Surat-Surat Sang Sufi | Surat Keenam (10/10)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

[Jawaban atas pertanyaan kesepuluh: Menyebutkan seseorang bagaimana harus bertindak dalam mengkaji spekulasi-spekulasi teologi para ulama.]

Sang pencari (murid-ed) mesti berusaha berperilaku pantas terhadap semua orang terdidik atau saleh. Dia tidak boleh menentang mereka atau mencari-cari kesalahan atas apa yang mereka lakukan, kecuali bila apa yang mereka ajarkan itu bertentangan dengan Hukum Wahyu. Dia tidak boleh berburuk-sangka kepada mereka, kecuali bila dia benar-benar yakin tentang persoalannya.

Manakala dia memperhatikan sesuatu yang dikatakan salah seorang rekan sezamannya atau yang lainnya, atau menyadari sesuatu yang telah mereka lakukan, dia mesti menundukkannya pada kupasan kritis Kitab Allah dan Sunnah Nabi, pada penafsiran harfiah maupun spiritualnya. Jika tindakan itu sesuai dengan kriteria-kriteria tersebut, maka hal itu tak jadi masalah. Jika tidak, dia mesti menjadi penafsiran yang absah. Jika dia mendapatkannya, maka hal itu amat baik; jika tidak, dia harus menangguhkan keputusan tentang masalah itu.

Hanya saja, jika dia kemudian bermaksud mengemukakan pandangan yang bertentangan, dia wajib mengesampingkannya dan tak usah memperhatikannya lagi. Semuanya ini berlaku hanya jika masalah hukum menjadi perhatian langsung dan krusial baginya. Jika masalah itu tidak menjadi perhatiannya, maka dia tidak boleh terlibat dalam pembuktian  dan kontra-pembuktian demi menunjukkan kesahihan atau ketidaksahihan masalah itu. Sang pencari harus berperilaku seperti Rasulullah Saw. ketika beliau bersabda, “Bagian penting dari Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang bukan menjadi urusannya.

Hendaknya sang pencari berhati-hati mengenai perilakunya terhadap kaum elit dan masyarakat umum dalam segenap urusannya, sebagaimana telah kujelaskan. Setelah dia menjadi cakap dalam segala yang telah kubicarakan, maka sang pencari akan beroleh, dengan izin Allah, kekuatan batin yang bakal menuntunnya ke latihan-latihan spiritual dan ke kedudukan dan keadaan spiritual yang lebih tinggi. Dia akan mengenal rahasia-rahasia hukum, ketika cahaya keyakinan terbit dalam qalbunya dan ketika dia beroleh makrifat tentang berbagai tipu daya dan khayalan dalam pengetahuan maupun tindakan.

Dia akan dapat membedakan antara kebenaran dan hal-hal yang remeh. Hanya akan memikirkan apa yang membuat Tuhannya ridha, dan dia hanya akan menginginkan apa yang diharapkannya bakal membuatnya sejahtera dan mendekatkannya pada Allah. Dia akan merasakan manisnya iman dan keyakinan, dan bertakwa kepada Allah akan sangat mudah baginya. Kenikmatan berada dalam kedudukan ini luar biasa, dan berbeda dari berbagai kenikmatan menganggumkan yang telah aku bicarakan sebelumnya. Inilah salah satu cara Allah Swt. menyegarkan sebagian hamba-Nya, sebagai kebaikan dan ungkapan kelembutan kepada mereka.

Akan tetapi, keringanan bukanlah sifat yang inheren dalam kedudukan penghambaan. Sesungguhnya, beban beberapa hamba menjadi berlipat ganda. Kontraksi menguasai mereka, dan mereka berdiri dihadapan Allah sebagai orang-orang yang telah pasrah menerima beban yang telah Dia pikulkan atas diri mereka. Keadaan spiritual mereka lebih sempurna ketimbang keadaan spiritual orang lain; sebab, dalam sikap dan kewaspadaan yang benar mereka beroleh kemajuan. Mereka aman dari berbagai bahaya yang mengharu-biru orang lain.

Al-Wasithi, semoga Allah merahmatinya, mengatakan, “Waspadalah terhadap rasa senang karunia, sebab orang-orang yang suci mengetahui bahwa hal itu adalah penyembunyian.

Dia juga mengatakan, “Berhati-hatilah: Manisnya amal sholeh seringkali meyembunyikan racun mematikan.” Alasan untuk itu adalah, karena hal ini membangkitkan jiwa rendah dan menyebabkan jiwa rendah percaya pada, dan menyesuaikan diri dengan, apa yang tampak jelas baginya. Yang demikian itu hanya menyebabkan kelalaian dalam masalah-masalah terlarang, sebab jiwa rendah semakin menjadi-jadi, yang ruang lingkupnya tidak bisa dijangkau, dan yang bahaya-bahayanya tidak bisa dipahami.

Inilah, sebagaimana diketahui  benar oleh Allah Swt. yang disebut-sebut oleh Al-Junayd ketika dia berkata, “Jika seseorang mengabdikan diri kepada Allah selama seribu tahun, dan kemudian tiba-tiba berpaling dari-Nya maka yang hilang darinya lebih besar ketimbang apa yang diperolehnya.” Dengan kata lain, orang itu merasa puas dengan kedudukannya dihadapan Allah, dan terpalingkan dari Tuhannya.

Seorang pembimbing spiritual berkata tentang kepuasan dan keamanan, “Aku takut kalau-kalau manisnya keduanya itu bisa memalingkanku dari Allah Swt.” Guru Abu Al-Qasim mengatakan, “Merasa dekat itu menabiri kedekatan, dan barangsiapa bersumpah dengan jiwa rendah (nafsu-ed.)nya, berarti dia telah ditipu jiwa rendahnya.

Ada juga yang mengatakan dalam hubungan ini, “Semoga Allah menjauhkanmu dari-Nya,’ yakni jauh dari mengalami kedekatan dengan-Nya. Sungguh, usaha-usaha untuk mengetahui kedekatan dengan-Nya mengandung tanda-tanda tipu daya. Sebab Allah Swt. berada di luar segala kedekatan, dan berada dalam kehadiran. Kebenaran Mistik hanya menimbulkan kebingungan dan kemusnahan. Berkenaan dengan ini, seseorang mengatakan:

Keterujian ku oleh-Mu bahwa aku tidak peduli

akan keterujianku itu;

Kedekatan-Mu adalah seperti kejauhan-Mu, lantas kapan aku akan terbebaskan?

Guru Abu ‘Ali Al-Daqqaq melantunkan banyak puisi seperti ini:

Kasih sayang-Mu berupa meninggalkan, dan cinta-Mu berupa kebencian;

Kedekatan-Mu adalah kejauhan, dan kedamaian-Mu adalah perang.

Abu Al-Husayn Al-Nuri berkata ketika bertemu salah seorang sahabat Abu Hamzah, yang banyak berbicara tentang kedekatan. Manakala engkau bertemu dengannya, katakan padanya bahwa Abu Al-Husayn Al-Nuri menyampaikan salam dan mengatakan, ‘Menurut kami, dekatnya adalah jauhnya kejauhan.’”

Mengembangkan sepenuhnya apa yang telah aku bicarakan, akan memakan waktu lama, dan memerlukan penyingkapan rahasia-rahasia yang kita tidak berwenang menyingkapnya. Begitu sang pencari sampai pada hal ini, qalbunya dipenuhi cahaya cemerlang dan pengetahuan-pengetahuan menakjubkan, sehingga dia dapat melihat sebagian dari kebesaran dan keagungan Tuhannya yang tak terlukiskan serta sebagian keajaiban dunia kekuasaan dan hikmah-Nya.

[Jawaban atas pertanyaan kesebelas: Merujuk ke surat lain.]

Aku telah mengatakan segala yang harus kukatakan tentang muslihat Tuhan, suatu soal yang dikemukakan oleh Syaikh Abu Thalib dalam Bab Takut. Aku tidak akan menjelaskan lebih jauh lagi, selain apa yang telah kubicarakan tentang hal itu dalam surat pertama. Puaslah dengan hal itu, dan renungkan uraian tentang soal itu. Pelajarilah dengan cermat, sebab ia disusun secara teratur, dikemukakan dengan argumen sangat teliti, dan sangat terpadu.

Aku menawarkan surat ini sebagai jalan bagi sang pencari menuju kedudukan (maqam) Keesaan Tuhan (Tawhid). Telah kusimpulkan soal ini, sehingga bisa diungkapkan dengan kata-kata, dan telah kuringkaskan semua pengetahuan dan jenis perilaku, yang uraian penuhnya memerlukan berjilid-jilid buku. Surat ini memuat jawaban penuh atas semua pertanyaanmu, terlepas dari pertanyaan-pertanyaan yang aku tak berkewajiban menjawabnya. Itulah yang aku maksudkan di sini.

Karena itu, aku memohon kepada Allah S.w.t. agar memberi kita keberhasilan dalam amal-amal kita sesuai dengan pengetahuan kita. Semoga Dia tidak memandang amal-amal kita sebagai kutukan atau laknat atas diri kita.

Berdoalah untukku serta semua sahabat kita yang membaca surat ini. Akhirnya, tidak ada kekuatan dan pertolongan kecuali dari Allah, Mahakuasa, Mahaagung. Dialah sebaik-baik pelindung kita. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas junjungan kita, Muhammad S.a.w., keluarga, dan para Sahabatnya.[*]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *