Surah al-‘Alaq 96 ~ Tafsir al-Azhar (2/2)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-'Alaq 96 ~ Tafsir al-Azhar

Sebab turunnya ayat lanjutan dari 9 sampai 14 ini ialah bahwa setelah datang ayat-ayat memerintahkan Rasūlullāh s.a.w. menyampaikan da‘wah dan seruannya kepada penduduk Makkah, banyaklah orang yang benci dan marah. Di antaranya ialah orang-orang yang sifatnya telah dikatakan kepada ayat 6 sampai 8 tadi, yang merasa dirinya berkecukupan dan hidupnya melanggar dan melampaui batas. Seorang di antara mereka yang sangat terkemuka ialah Abū Jahal. Dia benci benar kepada Rasul, sebab beliau menyerukan menghentikan menyembah berhala, dan supaya orang hanya menyembah kepada Allah Yang Esa. Dan Nabi s.a.w. dengan tidak perduli kepada siapa pun, pergi sembahyang di Ka’bah menyembah Allah menurut keyakinannya dan cara yang telah dipimpinkan Tuhan kepadanya.

Menurut sebuah Hadis dari Ibnu Abbās yang dirawikan oleh Bukhārī dan Muslim, setelah Abū Jahal mendengar dari kawan-kawannya bahwa Muḥammad telah pernah sembahyang seperti itu di Ka‘bah, sangat murkanya, sampai dia berkata: “Kalau saya lihat Muḥammad itu sembahyang di dekat Ka‘bah, akan saya injak-injak kuduknya.”

Seketika ancaman Abū Jahal itu disampaikan orang kepada beliau s.a.w., beliau berkata: “Kalau dia berani, malaikatlah yang akan menariknya.”

Maksud susunan ayat-ayat ini ialah: “Adakah engkau perhatikan.” (pangkal ayat 9). Atau adakah teringat olehmu, ya Muḥammad Rasul Allah, “Orang yang melarang?” (ujung ayat 9). Atau menghambat dan menghalang-halangi dan mengancam kepada: “Seorang hamba.” (pangkal ayat 10). Seorang hamba Allah, yaitu Muḥammad s.a.w.. — Dalam ayat ini dan terdapat juga dalam ayat-ayat yang lain, beliau disebutkan seorang hamba Allah sebagai kata penghormatan dan jaminan perlindungan yang diberikan kepadanya: “Apabila dia sembahyang.” (ujung ayat 10).

Adakah engkau perhatikan keadaan orang itu? Yaitu orang yang mencoba hendak menghalangi seorang hamba yang dicintai Allah akan mengerjakan sembahyang karena cinta dan tunduknya kepada Tuhan yang mengutusnya jadi Rasūl? Bagaimanalah pongah dan sombongnya orang yang mencegahnya sembahyang itu? Sehingga mana benarkah kekuatan yang ada padanya, sehingga dia sampai hati berbuat demikian?

Adakah engkau perhatikan, jika dia ada atas petunjuk?” (ayat 11). Coba engkau perhatikan dan renungkan, siapakah yang akan menang di antara kedua orang itu? Orang yang menghalangi orang sembahyang, dengan orang yang memperhambakan dirinya kepada Allah itu? Apatah lagi jika jelas nyata bahwa orang yang memperhambakan diri ini. Dan telah diakui Allah pula bahwa orang itu HAMBANYA? Berjalan di atas jalan yang benar, yang mendapat hudan, mendapat petunjuk dan bimbingan dari Tuhan? “Atau dia menyuruh kepada bertakwa?” (ayat 12).

Dapatkah orang yang sombong pongah, merasa diri cukup dan kaya itu, dapat mengalahkan hamba Allah yang sembahyang, bertindak menurut tuntunan Tuhan, menyeru dan menyuruh manusia supaya bertakwa kepada Allah? Sebandingkah di antara keduanya itu? Cobalah perhatikan!

Adakah engkau perhatikan jika dia mendustakan dan berpaling?” (ayat 13). Abu Jahal juga! Dia dustakan seruan yang dibawa Nabi. Dan bila diajak bicara dari hati ke hati dia berpaling membuang muka. Tak mau mendengar sama sekali.

Cobalah perhatikan, alangkah jauh bedanya di antara kedua peribadi ini. Mungkin dengan sikap sombong dan gagah perkasa si Abu Jahal yang merasa dirinya tinggi dan kaya itu orang akan takut dan mundur, kalau orang yang diancam itu tidak berpendirian, tidak menghambakan diri kepada Allah, tidak kalau yang dihadapinya itu Muḥammad s.a.w., Rasul Allah, Nabi penutup dari sekalian Nabi, maksud si Abū Jahal, atau setiap orang yang berperangai seperti perangai Abū Jahal, tidaklah akan berhasil. Sebab kuncinya telah diperingatkan kepada Muḥammad s.a.w., yaitu ayat selanjutnya:

Tidakkah dia tahu bahwa Allah Melihat?” (ayat 14).

Dalam hati kecilnya tentu ada pengetahuan bahwa Allah melihat perbuatannya yang salah itu, menghalangi hamba Allah sembahyang, bahkan menghambat segala langkah Rasul membawa petunjuk dan seruan kebenaran. Tetapi hawa nafsu, kesombongan dan sikap melampaui batas karena merasa diri sanggup, cukup dan kaya, menyebabkan kesadaran kekuasaan Allah itu jadi hilang atau terpendam.

Inilah gambaran nyata yang disambungkan pada Sūrat-ul-‘Alaq tentang hambat rintangan yang diterima Rasūl s.a.w. seketika beliau memulai melakukan tugasnya menyampaikan da’wah.

كَلَّا لَئِنْ لَّمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ. نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ. فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ. سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ. كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَ اسْجُدْ وَ اقْتَرِبْ

096:15. Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya,
096:16. (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.
096:17. Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),
096:18. kelak Kami akan memanggil malaikat Zabāniyah,
096:19. sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).

 

Ini adalah ancaman!

Sungguh! Jika dia tidak mau juga berhenti.” (pangkal ayat 15). Dari menghalangi Utusan Allah menyampaikan seruannya, dan tidak mau juga berhenti mengejek dan menghina: “Sesungguhnya akan Kami sentakkan ubun-ubunnya.” (ujung ayat 15).

Ubun-ubun” yang penuh “dengan dusta, dengan kesalahan.” (ayat 16). Ditarik ubun-ubunnya artinya ialah karena kepala dari orang itu sudah kosong dari kebenaran. Isinya hanya dusta dan bohong, kesalahan dan nafsu jahat. Artinya dia pasti akan mendapat hukuman yang kejam dari Tuhan.

Biarkan dia panggil kawan-kawan segolongannya.” (ayat 17). Berapa orang konconya, berapa orang yang berdiri di belakang menjadi penyokongnya, suruh mereka berkumpul semuanya dengan maksud hendak melawan Allah!

Akan Kami panggil (pula) Zabāniyah.” (ayat 18). Zabāniyah adalah nama malaikat-malaikat yang menjadi penjaga dalam neraka. Rupanya kejam dan gagah perkasa dan menakutkan, laksana algojo dalam permisalan dunia ini, yang tidak merasa kasihan apabila dia diperintahkan menjatuhkan hukuman gantung kepada yang bersalah. Maka Zabāniyah-zabāniyah itu dengan kegagahan dan keseraman rupanya, tidaklah akan sebanding dengan manusia yang sombong, melampaui batas dan tidak tahu diri itu.

Sungguh! Jangan engkau ikut dia.” (pangkal ayat 19). Jangan engkau perdulikan dia, jangan engkau takut dan bimbang. Teruskan tugasmu! “Tetapi sujudlah dan berhampir dirilah.” (ujung ayat 19).

Bertambahlah besar halangan dan sikap kasar, mendustakan dan berpaling yang mereka lakukan terhadap dirimu, bertambah tekun perkuat ibadat kepada Allah, sujud, sembahyang dengan khusyu’. Setiap waktu hendaklah engkau mendekatkan dirimu kepada Allah. Hanya itulah jalan satu-satunya untuk mengatasi musuh-musuh Tuhan ini.

Apabila kita lihat dan perhatikan sejak dari ayat yang keenam, nampaklah betapa Tuhan membesarkan semangat Rasūl-Nya dan memperteguh hatinya s.a.w. di dalam menghadapi musuh. Keyakinan bahwa diri sendiri adalah di pihak yang benar, itulah pangkal kemenangan yang tidak akan dapat diatasi oleh musuh.

Dan penutup penting sekali, yaitu hendaklah selalu sujud, selalu mendekati Tuhan, selalu ingat kepada Tuhan. Sebab rasa dekat kepada Tuhanlah sumber kekuatan peribadi yang tidak akan pernah dapat dipatahkan.

Berkata al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar di dalam Fatḥ-ul-Bārī: “Ancaman keras sampai ubun-ubun akan ditarik terhadap Abū Jahal yang begitu kerasnya, ialah karena ancamannya yang sangat kasar akan menginjak-injak kuduk Nabi, kalau dia melihat Nabi sembahyang. Padahal ‘Uqbah bin Abū Mu‘īth pun pernah menyungkup Rasūl s.a.w. dengan kulit unta basah, sedang dia sembahyang.”

Dan Nabi pun tidak pernah gentar menerima ancaman itu. Sampai beliau berkata: “Kalau dia berani mencoba mendekati aku sembahyang, dia akan ditarik dan dihancurkan oleh malaikat!” Dan beliau terus sembahyang. Sebab meskipun perintah sembahyang lima waktu belum ada pada waktu itu, yang teruntuk bagi Ummat, namun Nabi s.a.w. telah diajar oleh Jibril mengerjakan sembahyang pada waktu-waktu tertentu, lebih-lebih sembahyang malam.

Imām asy-Syāfi‘ī menganjurkan, apabila kita membaca (tilawat) al-Qur’ān, sesampai di akhir surat ini, wasjud waqtarib, supaya kita lakukan sujud tilawat.

Guruku Ahmad Sutan Mansur memberi ingat kami waktu menafsirkan Surat ini bahwa cara membacanya pun lain dari yang lain. Membacanya tidak boleh gontai dan hendaklah bersemangat. Sebagaimana beliau pun tidak suka kalau orang membaca iqamat mengajak sembahyang dengan suara lemah-gemulai! “Sebab iqamat adalah komando,” kata beliau.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *