Surat-Surat Sang Sufi | Surat Kedelapan (2/2)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Orang-orang mendekati persoalan mereka dengan berbagai cara, dan terbagi ke dalam beberapa golongan. Sebagian orang menempuh jalan memeriksa amal-amal raga dan qalbunya, dan menggunakan ini sebagai sarana meraih pengetahuan sempurna tentang tentang kesalahan-kesalahan mereka berikut kewajiban-kewajiban lahiriah mereka. Dengan begitu, mereka sampai pada kesucian jiwa, dan membatasi perhatian mereka pada apa yang berkaitan semata-mata dengan diri mereka sendiri. Jika seseorang menanyakan kepada mereka masalah hukum, mereka menghubungi orang lain, sebab mereka memandang yang demikian itu sebagai cara melindungi diri mereka sendiri. Diriwayatkan juga hal-hal lainnya semisal itu, yaitu tentang orang-orang dalam golongan ini.

Yang lainnya pun sangat penuh perhatian manakala melihat bid’ah timbul di kalangan masyarakat, atau manakala cinta akan dunia ini mengalahkan hal-hal lainnya. Mereka percaya bahwa mereka berkewajiban memberikan jawaban kepada masyarakat seperti ini, dengan cara membebaskan mereka dari kejahilan keyakinan mereka serta dari berbagai kezaliman perilaku duniawi mereka.

Sebagian orang lagi takut akan bid’ah yang berada di luar batas-batas Islam awal. Mereka menganggap perubahan seperti ini sebagai bencana yang membahayakan diri mereka. Karenanya, mereka menempuh jalan kehati-hatian, dengan membatasi diri pada pengamalan keimanan tradisional-kaku dan menjauhi diskusi-diskusi intelektual. Seandainya seseorang mencoba mempengaruhi mereka atau menentang pandangan mereka, orang-orang ini serta merta menolak mereka dan sepenuhnya melecehkan mereka serta amal keagamaan mereka.

Mereka memandang diskusi dengan orang-orang semisal ini, dan keterlibatan dalam perdebatan sebagai membuang-buang waktu dan pekerjaan sia-sia. Dalam aktivitas keduniawian, kebanyakan orang ini tidak mencari jabatan dalam pemerintahan, baik dengan senang hati maupun terpaksa, lanataran sangat takut dengan bahaya yang terkandung dalam memegang jabatan itu. Orang-orang yang amal keagamaan dan kepedulian mereka pada kebaikan kaum Muslim membuat mereka memikul tanggung jawab kemasyarakatan, terus-menerus waspada, sebab mereka tidak bisa tenang pada situasi ini.

Kemudian ada orang-orang yang cenderung sekali pada perdebatan dan diskusi, malahan tenggelam didalamnya. Manakala mereka melihat gemuruh kontroversi datang mendekat dan api kebodohan dinyalakan. Mereka menjadi ahli dalam ahli dalam segi tertentu perdebatan itu. Lalu mereka berusaha keras dan tak kenal lelah menyiapkan pembelaan terhadap pandangan lawan. Mereka membuat hukum-hukum yang mengikat orang banyak, dan menjelaskan jalan-jalan petunjuk sehingga orang bisa beroleh petunjuk. Mereka menunggu-nunggu musuh-musuh agama disetiap tempat penyergapan dan pengintaian. Melindungi benteng-benteng dalam pertahanan paling tangguh. Kemudian, mereka menerima jabatan-jabatan dalam pemerintahan, seperti baru saja aku sebutkan. Betapa pun juga, mereka tetap frustasi, karena ternyata jabatan-jabatan ini tidak dapat mendatangkan kepatuhan yang dibutuhkan untuk membantu memenuhi hasrat-hasrat serta tujuan-tujuan mereka. Berbagai penderitaan dan cobaan tak terelakkan merundung mereka yang memegang jabatan-jabatan itu. Mereka benar-benar di uji dalam perjuangan dengan kesengsaraan.

Masing-masing golongan telah aku uraikan itu mengandung pandangan yang bisa diterima, dan sesuai dengan bagian masing-masing yang diberikan oleh Tuhannya. Tetapi, ketika waktu pun berlalu, golongan-golongan ini menjadi semakin sedikit jumlahnya dan makin pendek umurnya.Akibatnya, di zaman kita tanda-tanda dan jejak-jejak agama pun terhapus. Pemeluk-pemeluk agama yang bersemangat pun tidak ada lagi. Orang-orang tenggelam dalam gelombang dunia ini. Qalbu-qalbu merana. Segenap rasa malu pun hilang. Orang-orang pandai menyimpang dari ajaran yang benar.

Orang-orang banyak pun tersesat di gurun kejahilan dan kerusakan; kaum ulama sudah tidak ada. Orang-orang yang memiliki keyakinan pun sudah lenyap. Bumi menjadi gelap dengan hilangnya cahaya, tenggelamnya matahari dan bumi. Sahabat menjadi musuh. Ulama menjadi asalan-asalan. Saudara pun menjadi tidak setia dan mulai berkhianat. Para pembaca Al-Quran berlaku kurang ajar dan tersuruk-suruk dalam kejahilan. Kebenaran tertutupi oleh kebatilan, sementara para pembual yang lain dan orang-orang bodoh serta jahil mengklaim memiliki ilmu dan pengetahuan mendalam tentang kebenaran!1

Aku tidak bisa berbicara panjang lebar tentang orang-orang seperti ini. Tak banyak orang yang memahaminya. Bagimu, perhatikan betapa amat baik pengetahuan yang nyata itu! Perhatikan, apakah di zaman kita ini masih ada orang yang memiliki pijakan kuat, yang di dalam hatinya ada cahaya, dan yang sikapnya murni dan jelas. Selidikilah, apakah sekarang ini ada orang yang memperhatikan apa yang tidak diwajibkan, yang niatnya tetap murni dan suci mesti ditundung kemalangan sekalipun.

Disebabkan keadaan-keadaan zaman ini, sang pencari mestilah mengasingkan diri dalam kedukaan, air mata dan penyesalan. Dia harus mencari nasehat dari setiap orang yang benar-benar berpengetahuan, menyibukkan sepenuhnya dengan berbagai persoalan sendiri, dan lebih tegar ketimbang sebelumnya dalam menghadapi jiwa rendahnya. Dia mesti lari menghindari orang banyak, sebagaimana dia lari menghindari seekor singa. Dia mesti mengesampingkan penafsiran-penafsiran picik, dan jangan terpengaruh oleh celaan-celaan mereka kecuali dalam hal-hal yang jelas. Dia mesti bersabar dalam amal perbuatan ini sampai mati. Maka dia akan selamat dan beroleh ganjaran berlipat ganda yang dijanjikan buat orang-orang yang memulai amal perbuatan ini pada saat terakhir. Tetapi, jika Iblis memalingkan sang pencari dari jalan yang jelas ini, lantaran sang pencari tidak memanfaatkan rambu-rambu di sepanjang jalan itu, maka Allah Swt. tidak peduli, dilembah bumi mana pun dia bakal binasa.2

Setiap pencari haruslah mempunyai seorang penasehat spiritual yang akal nalurinya sehat. Jika menimbang semua yang telah aku katakan tadi dan mengkaji persoalan-persoalan ini dengan pikiran yang bebas dari keberpihakan dan penyimpangan. Dengan begitu, sang pencari bisa sampai pada pemahaman sempurna. Dengan petunjuk dan kemenangan dari Tuhannya, dia akan senantiasa berada di puncak ketinggian jalan, dan menjalankan agamanya dengan ketulusan serta penuh perhatian. Seorang ulama terkemuka, syaikh Abu Al-Qasim Abd-Rahman Ibn Muhammad  Abd Allah Al-Bakri Al-Syaqalli, menguraikan berbagai golongan hamba dan berbagai kerusakan yang merajalela di bumi ini, dalam karyanya Kitab Cahaya-Cahaya.3 Yang ada baiknya aku kutipkan ringkasan sebagian dari apa yang dibicarakan dalam kitab itu.

Al-Syaqalli menulis: Orang-orang generasi pertama (yakni para sahabat Nabi- penerj.) sangat tahu tentang Kitab Allah dan dapat menelaskan pengetahuan mendalam tentang teladan serta perilaku Rasulullah Saw. Sebab mereka adalah orang-orang yang sangat berpengetahuan luas. Kemuadian datanglah generasi kedua. Mereka adalah orang-orang yang juga berpengetahuan mendalam tentang makna-makna ayat-ayat Kitab  Allah, dan meneladani perilaku Muhammad, serta memahami tafsir dan penjelasan-penjelasan para sahabat. Hanya saja, cinta kasih kepada sesama yang merupakan ciri khas para sahabat berkurang di kalangan tabiin (generasi sesudah sahabat – peny.). Begitu pula dalam hal kezuhudan, saat itulah kemudian muncul kaum ahli bid’ah, yang menyesatkan orang-orang bodoh dan menundukkan orang-orang awam secara diam-diam.

Kemudian datanglah generasi ketiga. Ulama, yang berpegang teguh kepada ketulusan dan bertindak dalam batas-batas hukum, hampir sudah tidak ada lagi. Pengetahuan para sahabat dan Tabi’in sudah hilang. Di kalangan orang-orang pada zaman itu, jarang sekali dijumpai ketakutan, harapan, kesabaran, dan rasa syukur. Tetapi, sering dijumpai adanya diskusi, perselisihan, kontroversi, dan kemunafikan. Pertikaian merajalela, dan para juru dakwah pun melangkah di jalan-jalan kesesatan. Pengetahuan tentang Kebenaran Mistik jarang sekali dijumpai, kejahilan dan kebodohan merajalela.

Kekacauan tumbuh, seiring  dengan datangnya generasi keempat. Tak ada ada seorang musafir pun yang menempuh jalan petunjuk, dan kemunafikan pun menyebar luas. Berbondong-bondong orang meninggalkan agama,4menjual kebenaran dengan kebatilan dan akhirat dengan dunia ini. Dusta dan penipuan menjadi acara keseharian. Kemungkaran beroleh kejayaan. Wali-wali Allah sudah tiada. Orang-orang jahat meninggikan suara mereka. Orang-orang beriman pun pergi bersembunyi. Kesabaran telah hilang, dan nasehat yang baik sudah tidak ada lagi di mana-mana. Keakraban sudah mulai amat jarang. Niat dalam hubungannya dengan Allah berubah menjadi jahat. Orang-orang mulai berani menipu, berpesta pora, dan menumpahkan darah dengan cara tidak adil dan sewenang-wenang. Hal-hal yang haram menjadi urat nadi kehidupan, dan orang-orang tak bermoral beroleh prestise. Hampir semua orang yang memiliki keyakinan atau yang berusaha mengenal Kebenaran Mistik dirundung kesengsaraan dan perselisihan. Tetapi, masih ada beberapa orang  yang menyaksikan kekuasaan Allah, dan pengetahuannya tentang ketentuan-ketentuan Ilahi.

Dengan datangnya generasi kelima, kesulitan-kesulitan kaum muslimin semakin bertambah, sehingga mereka terpecah-belah menjadi berbagai golongan, yang menguasai dan yang dikuasai. Sebagian golongan bertengkar dengan golongan lainnya. Sebagian lagi menuntut balas-dendam atas yang lainnya. Sebab amalan keagamaan dan perilaku sehari-hari juga keduniawian mereka telah rusak. Mereka yang tetap meyakini kebenaran mistik, bisa menemukan kelegaan hanya  dengan menjauhkan diri dari orang banyak, dan menyembunyikan diri dari para juru dakwah.

Ketika generasi keenam datang menyusul, orang-orang yang adil pun sudah tidak ada lagi. Yang tinggal hanya orang-orang jahat. Akal telah diambil dari pengetahuan, dan menjadi sekedar bukti rasional. Islam tinggal hanya namanya saja. Kajian tentang Al-Quran sudah tidak ada, hanya meninggalkan sedikit bekas dan jejak. Kemudian, yang paling luar biasa dari segalanya, generasi ketujuh, jauh lebih jahat dan suka menentang. Begitulah terus keadaannya sampai Hari Kiamat kelak.

Itulah pandangan Al-Shaqalli. Pemikiran-pemikirannya tentang masalah ini sangat baik dan tak tertandingi ulama mana pun. Aku sudah lebih dari cukup berbicara tentang soal itu.

Akan kuakhiri sekarang, sebab aku telah melantur dan menyimpang ke topik-topik baru. Yang pasti, orang bisa berbicara lebih dari ini, sebab aku belum membahas banyak persoalan yang memerlukan petunjuk, dan telah meringkaskan uraianku hingga banayak hal yang memerlukan penjelasan lebih jauh. Aku melakukan yang demikian itu demi keringkasan . Aku telah berusaha menjawab butir-butir penting yang engkau tanyakan dalam suratmu. Dengan nasehat spiritual, saran, pengajaran, dan anjuran-anjuran yang dapat diterima akal.  Karena aku menyadari ketidakmampuanku menjawab sepenuhnya pertanyaan-pertanyaanmu dengan uraian mendalam yang pantas engkau peroleh , aku memberimu uraian selektif, dan berharap aku telah menjelaskan hal-hal penting, hubungan-hubungan, dan argument-argumen yang kelogisannya bisa dipahami setiap orang yang cerdas dan yang manfaatnya jelas nyata bagi setiap pencari yang bertobat.

Aku mengakui kekurangan-kekurangan dalam amal-amal yang aku uraikan di sini. Kualifikasi-kualifikasiku sendiri bertentangan sekali dengan yang baru saja aku sebutkan dan aku uraikan. Aku tidak dikuasai oleh jajan argumenku sendiri, dengan begitu aku berjalan tanpa tujuan.

Kuisyaratkan jalan petunjuk, tapi aku sendiri tak peroleh petunjuk;

Meski aku menguraikan obat penyakit, aku sendiri terus-menerus , menderita penyakit itu.

Aku ingin orang-orang suci dan orang-orang terkasih yang membaca surat ini berdoa untukku, agar aku diberi kemampuan untuk bertobat dan menyesali dosa-dosaku. Semoga harapanku itu bisa terwujud melalui kepatuhan, dan semoga amal-amalku dinilai sebagai kebaikan dan kebajikan. Yang demikian mudah saja bagi zat yang menciptakan segala sesuatu dan mengajarkan jalan kehidupan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Disinilah suratku ini kuakhiri. Segala puji bagi Allah Swt., Tuhan kita, dan salawat serta salam atas Nabi, Rasul-Nya, adalah kebanggaan kita dan teladan paling baik. [*]

Catatan:

  1. Dalam kalimat terakhir dari paragraph ini Ibn ‘Abbad mengacu kepada Al-Quran 17-18 dan sejumlah teks yang sama, misalnya QS 2 : 42, 3 : 71, dan sebagainya: “Kebenaran telah datang, dan kebatilan telah lenyap. “Betapapun juga, ini adalah acuan balik, dan orang merasakan bahwa Ibn ‘Abbad menggunakan kosa kata Kitab Suci dengan cara yang langsung bertentangan dengan teks Al-Quran dengan cara mempertegas ironi dan tragedi situasinya. DS 3 mengungkapkan dengan pandangan yang sangat mirip dengan pandangan Ibn ‘Abbad. Ditulis dengan paruh kedua abad kesepuluh, teks itu pantas dikutip untuk perbandingan “Akhirnya makna pun hilang dan tinggal nama saja. Substansi lenyap dan bayang-bayang pun menggantikannya: kesadaran menjadi hiasan, dan kebenaran menjadi dekorasi. Orang yang tidak mengetahui (kebenaran) pura-pura memilikinya. Orang yang tidak pernah menguraikannya, menghiasi diri dengannya: orang yang banyak membicarakannya, mengingkarinya dengan tindakan-tindakannya, dan orang yang menampakkannya, menyembunyikannya dengan perilaku sebenarnya. Yang bukan bagian darinya, dimasukkan kedalamnya; dan yang bukan berada di dalamnya, diasalkan kepadanya: kebenarannya dijadikan kebatilan, dan orang yang mengetahuinya disebut orang bodoh.Tetapi, orang yang telah mengalami (kebenaran) menjauhkan diri, lantaran iri hati kepadanya. Maka kalbu-kalbu (manusia) pun lari darinya, dan jiwa-jiwa pun mati; ilmu (yakni pengetahuan) dan pemilik-pemiliknya, uraian dan pengalamannya pun lenyap; orang-orang bodoh menjadi ilmuwan, dan ilmuwan pun menjadi pembimbing.”
  2. Seperti dilakukan Al-Ghazali dalam FH 79, Ibn ‘Abbad di sini mengutip bagian terakhir dari sebuah hadis tanpa menyebutkan bahwa itu adalah hadis. MM 61 memberikan terjemahan ini: “Jika seseorang menaruh perhatian pada kesejahteraan abadi hasil keseluruhan dari perhatiannya itu, Allah akan melindunginya dari perhatian dunia, tapi jika dia punya berbagai perhatian atas soal-soal yang berkaitan dengan dunia ini, maka dia bakal binasa.” Kemudian, dalam mengutip bagian kedua darinya sebagaimana terdapat dalam MS 61, DS 114 memberikan terjemahan yang sedikit berbeda.
  3. ST 13-16 memberikan informasi yang mengidentifikasi Shaqalli ini (“Orang dari Sicilia,”dieja Shaqalli dalam ST) sebagai penyusun, periwayat, dan pengulas akhir bagi sebuah karya yang bersumber dari Sahl al-Tustari. “Saqalli ini dikenal sebagai ahli hadis, faqih, dan sufi yang menulis sebuah risalah sufi yang dikenal dengan Anwar al-Shaqali (cahaya-cahaya tentang pengetahuan segenap rahasia dan kedudukan orang-orang tulus adalah judul lengkapnya)…Kami ketahui bahwa Shaqalli mencela para faqih lantaran mereka menolak mengakui karamah, anugerah-anugerah karismatik yang Allah berikan kepada kaum sufi.” Dia adalah murid dari beberapa guru terkemuka Qayrawan, dan meninggal sebelum 996 M, tapi bukan sebelum 990 M.
  4. “Meninggalkan agama dengan berbondong-bondong” adalah rujuk balik kepada Kitab Suci. Dalam Al-Qur’an 110 : 2, Nabi diperintahkan bertasbih memuji Allah tatkala kalimat “Manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.” Shaqalli menggunakan istilah Al-Qur’an yang berarti berbondong-bondong,” afwan. Rujukan ini segera diikuti oleh yang lainnya yang sama dengan penyebutan Ibn ‘Abbad tentang kebenaran yang menggantikan kebatilan di awal surat ini.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *