manfaat yang sangat mendalam bagi ‘ilmu Ketuhanan,
secara khusus hanya diketahui oleh orang-orang yang selalu ingat kepada Allah dan ciptaan-Nya.
Kemudian pada setiap tingkatan ‘ilmu-‘ilmu di atas mempunyai permulaan dan akhir, di antara permulaan dan akhir dari ‘ilmu itu dilalui dengan bermacam-macam tingkah perbuatan spiritual (hāl), dan dalam setiap hāl mempunyai isyārat, dan dalam isyārat itu pun terdapat tingkatan yang membenarkan (menetapkan) atau itsbāt dan yang menolak (nafi).
Dan bukanlah setiap yang ditolak dalam satu tingkatan (maqām) merupakan yang ditolak dalam tingkatan sebelumnya, begitu pula bukanlah setiap yang ditetapkan di dalam satu tingkatan (maqām) diterima pada tingkatan (maqām) lainnya. Yaitu sebagaimana sabda Nabi s.a.w.:
لَا إِيْمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ
“Tidak ada īmān bagi orang yang tidak mempunyai sifat yang dapat dipercayai (amānat).”
Di sini, Nabi menolak īmān bagi orang yang tidak dapat dipercaya bukan iman karena keyakinan agama, orang-orang yang mengetahui hal itu. Sehingga apabila seseorang telah dapat menempati hal itu. Sehingga apabila seseorang telah dapat menempati kedudukan (keadaan) dapat dipercaya atau bahkan melebihi dari keadaan ini, maka Nabi s.a.w. memuliakan dan menjelaskan keadaan spiritual mereka.
Adapun orang yang belum memperhatikan terhadap keadaan spiritual para pendengarannya, tetapi para pendengarannya telah dapat menduduki tingkatan untuk menetapkan (itsbāt) dan menolak (nafi), maka yang demikian ini diperbolehkan bagi pendengar untuk tidak berada pada tingkatan (maqām) itu. Dan apa yang telah ditolak oleh pembicara adalah ditetapkan pada tingkat pendengar dengan demikian maka pendengar menolak apa yang telah ditetapkan oleh ‘ilmu Shūfī, sehingga ia, pendengar, telah berbuat kesalahan atau bertentangan dengan ajaran aliran Shūfī ini, bahkan tidak mempercayainya.
Kemudian para Shūfī pun telah memberikan istilah-istilah di dalam ‘ilmunya yang hanya diketahui di antara mereka saja dengan mempergunakan kode (rumus), sehingga hanya dimengerti oleh golongan mereka saja dan orang-orang yang sebagai pendengar tidak mengerti karena ia tidak berada pada tingkatan tersebut.
Sehingga ada kalanya pendengar (bukan Shūfī), ada yang berprasangka baik atau sebaliknya mengecam para Shūfī, dan yang paling baik adalah meneliti kebenarannya.
Sebagian ‘ulama’ mutakallimin bertanya kepada seorang Shūfī yang bernama Abul-‘Abbās bin ‘Athā’ dengan katanya: “Bagaimana pendapatmu, wahai Shūfī; engkau telah menciptakan istilah-istilah yang membingungkan para pendengar (bukan Shūfī), yaitu istilah-istilah yang melalui ucapan-ucapan lisan ataupun kebiasaan-kebiasaan. Apakah istilah-istilah itu hanya untuk membingungkan orang-orang yang bukan Shūfī atau karena kamu ingin menyembunyikan ajaranmu?”
Abul-‘Abbās menjawab: “Apa-apa yang kami (para Shūfī) lakukan tiada lain karena kecemburuan kami kepada-Nya, dan karena kemuliaan-Nya atas kami, dan memang supaya golongan lain, selain para Shūfī, tidak akan mengerti istilah-istilah atau rumus-rumus itu, kemudian ia bersya‘ir dengan kata-katanya:
أَحْسَنُ مَا أَظْهَرُهُ وَ نُظْهِرُهُ
بَارِئُ حَقِّ لِلْقُلُوْبِ نَشْعُرُهُ
يُخْبِرُنِيْ عَنِّيْ وَ عَنْهُ أُخْبِرُهُ
أَكْسُوْهُ مِنْ رَوْنَقِهِ مَا يَسْتُرُهُ
عَنْ جَاهِلٍ لَا يَسْتَطِيْعُ يُنْشِرُهُ
يُفْسِدُ مَعْنَاهُ إِذَا مَا يَعْبُرُهُ
فَلَا يَطِيْقُ اللَّفْظَ بَلْ لَا يَعْشُرُهُ
ثُمَّ يُوَافِيْ غَيْرَهُ فَيُخْبِرُهُ
فَيَظْهَرُ الْجَهْلُ وَ تَبْدُوْا زَمْرُهُ
وَ يُدْرِسُ الْعِلْمُ وَ يَعْفُوْا أَثْرَهُ
“Sesuatu yang lebih baik diajarkan oleh Allah dan kami,
suatu awal kebenaran hati yang telah kami rasakan.
Yang mengabarkan tentang diriku dan Dia, dari keindahannya,
atau membungkusnya dengan apa yang menutupinya.
Karena tersembunyi seseorang tidak dapat menyiarkannya,
akan rusaklah maknanya apabila sesuatu menerangkannya.
Maka seseorang tidak memahami istilah (Shūfī) walau sedikit pun,
Kemudian ia mendatangi orang lain (Shūfī), maka Shufi pun mengabarkannya.
Maka ia menyingkap kebodohan dan kelompoknya pun semakin tampak,
dan dipelajarilah ‘ilmu (bāthin) dan pengaruh-pengaruhnya.”
Sebuah sya‘ir yang lain telah kami bacakan untuknya:
إِذَا أَهْلُ الْعِبَارَةِ سَائِلُوْنَ
أَجَبْنَاهُمْ بِأَعْلَامِ الْإِشَارَةِ
نُشِيْرُ بِهَا فَنَجْعَلُهَا غُمُوْضًا
تُقَصِّرُ عَنْهُ تَرْجَمَهُ الْعِبَارَةِ
تُرَى الْأَقْوَالُ فِي الْأَحْوَالِ أَسْرَى
كَأَسْرِ الْعَارِفِيْنَ ذَوِي الْخَسَارَةِ
Apabila seorang pemikir bertanya kepada kami (tentang ‘ilmu bathin),
maka kami akan menjawabnya dengan tanda-tanda yang misterius.
Kami mengisyaratkan dengan tanda-tanda itu sehingga ia menjadi bingung,
sehingga pemikiran-pemikiran tentang ‘ilmu bathin itu tambah berkurang.
Kami menyaksikannya dan ia pun menyaksikan kami di dalam hati,
sehingga setiap kejadian berpengaruh bagi dirinya.
Ucapan-ucapan/tindakan akan diketahui melalui perjalanan keadaan spiritual,
bagaikan perjalanan orang yang bijaksana yang tertimpa kemalangan.