021 Orang Yang Beruntung Dan Celaka – Jam’-ul-Jawaami’

JAM‘-UL-JAWĀMI‘

Kajian dan Penjelasan dua Ushul
(Ushul Fiqh dan Ushuluddin)

Penyusun:
Darul Azka
Kholid Afandi
Nailul Huda

Penerbit: Santri salaf crew.

السَّعِيْدُ مَنْ كَتَبَهُ فِي الْأَزَلِ سَعِيْدًا وَ الشَّقِيُّ عَكْسُهُ ثُمَّ لَا يَتَبَدِّلَانِ وَ مَنْ عَلِمَ مَوْتَهُ مُؤْمِنًا فَلَيْسَ بِشَقِّيٍّ وَ أَبُوْ بَكْرٍ مَا زَالَ بَعَيْنِ الرِّضَا.

Orang beruntung adalah orang yang dicatat Allah di sejak azaliy sebagai orang yang beruntung. Orang celaka adalah sebaliknya. Kemudian, dua nasib itu tidak akan bertukar saling bergantian. Barang siapa yang Allah ketahui matinya dalam keadaan beriman, maka dia bukanlah orang yang celaka. Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. senantiasa berada dalam keridhaan Allah.

 

ORANG YANG BERUNTUNG DAN CELAKA.

Permasalahan ini termasuk di antara permasalahan yang diperselisihkan antar kalangan Asy‘ariyyah dan Ḥanafiyyah. Kalangan Asy‘ariyyah menyatakan, orang beruntung adalah orang yang dicatat Allah sejak azaliy sebagai orang yang beruntung. Dan sebaliknya, orang celaka adalah orang yang dicatat Allah sejak azaliy sebagai orang yang celaka. Kemudian, dua nasib itu tidak akan bertukar saling bergantian. Dari pengertian dan ketentuan ini, ada beberapa penjelasan, sebagaimana poin-poin berikut:

1. “Dicatat sebagai orang yang beruntung”, maksudnya adalah Allah mengetahui bahwa orang tersebut akan mati dalam keadaan beriman, meskipun sebelumnya orang tersebut pernah menganut agama kafir, maka dengan beriman, dosa-dosanya diampuni. Begitu pula: “dicatat sebagai orang yang celaka”, maksudnya adalah Allah mengetahui bahwa orang tersebut akan mati dalam keadaan tidak beriman, meskipun sebelumnya orang tersebut pernah menganut Islam, maka ‘amal kebaikannya dilebur.

2. “Sejak azaliy”; azaliy adalah suatu kondisi di mana Allah belum menciptakan sesuatu apapun. Dari batasan ini, disimpulkan bahwa nasib “beruntung” dan “celaka” tidak akan bertukar saling bergantian jika “pecatatan”-nya sejak azaliy, yakni hanya Allah-lah yang tahu. Berbeda halnya jika “pecatatan” nasib beruntung atau celaka tersebut pada selain azaliy, semisal pada Lauḥ-ul-Maḥfūzh (491), maka “catatan” tersebut masih bisa berubah atau bertukar saling bergantian. Allah berfirman:

يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَ يُثْبِتُ وَ عِنْدَهُ أَمُّ الْكِتَاب. (الرعد” 39).

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Umm-ul-Kitāb (pengetahuan di sisi Allah).” (QS. Ar-Ra‘d: 39).

Imām al-Asy‘ariy menyatakan bahwa Shaḥābat Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. senantiasa berada dalam keridhaan Allah, meskipun tidak menyandang perdikat iman sebelum membenarkan Rasūlullāh s.a.w. Karena tidak ada riwayat kekufuran yang pernah beliau anut, sebagaimana riwayat hidup shabahat lain sebelum beriman.

Catatan:


  1. 49). Ungkapan di atas diberlakukan menurut pendapat masyhur bahwa apa yang ada di Lauḥ-ul-Maḥfūzh bisa dihapus atau ditetapkan. Hal ini berpijak pada penafsiran umm-ul-kitāb sebagai pengetahuan Allah yang qadim. Adapun jika umm-ul-kitāb ditafsirkan sebagai Lauḥ-ul-Maḥfūzh, berpijak pada bahwa apa yang ada dalam Lauḥ-ul-Muḥfūzh pasti sesuai dengan pengetahuan di sisi Allah, maka tidak ada pergantian apapun dalam Lauḥ-ul-Mahfūzh. Sedang penghapusan dan penetapan sebagaimana dalam ayat, diarahkan pada semisal lembar catatan Malaikat Ḥafazhah (Malaikat Penjaga). Syaikh al-Banānī, Ḥāsyiyatu ‘alā Syarḥi Jam‘-il-Jawāmi‘, vol. II, hal, 413. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *