Surah an-Naba’ 78 ~ Tafsir Sayyid Quthb (2/3)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah an-Naba' 78 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Kemudian dibentangkanlah pemandangan ‘adzāb dengan segala kekuatan dan kekerasannya:

Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya. Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal. Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya. Segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab. Karena itu, rasakanlah. Dan Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain dari ‘adzāb.” (an-Naba’: 21-30).

Kemudian ditunjukkan pula pemandangan ni‘mat yang memancar demikian derasnya:

Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwā mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta. Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak.” (an-Naba’: 31-36).

Kemudian surah ini ditutup dengan memberikan kesan yang luhur mengenai hakikat hari itu di dalam pemandangan yang ditampakkan padanya. Juga dengan memberikan peringatan kepada manusia sebelum datangnya hari yang padanya terdapat pemandangan yang agung ini:

Tuhan Yang Memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia. Pada hari, ketika ruḥ dan para malaikat berdiri bershaff-shaff, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi idzin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. Itulah hari yang pasti terjadi. Karena itu, barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: “Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.” (an-Naba’: 37-40).

Itulah berita besar yang mereka pertanyakan. Itulah berita besar yang kelak akan mereka ketahui.

Berita Besar.

عَمَّ يَتَسَاءَلُوْنَ. عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيْمِ. الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ مُخْتَلِفُوْنَ. كَلَّا سَيَعْلَمُوْنَ. ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُوْنَ.

Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui, Kemudian sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui.” (an-Naba’: 1-5).

Inilah bagian permulaan yang mengandung pertanyaan bernada ingkar terhadap persoalan yang mereka pertanyakan, dan mengandung keheranan mengapa persoalan seperti itu mereka pertanyakan. Mereka mempertanyakan hari kebangkitan dan berita tentang kiamat. Inilah persoalan yang mereka perdebatkan dengan sengit, dan hampir-hampir mereka tidak pernah membayangkan terjadinya, padahal inilah yang paling utama mereka lakukan: “Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?” (an-Naba’: 1).

Persoalan apakah yang mereka perbincangkan? Kemudian dijawab.

Pertanyaan itu tidak dimaksudkan untuk mengetahui jawabannya dari mereka, tetapi hanya untuk menunjukkan keheranan terhadap keadaan mereka dan untuk mengarahkan perhatian terhadap keganjilan pertanyaan mereka. Diungkaplah persoalan yang mereka pertanyakan dan dijelaskanlah hakikat-dan tabiatnya:

Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini.” (an-Naba’’ 2-3).

Tidak disebutkan batas tentang sesuatu yang mereka pertanyakan itu dengan menyebutkan wujudnya, melainkan hanya disebutkan sifatnya saja. Penyebutan sifatnya ini untuk menyampaikan berita yang besar dengan menunjukkan ketakjuban. Juga untuk mengagungkan dan menunjukkan perbedaan sikap terhadap hari itu antara orang-orang yang mengimaninya dan orang-orang yang tidak mempercayai terjadinya. Adapun yang mempertanyakannya hanyalah mereka saja.

Kemudian tidak diberikan jawaban tentang apa yang mereka pertanyakan itu. Tidak dipaparkan pula hakikat sesuatu yang mereka pertanyakan itu, melainkan dibiarkan dengan sifatnya saja yang besar. Kemudian pembicaraan beralih kepada ancaman yang ditujukan kepada mereka. Hal ini lebih mengena daripada jawaban secara langsung, dan lebih mendalam ketakutan yang ditimbulkannya:

Sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui, Kemudian sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui.” (an-Naba’: 4-5).

Lafal “kallā” “sekali-kali tidak!” diucapkan untuk membentak dan menghardik. Karena itu, lafal ini sangat tepat dipakai di sini sesuai dengan bayangan yang perlu disampaikan. Diulangnya lafal ini beserta kalimatnya adalah untuk mengancam.

Fenomena Alam yang Perlu Diperhatikan

Kemudian, di luar tema berita besar yang mereka perselisihkan itu, dibawalah mereka untuk melakukan perjalanan yang dekat di alam semesta yang terlihat ini bersama sejumlah benda-benda yang berwujud, fenomena-fenomena, hakikat-hakikat, dan pemandangan-pemandangan yang menggetarkan hati yang mau merenungkannya:

أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا. وَ الْجِبَالَ أَوْتَادًا. وَ خَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا. وَ جَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا. وَ جَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا. وَ جَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا. وَ بَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا. وَ جَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا. وَ أَنزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا. لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَ نَبَاتًا. وَ جَنَّاتٍ أَلْفَافًا.

Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? gunung-gunung sebagai pasak? Kami jadikanmu berpasang-pasangan, Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, Kami jadikan malam sebagai pakaian, Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, Kami bangun di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat?” (an-Naba’: 6-16).

Perjalanan di hamparan alam semesta yang luas dengan lukisan-lukisan dan pemandangan-pemandangannya yang besar, dikemas dengan kata-kata dan kalimat-kalimat singkat. Sehingga, memberikan kesan yang tajam, berat, dan mengena. Ia seakan-akan alat-alat pengetuk yang mengetuk bertalu-talu dengan tiada berhenti dan tiada putusnya.

Kalimat tanya yang diarahkan kepada lawan bicara, yang menurut ‘ilmu bahasa menunjukkan penetapan, memang merupakan bentuk kalimat yang sengaja dibuat demikian. Seakan-akan ia merupakan tangan kuat yang menggoncangkan orang-orang lalai. Ya‘ni, orang-orang yang mengarahkan pandangan dan hati mereka kepada himpunan makhlūq dan fenomena-fenomena yang mengisyāratkan adanya pengaturan dan penentuan di belakangnya. Juga mengisyāratkan adanya hikmah yang tidak membiarkan makhlūq (manusia) tanpa pertanggungjawaban, tanpa dihisab, dan tanpa diberi pembalasan. Di sini, bertemulah ia dengan berita besar yang mereka perselisihkan itu.

Sentuhan pertama dalam perjalanan ini adalah tentang bumi dan gunung-gunung:

Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? gunung-gunung sebagai pasak?” (an-Naba’: 6-7).

Al-mihād” berarti dihamparkan untuk tempat berjalan di atasnya, dan hamparan yang lunak bagaikan buaian. Kedua ma‘na ini saling berdekatan. Ini adalah hakikat yang dapat dirasakan manusia apa pun tingkat kebudayaan dan pengetahuannya. Sehingga, tidak memerlukan pengetahuan yang banyak untuk memahaminya dalam bentuknya yang nyata.

Keberadaan gunung-gunung sebagai pasak bumi itu merupakan sebuah fenomena yang dapat dilihat oleh mata orang pedalaman sekalipun. Baik yang ini (bumi dengan hamparannya) maupun yang itu (gunung yang menjadi pasak bumi) memiliki kesan tersendiri di dalam perasaan apabila jiwa manusia diarahkan ke sana untuk merenungkannya.

Akan tetapi, hakikat ini lebih besar dan lebih luas jangkauannya daripada apa yang diperkirakan oleh manusia Badui (pedalaman) ketika ia semata-mata menerima dengan indranya. Setiap kali meningkat dan bertambah pengetahuan manusia tentang tabiat alam dan perkembangannya, maka semakin besarlah kesannya terhadap ini di dalam jiwanya. Lalu, mengertilah ia bahwa di balik itu terdapat kekuasaan Ilahi yang agung dan rencana-Nya yang halus penuh hikmah. Demikian juga dengan adanya kesesuaian antara anggota-anggota alam semesta ini dan kebutuhan-kebutuhannya, beserta disiapkannya bumi ini untuk menerima kehidupan manusia dan mengasuhnya. Juga disiapkannya manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk saling mengerti.

Dihamparkannya bumi bagi kehidupan, dan bagi kehidupan manusia secara khusus, menjadi saksi tak terbantahkan yang memberikan kesaksian akan adanya akal yang mengatur di balik alam wujud yang nyata ini. Karena itu, rusaknya salah satu kerelevanan penciptaan bumi dengan semua kondisinya, atau rusaknya salah satu kerelevanan penciptaan kehidupan untuk hidup di bumi, maka kerusakan di sini ataupun di sana tidak akan menjadikan bumi sebagai hamparan. Juga tidak akan ada lagi hakikat yang diisyāratkan oleh al-Qur’ān secara global, untuk dimengerti oleh setiap manusia sesuai dengan tingkat ‘ilmu dan pengetahuannya.

Dijadikannya gunung sebagai pasak bagi bumi, dapat dimengerti oleh manusia dari segi bentuknya dengan pandangannya semata-mata, karena ia lebih mirip dengan pasak-pasak kemah yang diikatkan padanya. Adapun hakikatnya kita terima dari informasi al-Qur’ān. Darinya kita mengetahui bahwa gunung-gunung itu memantapkan bumi dan menjaga keseimbangannya. Mungkin karena gunung-gunung itu menyeimbangkan antara kerendahan lautan dan ketinggian gunung-gunung; menyeimbangkan antara pengerutan rongga bumi pada titik tertentu hingga ia tidak lenyap dengan adanya gempa bumi, gunung meletus, dan goncangan-goncangan dalam perutnya. Atau, mungkin karena ada alasan lain yang belum terungkap hingga kini. Karena, banyak sekali aturan dan hakikat-hakikat yang tidak diketahui manusia yang diisyaratkan oleh al-Qur’ān-ul-Karīm, kemudian diketahui sebagiannya oleh manusia setelah beratus-ratus tahun berikutnya!

Sentuhan kedua adalah mengenai jiwa manusia, dalam beberapa segi dan hakikat yang berbeda-beda:

“….. Kami jadikan kamu berpasang-pasangan……” (an-Naba’: 8).

Ini juga merupakan satu fenomena yang perlu diperhatikan, yang dapat diketahui oleh setiap manusia dengan mudah dan sederhana. Allah telah menjadikan manusia terdiri dari laki-laki dan wanita, dan menjadikan kehidupan dan pelestariannya dengan adanya perbedaan jenis kelamin yang berpasangan dan pertemuan antara kedua jenis kelamin yang berbeda itu.

Setiap orang mengetahui fenomena ini, dan merasakan adanya kegembiraan, keni‘matan, kesenangan, dan kebaruan suasana tanpa memerlukan ‘ilmu yang banyak. Karena itu, al-Qur’ān membicarakan hal ini kepada manusia di lingkungan manapun ia berada. Sehingga, ia mengetahuinya dan terkesan olehnya apabila ia mengarahkan pikirannya ke sana, dan merasakan adanya tujuan, kesesuaian, dan pengaturan padanya.

Di belakang perasaan-perasaan yang bersifat global terhadap nilai hakikat ini dan kedalamannya, terdapat pemikiran-pemikiran lain ketika manusia itu meningkat pengetahuan dan perasaannya. Di sana terdapat pemikiran tentang kekuasaan yang menjadikan nutfah (mani) itu anak laki-laki dan nutfah ini anak wanita. Padahal, tidak ada sesuatu yang membedakan secara jelas di dalam nutfah ini atau itu, yang menjadikannya menempuh jalannya untuk menjadi anak laki-laki atau anak wanita.

Ya Allah, ini tidak lain kecuali karena adanya irādah kudrat yang menciptakan dengan rencana yang halus, dan pengarahan yang lembut. Juga pemberian ciri-ciri khusus yang dikehendaki-Nya pada nutfah ini dan itu, untuk menciptakan dari keduanya dua insan berpasangan, guna mengembangkan dan melestarikan kehidupan.

“….Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, Kami jadikan malam sebagai pakaian, Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan” (an-Naba’: 9-11).

Di antara pengaturan Allah terhadap manusia ialah menjadikan tidur sebagai istirahat dan menghentikan mereka dari berpikir dan beraktivitas. Dia menjadikan mereka dalam keadaan yang tidak mati dan tidak pula hidup, untuk mengistirahatkan fisik dan saraf-sarafnya. Juga untuk memulihkan tenaga yang dikeluarkannya pada saat jaga, bekerja, dan sibuk dengan urusan kehidupan.

Semua ini terjadi dengan cara menakjubkan yang manusia tidak mengerti caranya/ Tidak ada andil sedikit pun irādah manusia di dalam hal ini, dan tidak mungkin ia mengetahui bagaimana hal ini berjalan dengan sempurna sedemikian rupa. Ketika dalam keadaan jaga pun, ia tidak mengetahui bagaimana cara kerjanya pada saat tidur. Apalagi dalam keadaan tertidur. Sudah tentu ia tidak mengetahui keadaan ini dan tidak dapat memperhatikannya.

Ini adalah salah satu rahasia bangunan makhlūq hidup yang tidak diketahui kecuali oleh yang menciptakannya dan meletakkan rahasia itu padanya, serta menjadikan kehidupannya bergantung atasnya. Maka, tidak ada seorang pun yang mampu hidup tanpa tidur kecuali dalam waktu yang sangat terbatas. Kalau ia memaksakan diri dengan menggunakan sarana-sarana luar agar terus berjaga (tidak tidur), maka sudah tentu ia akan binasa.

Di dalam tidur pun terdapat rahasia-rahasia yang tidak berkaitan dengan kebutuhan fisik dan saraf. Yaitu, berhentinya ruh dari melakukan pergulatan hidup yang keras. Ketenangan mengunjunginya sehingga ia meletakkan senjata dan meninggalkkan kebunnya, senang ataupun tidak senang. Ia menyerah kepada saat kedamaian yang penuh keamanan, yang dibutuhkan setiap orang sebagaimana kebutuhannya terhadap makanan dan minuman.

Terjadilah sesuatu yang mirip mu‘jizat pada saat-saat tertentu ketika rasa kantuk menimpa kelopak mata, ruh merasa berat, saraf-saraf telah letih, jiwa gelisah, dan hati merasa takut. Kantuk ini – yang kadang-kadang hanya beberapa saat saja – seakan-akan membuat pembalikan (perubahan) total bagi keberadaan manusia, dan memperbarui bukan hanya kekuatannya melainkan dirinya, sehingga ia seakan-akan sebagai wujud baru setelah bangun. Kemu‘jizatan (keluarbiasaan) ini pernah terjadi dalam bentuk yang jelas bagi kaum Muslimīn yang kelelahan dalam Perang Badar dan Perang Uhud. Allah memberi keni‘matan dan ketenteraman kepada mereka dengan kantuk ini sebagaimana yang terjadi pada banyak orang dalam keadaan-keadaan yang mirip. Firman-Nya:

(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman dari-Nya.” (al-Anfāl: 11).

Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kamu.” (Āli ‘Imrān: 154).

Maka, istirahat ya‘ni menghentikan berpikir dan berakitvitas dengan tidur ini merupakan suatu keharusan dari keharusan-keharusan bangunan kehidupan. Ia merupakan satu rahasia dari rahasia-rahasia kekuasaan yang mencipta, dan salah satu ni‘mat dari ni‘mat-ni‘mat Allah yang tidak ada seorang pun yang mampu memberikannya selain Dia. Adapun mengarahkan perhatian kepadanya sebagaimana yang dicontohkan al-Qur’ān ini, mengingatkan dan menyadarkan hati kepada kekhususan-kekhususan Dzāt-Nya. Juga kepada tangan yang mewujudkan eksistensinya dan menyentuh hati tersebut dengan sentuhan yang membangkitkannya untuk memikirkan dan merenungkan serta mengambil kesan darinya.

Di antara pengaturan Allah juga ialah Dia menjadikan gerakan alam ini selaras dengan gerakan makhlūq-makhlūq hidup. Sebagaimana Dia meletakkan pada manusia rahasia tidur dan istirahat sesudah bekerja dan melakukan aktivitas, maka Dia meletakkan pada alam ini fenomena malam sebagai pakaian penutup yang menjadikan istirahat dan pengenduran saraf itu berjalan dengan sempurna. Juga meletakkan fenomena siang untuk mencari penghidupan, yang dalam waktu siang inilah gerak dan aktivitas dapat berjalan dengan sempurna.

Dengan demikian, selaras dan serasilah ciptaan Allah, dan alam ini pun sangat cocok bagi makhlūq-makhlūq hidup itu dibekali dengan susunan yang cocok dengan gerak dan kebutuhan-kebutuhannya, sesuai dengan kekhususan-kekhususan dan kesesuaian-kesesuaian yang diletakkan pada alam semesta. Semua ini keluar dari tangan kekuasaan yang mencipta dan mengatur dengan serapi-rapinya.

Sentuhan ketiga adalah tentang penciptaan langit yang sangat serasi dan sesuai dengan bumi dan makhlūq hidup:

Kami bangun di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat?” (an-Naba’: 12-16).

Tujuh buah yang kokoh yang dibangun Allah di atas bumi itu adalah langit yang tujuh, yaitu tujuh petala langit sebagaimana disebutkan di tempat lain. Dan, yang dimaksud dengannya dengan pembatasan ini hanya Allah yang mengetahuinya. Mungkin yang dimaksudkan adalah tujuh gugusan bintang, yang setiap satu gugusannya bisa mencapai ratusan juta bintang. Ketujuh gugusan inilah yang mempunyai hubungan dengan bumi dan tata surya kita. Mungkin yang dimaksudkan bukan ini dan bukan itu. Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam susunan alam semesta ini, sedangkan yang diketahui oleh manusia hanya sedikit.

Sesungguhnya ayat ini hanya mengisyāratkan bahwa tujuh buah langit yang kokoh itu sangat kokoh dan kuat bangunannya, yang tidak mungkin retak dan berantakan. Inilah yang kita lihat dan kita ketahui dari tabiat tata surya dan benda-benda angkasa yang biasa kita sebut dengan langit, yang dapat diketahui oleh setiap orang. Di samping itu, ayat ini juga mengisyaratkan bahwa bangunan tujuh langit yang kokoh itu serasi dengan planet bumi dan manusia. Karena itulah, ia disebutkan di dalam membicarakan pengaturan Allah dan penentuan-Nya terhadap kehidupan bumi dan manusia, yang ditunjuki oleh ayat sesudahnya:

Kami jadikan pelita yang amat terang.” (an-Naba’ 13).

Yaitu, matahari yang bersinar terang-benderang yang menimbulkan rasa panas untuk hidupnya bumi dan makhlūq-makhlūq hidup di atasnya. Juga menimbulkan pengaruh bagi terbentuknya awan yang membawa uap air dari lautan yang luas di bumi dan menaikkannya ke lapisan-lapisan udara yang sangat tinggi. Itulah al-mu‘shirāt “awan” sebagaimana disebutkan dalam ayat:

“…..dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah.” (an-Naba’: 14).

Ketika ia diperas, lalu turun dan berjatuhan yang berupa air. Siapakah yang memerasnya? Mungkin angin atau kehampaan aliran listrik pada beberapa tingkatan udara. Di balik semua itu terdapat tangan kekuasaan yang menimbulkan pengaruh-pengaruh pada alam semesta. Pada pelita terdapat penyalaan, panas, dan cahaya, yang semuanya terdapat pada matahari. Karena itu, dipilihnya kata “sirāj” “pelita” di sini merupakan pilihan yang sangat cermat dan jeli.

Dari pelita yang amat terang dengan segala cahaya terang dan panasnya, dan dari awam dengan air yang diperas darinya hingga banyak tercurah, tumbuhlah biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan untuk dimakan, kebun-kebun yang lebat, serta pohon-pohon yang rimbun dan bercabang-cabang.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *