Hati Senang

Adab Ketika Mencari Ilmu | Al-Luma’ – Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf

Al-Luma' - Rujukan Lengkap Tasawuf

Dari Buku:
Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf
Judul Asli: Al-Luma'
Oleh: Abu Nashr as-Sarraj
Penerjemah: Wasmukan dan Samson Rahman, MA.
Penerbit: Risalah Gusti, Surabaya.

8

ADAB KETIKA MENCARI ILMU

 

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – rahimahullāh – berkata: Saya mendengar Ahmad bin ‘Alī al-Wajihī berkata: Saya mendengar Abū Muhammad al-Jarīrī – rahimahullāh – berkata: “Duduk untuk ber-mudzākarah (belajar ilmu) akan menutup pintu manfaat, sedangkan duduk untuk saling memberi nasihat akan membuka pintu manfaat.”

Abū Yazīd – rahimahullāh – berkata: “Barang siapa tidak bisa mengambil manfaat dari diamnya orang yang berbicara maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari pembicaraannya.”

Al-Junaid – rahimahullāh – berkata: “Mereka (kaum Sufi) sangat tidak suka bila lisan melampaui keyakinan hati.”

Disebutkan bahwa Abū Muhammad al-Jarīrī berkata: “Keadilan dan adab ialah hendaknya orang yang mulia tidak membicarakan ilmu ini (tasawwuf) sehingga ia ditanya.”

Abū Ja‘far al-Farajī, sahabat karib Abū Turāb an-Nakhsyābī – rahimahullāh – berkata: “Aku tinggal diam selama dua puluh tahun tidak bertanya suatu persoalan kecuali bila aku mantapkan terlebih dahulu sebelum aku menyatakan dengan lisanku.”

Abū Hafsh – rahimahullāh – berkata: “Tidak dibenarkan berbicara kecuali bagi seseorang yang apabila ia diam malah mendapatkan siksa.”

Ia juga berkata: “Ada seseorang datang pada Abū ‘Abdillāh Ahmad bin Yahyā al-Jallā’ – rahimahullāh – yang menanyakan tentang masalah tawakkal. Saat itu ada sekelompok orang (jamā‘ah), maka ia tidak menjawabnya dan masuk ke dalam kamarnya, kemudian ia keluar lagi dengan membawa seikat kain yang berisi empat danāniq (mata uang) yang diberikan kepada mereka. Kemudian ia berkata kepada mereka: “Dengan uang ini silakan kalian membeli sesuatu.” Kemudian ia baru mau menjawab apa yang ditanyakan orang tersebut. Kemudian ia ditanya: “Mengapa ia melakukan hal itu?” Maka ia menjawab: “Aku malu pada Allah untuk menjawab masalah tawakkal sedangkan aku masih memiliki empat danāniq.”

Dikisahkan dari Abū ‘Abdillāh al-Hushrī yang berkata: Saya pernah berkata kepada Ibnu Yazdaniar ketika ia sedang mencari ilmu: “Aku tidak melihat apa yang ada pada semua makhlūq kecuali kabar tentang gaib dan sangat mungkin anda adalah yang gaib.” Kemudian ia berkata: “Coba ulangi apa yang anda katakan: “Lalu saya menjawabnya: “Saya tidak akan mengulanginya.”

Ibrāhīm al-Khawwāsh – rahimahullāh – berkata: “Ilmu ini tidak layak kecuali bagi mereka yang mampu mengungkapkan wajd (suka cita)-nya dan berbicara tentang perbuatannya.”

Abū Ja‘far ash-Shaidalānī – rahimahullāh – berkata: Ada seseorang bertanya suatu masalah kepada Abū Sa‘īd al-Kharrāz – rahimahullāh. Ia hanya memberi isyārat tentang masalah yang ditanyakan. Abū Sa‘īd kemudian berkata: “Kami telah mencapai kedudukan anda dan sepakat dengan apa yang anda inginkan tanpa harus dengan isyārat dari anda. Sebab orang yang banyak memberi isyārat pada Allah adalah orang yang paling jauh dari-Nya.”

Al-Junaid – rahimahullāh – berkata: “Andaikan aku tahu, bahwa di kolong langit ini ada ilmu yang lebih mulia daripada ilmu kami ini (tasawwuf), niscaya aku akan berusaha mencarinya dan menemui orang yang memilikinya sehingga aku mendengar dari mereka tentang ilmu tersebut. Dan andaikan aku tahu, bahwa ada waktu yang lebih mulia daripada waktu kami ini ketika berkumpul dengan para sahabat dan guru kami, dan ketika kami menanyakan berbagai masalah dan mencari ilmu ini, tentu aku akan bangkit mencarinya.”

Al-Junaid – rahimahullāh – berkata: “Bagiku tidak ada kelompok manusia dan kaum yang berkumpul untuk mencari ilmu yang lebih mulia dari kelompok ini. Tidak pula ada ilmu yang lebih mulia dari ilmu mereka. Andaikan tidak demikian, maka aku tak mungkin duduk dan berteman dengan mereka. Namun karena mereka dalam pandanganku adalah seperti apa yang aku ucapkan maka aku lakukan semua itu.”

Abū ‘Alī ar-Rudzabarī – rahimahullāh – berkata: “Ilmu kami ini adalah ilmu isyārat. Apabila menjadi suatu ungkapan maka akan ringan bobotnya.”

Abū Sa‘īd al-Kharrāz – rahimahullāh – berkata: “Aku diberi tahu tentang Abū Hātim al-‘Aththār dan keutamaannya di mana ia tinggal di Bashrah. Kemudian dari Mesir, aku berangkat menuju Bashrah. Sampai di sana kemudian aku masuk masjid Jāmi‘ Bashrah. Ternyata ia duduk di masjid ini, yang di sekelilingnya banyak orang dari sahabat-sahabatnya. Ia berbicara kepada mereka tentang ilmu. Pertama kali yang aku dengar dari pembicaraannya setelah ia melihatku ialah: “Aku duduk hanya untuk seseorang. Lalu di mana seseorang tersebut? Dan siapa untukku dengan seseorang tersebut? Kemudian ia memberi isyārat padaku. “Orang tersebut adalah anda.” Kemudian ia berkata: “Menampakkan apa yang menjadikan mereka ahli, membantu mereka apa yang diwajibkan kepada mereka, menjadikan gaib apa yang dihadirkan pada mereka. Maka hanya untuk-Nya mereka berbuat, dari-Nya dan kepada-Nya mereka kembali.”

Dikisahkan dari al-Junaid – rahimahullāh – yang mengatakan: “Andaikan ilmu kami ini dibuang ke tempat sampah, maka setiap orang hanya akan mengambil sesuai dengan ukurannya.”

Dikisahkan dari asy-Syiblī, pada suatu hari ia pernah berkata kepada anggota majelisnya: “Kalian adalah liontin dari kalung, di mana mimbar-mimbar dari cahaya dipasang untuk kalian dan para malaikat merasa bahagia dengan kalian.” Kemudian ada seseorang bertanya kepadanya: “Apa yang menjadikan para malaikat merasa bahagia?” Ia menjawab: “Karena mereka berbicara tentang ilmu ini.”

Saya mendengar Ja‘far al-Khuldī berkata: “Saya mendengar al-Junaid berkata: Sari as-Saqathī – rahimahullāh – pernah berkata: “Sebagaimana yang saya dengar, bahwa ada sekelompok orang di masjid Jāmi‘ yang duduk di sekeliling anda.” Saya jawab: “Ya, benar! Mereka adalah saudara-saudara kami, di mana kami saling ber-mudzākarah (belajar) ilmu. Masing-masing di antara kami saling mengambil manfaat antara yang satu dengan yang lain.” Kemudian ia berkata: “Alangkah jauhnya wahai Abul-Qāsim (nama panggilan al-Junaid), saya sekarang telah menjadi tempat bagi para penganggur.”

Dikisahkan dari al-Junaid – rahimahullāh – yang mengatakan: “Jika Sari as-Saqathī – rahimahullāh – ingin mengajariku sesuatu maka ia menanyakan suatu masalah. Suatu hari ia pernah bertanya: “Syukur ialah anda tidak bermaksiat kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan kepada anda.” Akhirnya ia menganggap baik atas jawabanku. Ia memintaku untuk mengulang jawabanku tentang syukur sembari berkata: “Bagaimana jawabanmu tentang syukur? Coba ulangi jawabanmu!” Aku kemudian mengulanginya.”

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj berkata: Aku dapatkan kisah ini lewat tulisan Abū ‘Alī Ar-Rudzabarī dari al-Junaid.

Diceritakan dari Sahl bin ‘Abdullāh – rahimahullāh – bahwa ia pernah ditanya tentang masalah-masalah ilmu (tasawwuf). Namun ia tidak mau menjawabnya. Setelah beberapa waktu, ia berbicara tentang ilmu tersebut dan tampak sangat menguasai dengan baik. Kemudian ia ditanya tentang alasan, mengapa waktu itu ia mau berbicara tentang ilmu tersebut. Lalu ia menjawab: “Pada saat itu Dzun-Nūn masih hidup, sehingga aku sangat tidak suka bicara tentang ilmu ini (tasawwuf) ketika ia masih hidup. Karena aku sangat menghormatinya.”

Abū Sulaimān ad-Dāranī – rahimahullāh – berkata: “Andaikan di Mekkah ini aku tahu ada seseorang yang bisa memberiku ilmu dan ma‘rifat sekalipun hanya satu kata, niscaya aku akan mendatanginya dengan berjalan kaki, sekalipun jarak yang harus ditempuh seribu farsakh, sehingga aku bisa mendengar langsung darinya.”

Abū Bakar az-Zaqqāq berkata: “Aku mendengar satu kalimat dari al-Junaid tentang fanā’ sejak empat puluh tahun yang lalu, di mana kalimat tersebut selalu membangkitkanku, sedangkan aku setelah itu dalam ketidaktahuan.”

Saya mendengar ad-Duqqī berkata: Saya mendengar kisah ini dari az-Zaqqāq.

Saya mendengar ad-Duqqī berkata: Dikatakan kepada Abū ‘Abdillāh al-Jallā’ – rahimahullāh: “Mengapa ayah anda disebut dengan al-Jallā’?” Ia menjawab: “Bukan karena kata al-Jallā’ ini mengandung arti pembersih karat besi, akan tetapi jika ia berbicara kepada hati nurani akan memperlihatkan karat bekas dosa-dosa yang dilakukan.”

Al-Hārits al-Muhāsibī – rahimahullāh – berkata: “Sesuatu yang paling mulia di dunia ini adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan orang ‘arif yang berbicara tentang hakikatnya.”

Saya mendengar Ibnu ‘Ulwān berkata: “Jika ada seorang bertanya kepada al-Junaid tentang suatu masalah, sedangkan ia tidak termasuk dalam kondisi spiritual dari masalah yang ditanyakannya, maka ia akan berkata:

لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ

“Tidak ada daya upaya dan kekuatan apa pun kecuali dengan Allah.”

Dan jika orang itu mengulangi lagi pertanyaannya maka ia akan menjawabnya:

حَسْبُنَا اللهُ وَ نِعْمَ الْوَكِيْلُ.

“Cukuplah Allah penolong kami dan Dialah sebaik-baik Dzāt Yang menjadi wakil.” (Āli ‘Imrān: 173).

Dikisahkan bahwa Abū ‘Amr az-Zujājī – rahimahullāh – berkata: “Jika anda sedang duduk mendengar seorang syekh berbicara tentang suatu ilmu, sementara anda mau kencing dan hampir tidak bisa ditahan, maka andaikan anda kencing di tempat anda duduk akan lebih baik daripada anda bangkit dari tempat duduk anda meninggalkan majelis. Sebab kencing masih bisa dicuci dengan air sedangkan apa yang terlewatkan dari ilmu yang ia ajarkan tak mungkin anda memperoleh kembali untuk selamanya.”

Al-Junaid – rahimahullah – berkata: Saya pernah berkata kepada Ibnu al-Kuraini – rahimahullah: “Jika ada seseorang yang berbicara tentang suatu ilmu yang ia sendiri tidak mampu mengamalkannya. Maka yang lebih anda sukai, kalau kondisinya demikian diam ataukah berbicara?” Kemudian ia menundukkan kepala, dan kemudian mengangkatnya kembali sembari berkara: “Jika anda ahlinya maka bicaralah!”

Asy-Syiblī – rahimahullāh – berkata: “Bagaimana pendapat anda tentang suatu ilmu, yaitu ilmu para ‘ulama’ yang menimbulkan dugaan?”

Sementara itu Sari as-Saqathī – rahimahullāh – berkata: “Barang siapa menghiasi dirinya dengan ilmu, maka kebaikannya adalah kejelekan.”

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – rahimahullāh – berkata: Dari masing-masing kisah ini memiliki keterangan dan kesimpulan yang cukup jelas bagi mereka yang sanggup memahaminya.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.