013 Al-Qur’an Bukan Makhluq – Jam’-ul-Jawaami’

JAM‘-UL-JAWĀMI‘

Kajian dan Penjelasan dua Ushul
(Ushul Fiqh dan Ushuluddin)

Penyusun:
Darul Azka
Kholid Afandi
Nailul Huda

Penerbit: Santri salaf crew.

AL-QUR’ĀN BUKAN MAKHLŪQ

Al-Qur’ān bukanlah makhlūq (yang diciptakan). Karena kalām adalah sifat Allah, dan mustahil jika dzāt yang qadīm menyandang sifat yang ḥādits (baru). Allah menuturkan lafazh “insān” di 18 tempat dan menyatakan bahwa manusia itu diciptakan. Dan Allah menuturkan lafazh “al-Qur’ān” di 54 tempat dan Dia tidak menyatakan bahwa al-Qur’ān itu diciptakan. Dan tatkala Allah mengumpulkan penyebutan keduanya dalam satu tempat, Allah mengingatkan dengan firman-Nya:

 

الرَّحْمنُ، عَلَّمَ الْقُرْآنَ، خَلَقَ الْإِنْسَانَ. (الرحمن: 1-3)

(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al-Qur’ān. Dia menciptakan manusia.” (QS. Ar-Raḥmān: 1-3).

Imām asy-Syāfi‘ī berkata: “Bahwasanya Allah menciptakan segala sesuatu dengan ucapan (كُنْ) (artinya: jadilah). Maka seandainya ucapan (كُنْ) itu tercipta, pastilah akan terjadi makhluk menciptakan makhluk.”

Sufyān bin ‘Uyainah tatkala ditanya tentang al-Qur’ān, apakah ia makhluk? Beliau menjawab dengan menampilkan firman Allah:

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَ الْأَمْرُ. (الأعراف: 54)

Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (al-A‘rāf: 54).

“Tidakkah kau lihat, bagaimana Allah membedakan antara menciptakan dan memerintah, sedangkan memerintah adalah kalām Allah. Kalau saja kalām Allah itu tercipta, pastilah Allah tidak membedakan di antara keduanya”, demikian komentar Sufyān bin ‘Uyainah.

Argumentasi lain dipaparkan oleh Imām Aḥmad bin Ḥanbal. Beliau ber-istidlāl dengan hadits berikut:

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ. (رواه أبو داود و غيره).

Sesungguhnya pertama kali yang diciptakan Allah adalah qalam.” (HR. Abū Dāūd dan yang lain).

Sesungguhnya kalām telah ada sebelum penciptaan qalam. Maka hal ini menunjukkan bahwa kalām bukanlah sesuatu yang diciptakan. (441).

Kemudian, jika dikatakan “al-Qur’ān terbaca melalui lisan kita, tertulis di mushḥaf kita, terjaga dalam dada kita”, maka penyandaran ini benar, dan merupakan ḥaqīqat syar‘iyyah, bukan majāz, bukan pada ḥaqīqat ‘aqliyyah. Termasuk dalam penyandaran semacam ini adalah hadits berikut:

لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ الْجُنُبُ، وَ لَا الْحَائِضُ. (ابن ماجة).

Janganlah orang junub dan wanita haidh membaca al-Qur’ān.” (HR. Ibnu Mājah).

Jika dijanggalkan, al-Qur’ān yang telah dinyatakan sebagai sifat yang qadīm, bagaimana mungkin dapat ditulis, dibaca, dan dihafal? Jawabannya adalah sebagai berikut: Bahwa al-Qur’ān dilabeli sifat berdasar wujūd dari maujūdāt yang ada empat. Karena setiap sesuatu yang maujūd, ada wujūd dalam kenyataan luarnya (fil-khārij), wujūd dalam pikiran (fidz-dzihni), wujūd dalam ungkapan (fil-‘ibārat), dan wujūd dalam tulisan (fil-kitābah). Dan al-Qur’ān dengan memandang wujūdnya dalam kenyataan luar adalah qadīm dan menetap pada dzāt; memandang wujūdnya dalam pikiran, al-Qur’ān itu dihafal dalam dada; memandang wujūdnya lisāniy, al-Qur’ān itu dibaca; memandang wujūd banāniy (lewat ukiran, tulisan ujung jari), al-Qur’ān itu ditulis di mushḥaf-mushḥaf. Tulisan menunjukkan atas ungkapan, ungkapan menunjukkan atas apa yang ada dalam pikiran, dan apa yang ada dalam pikiran menunjukkan atas apa yang ada dalam kenyataan luar. (452).

Catatan:


  1. 44). Jalāl as-Suyūthī, Syarḥ-ul-Kawkab-is-Sāthi‘, vol II, hal. 525. 
  2. 45). Jalāl as-Suyūthī, Syarḥ-ul-Kawkab-is-Sāthi‘, vol II, hal. 526 dan Jalāl-ud-Dīn al-Maḥaliy, Syarḥu Jam‘-il-Jawāmi‘, vol. II, hal. 410. Hanya saja, tatkala al-Qur’ān dilabeli dengan sifat “dibaca” atau “ditulis”, atau “dihafal”, maka yang obyek-obyek tersebut bersifat ḥādits (baru). Meski demikian, selayaknya tidak melabeli al-Qur’ān sebagai “yang tercipta” dan “yang baru” di saat dinamai dengan sebutan “al-Qur’ān” karena akan menimbulkan kesan pernyataan yang berpotensi besar disalahpahami. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *