1-1 Derajat Hadits – Shahih Li Dzatihi – Ilmu Mushthalah Hadits

Rangkaian Pos: 001 Derajat Hadits - Ilmu Mushthalah Hadits

DERAJAT ḤADĪTS.

Ḥadīts-ḥadīts dan Riwāyat-riwāyat yang tercatat dalam kitab-kitab Ḥadīts dan sebagainya, boleh dibagi dalam tiga (11) derajat:

yang pertama Shaḥīḥ.

yang kedua Ḥasan, dan

yang ketiga Dha‘īf.

Berikut ini, saya terangkan satu-satunya itu, dengan beberapa bagian dan cabangnya.

Sesudah habis itu, akan saya iringi pula dengan bagian-bagian dan cabang-cabang yang bercampur padanya, yaitu yang berderajat:

  1. Shaḥīḥ, Ḥasan saja, dan
  2. Shaḥīḥ, Ḥasan dan Dha‘īf bersama-sama.

 

الصَّحِيْحُ

ASH-SHAḤĪḤ

Dalam bagian ini, saya unjukkan beberapa pasal yang termasuk dan yang dapat dianggap termasuk dalam pembicaraan Ḥadīts Shaḥīḥ.

 

PEMBAHASAN ḤADĪTS SHAḤĪḤ

 

الْحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ

ḤADĪTS SHAḤĪḤ

Ḥadīts Shaḥīḥ itu, ada dua rupa:

  1. Shaḥīḥ li dzātihi, dan
  2. Shaḥīḥ li ghairihi.

الصَّحِيْحُ لِذَاتِهِ

Shaḥīḥ li Dzātihi

“Shaḥīḥ li dzātihi” artinya: yang sah karena dzatnya, yakni yang shaḥīḥ dengan tidak bantuan keterangan lain.

Shaḥīḥ li dzātihi, menurut istilah:

“Satu Ḥadīts yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang ‘ādil, dhābith yang sempurna, serta tidak ada syudzūdz dan tidak ada ‘illah yang tercela”. (12).

Contohnya:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوْسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَالَ: إِذَا كَانُوْا ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى إِثْنَانِ دُوْنَ الثَّالِثِ.

Artinya: (Kata Bukhārī) (23): Telah menceritakan kepada kami: “‘Abdullāh bin Yūsuf, (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami, Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua orang (dari antaranya) berbisik-bisikan dengan tidak bersama yang ketiganya.

Rāwī-rāwī yang ada dalam sanad Ḥadīts di atas, kalau di susun dengan tertib, akan jadi seperti berikut:

  1. Bukhārī,
  2. ‘Abdullāh bin Yūsuf,
  3. Mālik,
  4. Nāfi‘,
  5. ‘Abdullāh (yaitu Ibnu ‘Umar),
  6. Rasūlullāh s.a.w.

Keterangan:

  1. Kalau kita memeriksa sanad tersebut, dari Bukhārī sampai Nabi s.a.w., kita akan dapati bersambung dari seorang rāwī kepada yang lain, karena Bukhārī mendengar dari ‘Abdullāh; ‘Abdullāh ini mendengar dari Mālik; Mālik ini mendengar dari Nāfi‘; Nāfi‘ ini mendengar dari ‘Abdullāh (Ibnu ‘Umar); ‘Abdullāh (Ibnu ‘Umar) ini pula mendengar dari Rasūlullāh s.a.w.
  1. Rāwī-rāwī No. 1 sampai No. 5 tersebut, semua bersifat: ‘ādil, kepercayaan dan dhābith dengan sempurna.

Adapun Rasūlullāh s.a.w. tentu tidak perlu kita urus tentang sifat beliau. Kita sekalian sudah maklum.

  1. Ḥadīts ini tidak terdapat syudzūdz-nya, yakni tidak menyalahi Ḥadīts yang derajatnya lebih kuat; dan tidak ada ‘illat-nya, yaitu kekeliruan, kesalahan dan lain-lain yang menyebabkan Ḥadīts itu tercela.

Alhasil, Ḥadīts tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana tertera dalam makna (ta‘rīf) Shaḥīḥ yang saya cantumkan di atas.

Catatan:

  1. 1). Ada yang membagi dua saja, yaitu Shaḥīḥ dan Dha‘īf.
  2. 1). ‘Ādil, Dhābith, Syudzūdz dan ‘Illat, lihat “Tambahan” hal. 25. (Lihat “Syaraḥ Balquniyyah”).
  3. 2). “Shaḥīḥ Bukhārī” 8: 64.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *