Surat-Surat Sang Sufi | Surat Keenam (7/10)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Orang terbaik sekarang yang menggeluti kajian ini adalah orang yang menggunakan kajian itu sebagai bangunan yang mendidik siapa saja yang membutuhkan keahlian mereka dalam memutuskan hukum yang menjadi wewenang faqih. Akan tetapi, mereka mempertahankan kedudukan mereka dengan penalaran yang tampaknya bagus. Misalnya, mungkin dikatakan, “Aku mengerjakan kewajiban memberantas kejahilan dan kesesatan. Sejak dulu hingga sekarang orang terus-menerus bekerja keras melakukan kewajiban itu, dan sangat menghargai pengkajian dan pencarian yang muhim, seperti halnya Malik dan ulama-ulama lainnya. Aku tempuh jalan yang sama serta mengerjakan pekerjaan mereka. Dengan begitu, bukankah aku ini tempat berlindung dari ketenggelaman dan sumber petunjuk bagi orang-orang yang melakukan kesalahan, dari jalan yang salah kembali ke jalan yang benar?”

Begitulah, mereka dengan tabah berusaha membuktikan ketulusan amal mereka; begitulah, mereka memberikan nasehat dan mencoba mendudukkan persoalan mereka. Tetap, yang demikian itu adalah saran dan bisikan setan untuk menyebarluaskan perselisihan dan kesesatan paling besar yang dilakukan setan dengan retorika yang halus dan argumentasi yang diputarbalikkan ialah, agar orang melupakan nafsunya dan Tuhan-nya. Setan mengendalikan orang itu dengan genggaman bahwa nafsunya, yang membuatnya tuli dan buta. Dengan membuang rasa takut dan kekhawatirannya, orang itu pun dikuasai kelalaian dan sifat tak berperasaan. Lalu dia bersahabat dengan orang hina, menimbulkan berbagai tindak kejahatan.

Hambatan-hambatan ini bertambah banyak dalam diri seseorang, sebanding dengan ketenggelamannya dalam kajian hukum, sehingga semakin sulit bagi dirinya untuk bebas dan melepaskan diri darinya. Semakin maju seseorang dalam belajarnya karena motif-motif yang serakah, maka semakin bertambah kejahilan dan kelemahannya. Dia laksana orang yang membangun sebuah benteng tapi meluluh-lantakkan sebuah kota.

Penilaian tinggi atas nafsu adalah indikatornya, dan juga kekagumannya pada intelegensia dan intiuisinya, keangkuhannya dan penolakannya untuk menerima saran dan nasihat spiritual. Karena qalbunya tidak penuh perhatian, dan telinganya tidak menyimak baik-baik, dia menolak itu dari orang yang mengemukakannya. Dia lecehkan sahabat-sahabat dan rekan-rekannya dalam belajar. Dia jatuhkan kedalam dosa paling besar, karena melontarkan fitnahan sewaktu mereka tidak ada. Orang yang telah mengalami cara kerja mereka dan menyaksikan tindakan-tindakan mereka, akan merasa yakin tentang kebenaran dari apa yang telah aku katakan tentang orang-orang ini. Jalan mereka nyata-nyata tidak sama dengan jalan leluhur kita yang saleh dalam agama, yang jalannya adalah persaudaraan, kekeluargaan, dan saling keterbukaan.

Nah, jika orang malang seperti ini menyadari kelalaian dan kesombongannya, menyadari keburukan amalnya berikut akibatnya, dan menginsafi keinginannya untuk bertobat, perubahan dalam qalbu, serta keadilan yang ditandai oleh nilai-nilai luhur, maka dia akan mengetahui bahwa kesengsaraan yang dideritanya  berakar-kuat dalam kecenderungan, dan bahwa kegelapannya memadamkan cahaya pengetahuan spiritual. Jika dia adalah sejenis orang yang sebelumnya penuh perhatian dan terbimbing secara benar di jalan kewaspadaan, maka dia akan memperhatikan prospek perjuangannya melawan hawa nafsunya dengan kecemasan luar biasa, tapi dia akan terus mencampakkan sifat-sifatnya yang penuh dosa, sekalipun dalam keadaan sangat sulit tak terperikan.

Jika sebaliknya, orang itu memiliki penilaian yang merugikan sehingga Allah menjadikan pengetahuannya serba-salah, maka kebutaannya akan semakin bertambah. Dia tetap menjadi budak hawa nafsunya, dan menderita kekalahan dalam urusan-urusan agama dan dunia. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.

Seseorang yang qalbunya menderita karena berbagai argumen yang tampaknya baik seperti itu,-sedangkan menyerah kepada kesalahan itu adalah musuh paling buruk-cukup hanya membandingkan, dengan mata kejujuran yang mantap, keadaan spiritual orang-orang yang telah aku uraikan dengan keadaan spiritual pemimpin agama yang telah aku sebutkan. Kemudian, dia akan melihat sendiri jurang perbedaan antara kedua kondisi tersebut, dan akan berkata, “Sungguh berbeda!”.

Itu karena pemimpin agama membangun jalan hidupnya di atas fondasi ketaqwaan kepada Allah, kesalehan, ketulusan qalbu dan keterbukaan. Yang demikian itu pada gilirannya menyebabkan ketajaman pandangan dan kesucian wujud batiniahnya. Pemimpin agama itu memahami kebenaran-kebenaran, yang tersembunyi maupun yang tampak, dan ilmu-ilmu dunia dan akherat nanti. Beroleh pertolongan di saat-saat mereka masih hidup dan di saat mereka berada bersama saudara-saudara mereka, dan bantuan serta persahabatan itu membuat segenap persoalan mereka benar dalam cara-cara yang tidak dialami oleh orang lain. Kita mengetahui semuanya ini, tentang keadaan spiritual para pemimpin itu, berkat pengkisahan terus-menerus riwayat-riwayat dari mereka mengenai soal itu.

Sang pencari juga harus menghindari sufi-sufi eksentrik yang tidak mau terikat oleh hukum dan yang tidak disiplin dalam segi formal praktik keagamaan. Sang pencari harus menghindari mereka, bahkan sewaktu dia menjauhkan diri dari ahli-ahli hukum (faqih), dan lebih-lebih karena orang itu sangat banyak merugikan.

Keadaan spiritual mereka sesuai dengan hasrat jiwa rendah,  sebab mereka mengklaim telah meraih kedudukan mulia dan terbebas dari kerja fisik. Yang demikian itu bertentangan dan pandangan kaum sufi sejati, dan berarti meninggalkan kecintaan pada Jalan (thoriqoh-ed.).

Guru Abu Al-Qasim Al-Qusyayri, semoga Allah merahmatinya, mengatakan, “Guru-guru spiritual sufi sepakat sepenuhnya, bahwa Hukum Wahyu (syariat-ed.) mesti dijunjung dan dihargai tinggi-tinggi. Mereka secara khas mengikuti Jalan latihan-latihan spiritual, dan berhati-hati dalam mengikuti Sunnah Nabi tanpa melanggar satu pun kewajiban praktik keagamaan. Mereka sepakat, bahwa seseorang yang tak mampu melakukan latihan-latihan spiritual dan pengingkaran diri, serta tidak membangun kehidupannya di atas fondasi  pengabdian dan ketaqwaan, berarti tidak memperhatikan Allah Swt., dan terpedaya bahkan ketika dia berdoa kepada-Nya. Orang seperti ini menghancurkan dirinya sendiri, dan menyebabkan kematian orang lain yang sudah tertipu oleh pembicaraannya yang sia-sia.

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *