Surah al-Kautsar 108 ~ Tafsir Ibni Katsir (2/2)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Kautsar 108 ~ Tafsir Ibni Katsir

Ikrimah mengatakan bahwa al-Kautsar adalah kenabian, al-Qur’an, dan pahala di akhirat. Tetapi telah terbuktikan kesahihan sebuah riwayat yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa dia menakwilkannya pula dengan makna sebuah sungai di dalam surga. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami ‘Umar ibnu ‘Ubaid, dari ‘Atha’, dari Sa‘id ibnu Jubair, dari Ibnu ‘Abbas yang mengatakan bahwa al-Kautsar adalah sebuah sungai di dalam surga yang kedua tepinya dari emas dan perak, mengalir di atas yaqut dan mutiara, airnya lebih putih daripada salju, dan rasanya lebih manis daripada madu. Al-Aufi telah meriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu ‘Abbas. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya‘qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami ‘Atha’ ibn-us-Sa’ib dari Muharib ibnu Ditsar, dari Ibnu ‘Umar, dia mengatakan bahwa al-Kautsar adalah sebuah sungai di dalam surga yang kedua tepinya dari emas dan perak, mengalir di atas mutiara dan yaqut, airnya lebih putih daripada susu, dan rasanya lebih manis daripada madu. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi dari ibnu Humaid, dari Jarir, dari ‘Atha’ ibn-us-Sa’ib dengan sanad dan lafaz yang semisal secara mauqūf hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas.

Tetapi telah diriwayatkan pula hal yang semisal secara marfū‘, Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ‘Ali ibnu Hafsh, telah menceritakan kepada kami Warqa yang mengatakan bahwa ‘Atha’ telah meriwayatkan dari Muharib ibnu Ditsar, dari Ibnu ‘Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

الْكَوْثَرُ نَهْرٌ فِي الْجَنَّةِ حَافَتَاهُ مِنْ ذَهَبٍ وَ الْمَاءُ يَجْرِيْ عَلَى اللُّؤْلُؤِ وَ مَاؤُهُ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ وَ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ

Al-Kautsar adalah sebuah sungai di dalam surga yang kedua tepinya dari emas, airnya mengalir di atas mutiara, dan warnanya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis daripada madu.

Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Jarir melalui jalur Muhammad ibnu Fudhail, dari ‘Atha’ ibn-us-Sa’ib secara marfū‘, Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini ḥasan shaḥīḥ.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya‘qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Aliyyah, telah menceritakan kepada kami ‘Atha’ ibn-us-Sa’ib yang mengatakan bahwa Muharib ibnu Ditsar telah menceritakan kepadanya apa yang telah dikatakan oleh Sa‘id ibnu Jubair tentang al-Kautsar. Muharib ibnu Ditsar mengatakan bahwa Sa‘id ibnu Jubair telah menceritakan kepada kami dari Ibnu ‘Abbas yang mengatakan bahwa al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak. Lalu Sa‘id ibnu Jubair mengatakan bahwa benar, sesungguhnya al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak. Akan tetapi, telah menceritakan kepada kami ibnu ‘Umar, bahwa seketika diturunkan firman-Nya:

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu al-Kautsar (kebaikan yang banyak). (al-Kautsar: 1)

Maka Rasulullah s.a.w. bersabda:

الْكَوْثَرُ نَهْرٌ فِي الْجَنَّةِ حَافَتَاهُ مِنْ ذَهَبٍ يَجْرِيْ عَلَى الدُّرِّ وَ الْيَاقُوْتِ

Al-Kautsar adalah sebuah sungai di dalam surga yang kedua tepinya emas (airnya) mengalir di atas mutiara dan yaqut.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul Burqi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Maryam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja‘far ibnu Abu Katsir, telah menceritakan kepadaku Haram ibnu ‘Utsman, dari ‘Abd-ur-Rahman al-A‘raf, dari Usamah ibnu Zaid, bahwa Rasulullah s.a.w., di suatu hari berkunjung ke rumah Hamzah ibnu ‘Abd-ul-Muththalib, dan ternyata beliau tidak menjumpainya, lalu beliau menanyakannya kepada istrinya yang berasal dari Bani Najjar,. Istri Hamzah menjawab: “Hai Nabi Allah, dia baru saja keluar menuju ke rumahmu, kalau begitu barangkali dia sesat jalan di sebagian lorong-lorong Bani Najjar. Tidakkah engkau masuk lebih dahulu, wahai Rasulullah?”

Maka Rasulullah s.a.w. masuk, dan istri Hamzah menyuguhkan kepadanya makanan dan hais (makanan yang terbuat dari buah kurma, minyak samin, dan tepung sawiq), maka Nabi s.a.w. memakan sebagian darinya. Dan istri Hamzah bertanya: “Wahai Rasulullah, kuucapkan selamat kepada engkau, sebenarnya aku ingin datang kepadamu untuk mengucapkan selamat, karena Abu ‘Imarah pernah menceritakan kepadaku bahwa engkau telah diberi sebuah sungai di dalam surga yang dikenal dengan nama al-Kautsar.” Nabi s.a.w. menjawab:

أَجَلْ وَ عَرْضُهُ – يَعْنِيْ أَرْضُهُ – يَاقُوْتُ وَ مَرْجَانُ وَ زَبَرْجَدُ وَ اللُّؤْلُؤُ

Benar, dan luasnya yakni tanahnya adalah yaqut, marjan, zabarjad, dan mutiara.

Haram ibnu ‘Utsman adalah orang yang berpredikat dha‘if, tetapi konteks hadis ini ḥasan, dan asal hadis ini berpredikat shaḥīḥ, bahkan dapat dibilang mutawātir yang diriwayatkan melalui berbagai jalur hingga memberikan pengertian kepastian di kalangan para imam ahli hadis, demikian pula hadis-hadis yang menceritakan tentang telaga (Kautsar). Hal yang sama telah diriwayatkan dari Anas, Abul ‘Aliyah dan Mujahid serta bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, bahwa al-Kautsar adalah nama sebuah sungai di dalam surga. ‘Atha’ mengatakan bahwa al-Kautsar yaitu nama sebuah telaga di dalam surga.

Firman Allah s.w.t.:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ انْحَرْ

Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. (Al-Kautsar: 2)

Yakni sebagaimana Kami telah memberimu kebaikan yang banyak di dunia dan akhirat, antara lain ialah sebuah sungai yang sifat-sifatnya telah disebutkan di atas; maka kerjakanlah salat fardhu dan salat sunatmu dengan ikhlas karena Allah dan juga dalam semua gerakmu. Sembahlah Dia semata, tiada sekutu bagi-Nya; dan sembelihlah korbanmu dengan menyebut nama-Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya. Hal yang senada disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:

قُلْ إنَّ صَلاَتِيْ وَ نُسُكِيْ وَ مَحْيَايَ وَ مَمَاتِيْ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ بِذلِكَ أُمِرْتُ وَ أَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ

Katakanlah: “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An‘ām: 162-163).

Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’, Mujahid, ‘Ikrimah, dan al-Hasan telah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wanḥar ialah menyembelih unta dan ternak lainnya sebagai korban. Hal yang semisal telah dikatakan oleh Qatadah, Muhammad ibnu Ka‘b al-Quradzi, adh-Dhaḥḥak, ar-Rabi‘, ‘Atha’ al-Khurasani, al-Hakam, Sa‘id ibnu Abu Khalid, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf. Hal ini berbeda keadaannya dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang menyebut nama-Nya, Allah s.w.t. telah berfirman:

وَ لاَ تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَ إِنَّهُ لَفِسْقٌ

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan (al-An‘ām: 121), sampai akhir ayat.

Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan wanḥar ialah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah tenggorokan. Hal ini diriwayatkan dari ‘Ali, tetapi sanad-nya tidak shaḥīḥ. Dan hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abu Ja‘far al-Baqir.

Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa wanḥar artinya mengangkat kedua tangan di saat membuka salat. Dan menurut pendapat yang lainnya lagi, wanḥar artinya hadapkanlah lehermu ke arah kiblat. Ketiga pendapat ini disebut oleh Ibnu Jarir.

Ibnu Abi Hatim sehubungan dengan hal ini telah meriwayatkan sebuah hadis yang mungkar. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Ibrahim al-Qadhi pada tahun dua ratus lima puluh lima Hijriah, telah menceritakan kepada kami Israil ibnu Hatim al-Marwazim telah menceritakan kepada kami Muqatil ibnu Hayyan, dari al-Ashbagh ibnu Nabtah, dari ‘Ali ibnu Abi Thalib yang mengatakan bahwa ketika diturunkan kepada Nabi s.a.w. surat ini, yaitu:

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ انْحَرْ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. (al-Kautsar: 1-2)

Maka Rasulullah s.a.w. bertanya: “Hai Jibril, apakah yang dimaksud dengan naḥirah yang diperintahkan kepadaku oleh Tuhanku agar aku melakukannya?” Jibril menjawab: “Bukan naḥirah, tetapi Dia memerintahkan kepadamu apabila berihram untuk shalat, angkatlah kedua tanganmu saat mengucapkan takbir, dan saat engkau ruku‘, dan saat engkau angkat kepadamu dari ruku‘, dan apabila engkau akan sujud. Karena sesungguhnya itulah shalat kita dan shalat para malaikat yang ada di tujuh langit. Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu itu mempunyai perhiasan, dan perhiasan shalat ialah mengangkat kedua tangan di saat takbir.” Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Isra’il ibnu Hatim dengan sanad yang sama.

Telah diriwayatkan dari ‘Atha’ al-Khurrasani sehubungan dengan makna firman-Nya, “wanḥar”, artinya angkatlah tulang punggungmu sesudah rukuk dan tegakkanlah ia serta tampakkanlah tenggorokanmu. Makna yang dimaksud ialah i‘tidāl. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim; semua pendapat ini berpredikat gharīb sekali.

Pendapat yang shaḥīḥ adalah yang pertama, yaitu yang mengatakan, bahwa makna yang dimaksud dengan naḥr ialah menyembelih hewan kurban. Karena itulah maka Rasulullah s.a.w. seusai shalat Idul Adhha segera menyembelih kurbannya, lalu bersabda:

مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَ نَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ، وَ مَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَلاَ نُسُكَ لَهُ

Barang siapa yang salat seperti salat kami dan menyembelih kurban seperti kami menyembelih kurban, maka sesungguhnya dia telah menunaikan kurbannya. Dan barang siapa yang menyembelih kurban sebelum salat (hari raya) maka tiada kurban baginya.

Maka Abu Burdah Nayyar bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menyembelih kambingku sebelum salat, dan aku mengetahui bahwa hari ini adalah hari yang semua orang menyukai daging padanya.” Rasulullah s.a.w. menjawab:

شَاتُكَ شَاةٌ لَحْمٍ

Kambingmu itu adalah daging kambing biasa (bukan korban).

Abu Burdah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai seekor anak kambing kacang yang lebih aku sukai daripada dua ekor kambing biasa, apakah itu cukup untuk kurbanku?” Rasulullah s.a.w. menjawab:

تُجْزِئُكَ وَ لاَ تُجْزِئُ أَحَدًا بَعْدَكَ

Cukup untukmu, tetapi tidak cukup untuk orang lain sesudahmu.

Abu Ja‘far ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari ayat ialah jadikanlah salatmu semuanya tulus ikhlas hanya untuk Tuhanmu, bukan untuk berhala atau sembahan selain-Nya. Demikian pula kurbanmu, jadikanlah hanya untuk Dia, bukan untuk berhala-berhala, sebagai ungkapan rasa syukurmu terhadap-Nya atas kemuliaan dan kebaikan tiada taranya yang dikhususkan-Nya buatmu sebagai anugerah dari-Nya. Pendapat yang dikemukakan oleh orang yang mengatakan ini amatlah baik. Dan pendapat ini telah dikatakan sebelumnya oleh Muhammad ibnu Ka‘b al-Quradzi dan ‘Atha’ dengan ungkapan yang semakna.

Firman Allah s.w.t.:

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ

Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus. (Al-Kautsar: 3)

Yakni sesungguhnya orang yang membencimu, hai Muhammad, dan benci kepada petunjuk, kebenaran, bukti yang jelas, dan cahaya terang yang kamu sampaikan; dialah yang terputus lagi terhina, direndahkan dan terputus sebutannya. Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa‘id ibnu Jubair, dan Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan al-‘Ash, ibnu Wa’il.

Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Yazid ibnu Ruman yang mengatakan bahwa dahulu al-‘Ash ibnu al-Wa’il apabila disebutkan nama Rasulullah s.a.w., ia mengatakan: “Biarkanlah dia, karena sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang terputus, tidak mempunyai keturunan. Apabila dia mati, maka terputuslah sebutannya.” Maka Allah menurunkan surat ini.

Syamir ibnu ‘Athiyyah mengatakan bahwa surat ini diturunkan berkenaan dengan Ubah ibnu Abu Mu‘ith, Ibnu ‘Abbas mengatakan pula, dan juga ‘Ikrimah, bahwa surat ini diturunkan berkenaan dengan Ka‘b ibnul Asyraf dan sejumlah orang-orang kafir Quraisy.

Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Yahya al-Hassani, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Daud, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas yang mengatakan bahwa Ka‘b ibnul Asyraf datang ke Makkah, maka orang-orang Quraisy berkata kepadanya: “Engkau adalah pemimpin mereka. Tidakkah engkau melihat kepada lelaki yang terusir lagi terputus dari kaumnya itu (maksudnya Nabi s.a.w.)? Dia mengira bahwa dirinya lebih baik daripada kami, padahal kami adalah ahli (pelayan) jemaah haji, ahli sadanah (pelayan Ka‘bah) dan ahli Siqayah (pelayan minuman air zamzam).” Maka Ka‘b Ibnu Asyraf berkata: “Kalian lebih baik daripadanya.” Maka turunlah firman Allah s.w.t.:

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ

Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus. (Al-Kautsar: 3)

Hal yang sama diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan hadis ini shaḥīḥ sanad-nya.

Diriwayatkan pula dari ‘Atha’. Bahwa surat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Lahab. Demikian itu terjadi ketika putra Rasulullah s.a.w. meninggal dunia, maka Abu Lahab pergi menemui orang-orang musyrik dan berkata kepada mereka: “Tadi malam Muhammad terputus (keturunannya).” Maka Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya sehubungan dengan peristiwa tersebut:

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ

Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus. (Al-Kautsar: 3)

Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Jahal. Diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Abbas, bahwa makna:

إِنَّ شَانِئَكَ

Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu. (Al-Kautsar: 3)

Yakni musuhmu. Pendapat ini lebih mencakup dan meliputi semua orang yang bersifat dan berkarakter demikian, baik dari kalangan mereka yang telah disebutkan di atas maupun yang lainnya.

Ikrimah mengatakan bahwa al-abtar artinya sebatang kara. As-Saddi mengatakan bahwa dahulu mereka apabila meninggal dunia keturunannya laki-laki mereka, maka mereka mengatakannya abtar (terputus keturunannya). Dan ketika putra-putra Nabi s.a.w. semuanya meninggal dunia, maka mereka mengatakan: “Muhammad telah terputus.” Maka Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ

Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus. (Al-Kautsar: 3)

Pendapat ini senada dengan apa yang telah kami sebutkan di atas yang mengatakan bahwa abtar ialah orang yang tidak mempunyai keturunan laki-laki. Maka orang-orang kafir Quraisy itu mengira bahwa seseorang itu apabila anak-anak lelakinya mati, maka terputuslah sebutannya.

Padalah tidaklah demikianlah kenyataannya, bahkan sebenarnya Allah mengekalkan sebutan Nabi s.a.w. di hadapan para saksi dan mewajibkan syariat yang dibawanya di atas pundak hamba-hambaNya, yang akan terus berlangsung selamanya sampai hari mereka dihimpunkan untuk mendapat pembalasan. Semoga salawat dan salam-Nya terlimpahkan kepadanya selama-lamanya sampai hari kiamat.

Demikianlah akhir sūrat-ul-Kautsar, segala puji bagi Allah atas limpahan karunia-Nya.

Unduh Rujukan:

  • [download id="18357"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *