02-3 Kiprah Kaum Sadat ‘Alawiyin Dalam Kemerdekaan RI – Sejarah Maulid Nabi

SEJARAH MAULID NABI
Meneguhkan Semangat Keislaman dan Kebangsaan
Sejak Khaizurān (173 H.) Hingga
Ḥabīb Luthfī bin Yaḥyā (1947 M. – Sekarang)

Penulis: Ahmad Tsauri
Diterbitkan oleh: Menara Publisher

Rangkaian Pos: 002 Maulid Nabi - Lokalitas & Semangat Kebangsaan | Sejarah Maulid Nabi

Kiprah Kaum Sadāt ‘Alawiyin dalam Kemerdekaan RI.

 

Kalangan sadat, dan keturunan ‘Arab pada umumnya, memiliki hubungan erat dengan bangsa Indonesia sejak berabad-abad silam. Bahkan telah terbentuk kekerabatan yang erat antara mereka dan pribumi, melalui pernikahan. Perjalanan yang membahayakan tidak memungkinkan pendatang ‘Arab itu membawa serta istri dan anak-anak perempuan mereka. Di antara para pendatang yang tidak membawa keluarga itu adalah Syarīf Ḥussein bin Aḥmed al-Gadrī. Setelah menetap di Matan, Kalimantan Selatan, pada tahun 1735 ia dinikahkan oleh Sultan Pontianak dengan seorang wanita Dayak yang cantik. Dari pernikahan ini Syarīf Ḥussein mendapat putra yang diberi nama ‘Abd-ur-Raḥmān, yang setelah dewasa menikah dengan adik Daeng Menambon, saudara Panembahan Adi Djaja Kusuma yang memerintah pada waktu itu. (161).

‘Abd-ur-Raḥmān bin Ḥussein al-Gadrī yang tampan kemudian mengadu nasib di laut. Di Banjarmasin ia menikahi adik sultan yang bernama Ratu Sari Anom. Setelah berhasil mengumpulkan modal melalui perdagangan, ia pun mempersenjatai kapalnya dan mulai “membajak” kapal-kapal Belanda di dekat Bangka. Dengan bantuan Sultan Passir, ia juga membajak kapal Inggris dan Prancis di Pelabuhan Passir. Setelah kaya raya ‘Abd-ur-Raḥmān bin Ḥussein al-Gadrī mulai mendirikan pemukiman di sebuah pulau di sungai Kapuas. Pada tahun 1722 tempat ini berkembang menjadi pusat perdagangan yang ramai.

Dan pada 5 Juli 1779, Kompeni Belanda mengakui ‘Abd-ur-Raḥmān sebagai Sultan Pontianak di Sengo (Sanggauw). Seratus tujuh puluh lima tahun kemudian, sejak pengakuan Kesultanan Pontianak oleh Belanda, Syarīf ‘Abd-ul-Ḥamīd II, cucu Syarīf ‘Abd-ur-Raḥmān bin Ḥussein al-Gadrī menandatangi dokumen resmi bersama Mohammad Hatta pada KMB (Konferensi Meja Bundar) sebagai wakil putra-pribumi. Fakta ini menunjukkan bahwa asimilasi antara ‘Arab dan Pribumi sudah berlangsung lama dan memperlihatkan dengan nyata tentang keterlibatan keturunan ‘Arab dalam soal politik Indonesia, sampai dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia.

Asimilasi yang lebih cepat lagi terjadi di dalam keluarga bin Yaḥyā. Pelukis Raden Shāliḥ, yang terkenal sampai ke Eropa, sebenarnya bernama Sayyid Shāliḥ bin Ḥusain bin Yaḥyā, kakeknya, ‘Awad adalah orang ‘Arab dari Ḥadhramaut yang datang ke Jawa pada awal abad ke 18 dan mengawini putri Bupati Lassem Kiai Bostam. Putranya Ḥusain, menetap di Pekalongan dan mengawini putri Bupati Wiradesa. Mereka memperoleh empat orang anak, dua putra dan dua putri. Putra sulungnya masih menyandang gelar ‘Arab, seperti kedua putrinya yang menyandang gelar syarifah. Hanya putra kedua yang menggunakan gelar Raden dan banyak yang mengira orang Jawa, bahkan di Eropa ia dikira priagung Jawa. Saudara perempuannya kawin dengan ‘Arab, sedangkan yang lain menikah dengan Patih Galuh yang orang Jawa. Seorang anggota keluarga bin Yaḥyā, yaitu Thāhir, tiba di Pulau Penang juga pada awal abad ke 18. Ia mengawini seorang putri dari keluarga Sultan Yogyakarta yang diasingkan ke pulau itu oleh Gubernur Jendral Inggris, Raffles. Ia datang ke Jawa setelah Sultan kembali dari Pengasingan, dan menetap di Semarang. Dua di antara putranya tinggal di ‘Arab. (172) namun yang ketiga, Aḥmad, dikira orang Jawa dan bekerja sebagai sukarelawan di pasukan kavaleri dengan nama Raden Sumodirjo. Ia turut dalam perang Jawa, dan setelah perdamaian pada tahun 1930, ia menginggalkan angkatan bersenjata sebagai pensiunan marsekal. (183).

Keluarga lainnya yang berasimilasi dengan cepat adalah keluarga Ba ‘Abud; Sayyid Aḥmad bin Muḥsin Ba ‘Abud tiba dari Ḥadhramaut di Pekalongan pada awal abad ke 18 dan menikahi putri Bupati Wiradesa. Di Pariaman (Pantai Barat Sumatra), ada satu cabang keluarga Jamāl-ul-Lail, yang dikenal sebagai berasal dari ‘Arab karena julukan Sidi (Sayyid) yang diberikan oleh penduduk pribumi. Di Kesultanan Jami, keturunan keluarga Baraqbah dan al-Jufrī hidup seperti Pribumi di tengah-tengah mereka, dan sebagian besar menyandang nama serta gelar Melayu. Demikian pula halnya di Aceh, dengan anggota keluarga Bafadhal dan Jamāl-ul-Lail. (194)

Melihat fakta itu dan banyak fakta serupa, apa yang dinyatakan oleh Prof. L.W.C. van den Berg, seorang ilmuan Belanda, sangat relevan. Ia mengatakan bahwa keturunan ‘Arab cepat sekali berasimilasi dengan rakyat setempat dan oleh karenanya mereka itu sesungguhnya berstatus pribumi. (205) Oleh karena itu Snouck Hurgronje menentang pembauran keturunan ‘Arab dengan ancaman siapa yang berani membaur berarti melakukan tindakan kriminal. Larangan pembauran antara ‘Arab – keturunan ‘Arab dengan Pribumi ini dengan memperketat sistem passen-stelsel bagi orang Timur Asing. Berdasar aturan ini, orang Timur Asing hanya boleh pergi ke tempat lain dari tempat tinggalnya jika mendapat surat idzin bepergian. Dengan cara ini pemberontakan yang pernah dilakukan oleh Raden Shāliḥ dan Danuningrat tidak akan terulang kembali. (216).

Selain itu pengaruh konsul Turki, terutama Kamil Bey, (227) dan pengaruh PAN Islamisme (238) dapat dihindarkan. Salah satu tokoh utama PAN Islamisme adalah ‘Abdullāh bin ‘Alwī al-‘Athas, seorang hartawan ‘Alawī yang pada tahun 1915, menyumbang F 60.000 (enam puluh ribu gulden) pada al-Irsyād. (249) Pada waktu itu ‘Abdullāh bin ‘Alwī al-‘Athas (2510) adalah seorang ‘Arab progersif yang turut serta menyuburkan kesadaran nasionalisme di kalangan ‘Arab. Terutama melalui gerakan PAN Islam yang ia motori di Batavia. ‘Abdullāh bin ‘Alwī al-‘Athas kemudian juga dikenal dengan kiprahnya di berbagai organisasi pergerakan, seperti PAI (Persatuan ‘Arab Indonesia). Putranya Ismā‘īl bin ‘Abdullāh bin ‘Alwī al-‘Athas, pendukung berdirinya al-Irsyād aktif mendamaikan pertikaian antara keturunan Ḥadhramī ‘Alawī dan non-‘Alawī. Berdirinya PAI merupakan kegagalan rangkaian politik devide et impera Belanda.

Pendatang dari Ḥadhramaut dan ‘Arab pada umumnya mudah diterima oleh pribumi karena tujuan pendatang ‘Arab bukan untuk memboyong kekayaan yang mereka peroleh dari Hindia Belanda ke tanah airnya di Ḥadhramaut. Mereka melakukan usaha niaga semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan membiayai usaha syiar Islam. Seperti Sayyid ‘Idrūs bin Salīm al-Jufrī selalu membawa barang-barang dagangan dan keuntungannya ia gunakan untuk mendirikan lembaga pendidikan dan membayar guru-guru pengajarnya. (2611) Apa yang dirintis oleh pedagang itu kini telah membuahkan hasilnya dengan berdirinya 1500 lebih cabang sekolah agama di seluruh pelosok Indonesia Timur. Demikian pula Ḥabīb ‘Alī Kwitang yang mendidik ulama-ulama Betawi.

Sementara itu motivasi penjajahan bangsa Eropa di Indonesia, meski yang atas nama perdagangan murni seperti VOC sekali pun, tidak lain bertujuan untuk mencari: gold, glory, dan gospel. Penyebaran agama Kristen membonceng pada semua aktivitas kolonial. Bahkan pemetaan wilayah Onderafdeling (suatu wilayah administratif yang diperintah oleh seorang kontrolir; wedana bangsa Belanda) dan lainnya, tidak hanya dimaksudkan untuk mempermudah kontrol kekuasaan dan memperluas akses dominasi dan eksploitasi ekonomi, tetapi juga bertujuan membuka ruang gerak para zending menyebarluaskan ajaran Kristen. (2712).

Meskipun bagi sebagian Ḥadhramī mengakui begitu saja Indonesia sebagai bangsa dan tanah air mereka, tapi juga tidak sedikit keturunan Ḥadhramī yang mengalami tarik-ulur dan pergumulan internal yang hebat soal identitas kebangsaannya. Pandangan bahwa kalangan Ḥadhramī berasal dari wathan (tanah air) Ḥadhramaut, yang berarti pula menuntut kesetiaan pada tanah air tersebut, telah menimbulkan pertentangan serius di kalangan mereka sendiri. Hal ini bisa dilihat dari ungkapan-ungkapan yang biasa digunakan ketika itu seperti “naḥnu Ḥadhramiyūn qabla kulli syai’,” kita adalah orang-orang Ḥadhramaut sebelum segala sesuatu.” (2813).

Sebagai solusi dari pergulatan ini A.R. Baswedan (2914) dan Hosein Bafagih serta keturunan Ḥadhramī lainnya mendirikan PAI (Persatuan ‘Arab Indonesia) pada 4 Oktober 1934 di Semarang dengan dasar bahwa Indonesia adalah tanah air mereka. Dan bahwa keturunan ‘Arab adalah putra dan bangsa Indonesia juga yang harus mengabdi pada Tanah Air, sama dengan suku bangsa Indonesia yang lain. Gerakan ini yang biasanya dinamakan juga Gerakan Sumpah Pemuda Keturunan ‘Arab menyebar dengan cepat di seluruh Indonesia, tidak hanya di Jawa, tetapi juga di pulau-pulau lain. Dengan kata lain, di mana terdapat kelompok keturunan ‘Arab, di situ berdiri cabang-cabang PAI dan rantingnya. (3015).

Adapun Sumpah Pemuda Keturunan ‘Arab itu adalah:

1. Tanah air peranakan ‘Arab adalah Indonesia.

2. Karenanya mereka harus meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi).

3. Ḥadhramaut diakui sebagai tanah air nenek moyang, dan

4. Bahasa ‘Arab harus digunakan sebagai bahasa Islam, dan harus diperhatikan seperti bahasa Indonesia. (3116).

Dengan demikian pergumulan dan pasang surut nasionalisme di kalangan Ḥadhramī Indonesia mengalami masa yang panjang. Bahkan menurut Ḥamīd al-Gadrī, hasil dari penelitian yang ia lakukan di Leiden, menunjukkan bahwa citra ‘Arab mempunyai sejarah yang panjang dan tua, dimulai dengan penjajahan Portugis dan Belanda di Indonesia sebagai akibat dari perlawanan Islam dan keturunan ‘Arab terhadap penjajahan itu. (3217).

 

Catatan:


  1. 16). Ḥamīd al-Gadrī, Islam dan Keturunan ‘Arab; Dalam Pemberontakan Melawan Belanda, (Bandung: Mizan, 1988), Cet. ke-II. hlm. 103. 
  2. 17). Dalam Kitab Syams-udz-Dzahirah bukan kembali ke ‘Arab, akan tetapi masih menjaga ke-‘Arab-annya. 
  3. 18). L.W.C. van den Berg, Ḥadhramaut dan Koloni ‘Arab di Nusantara, (Jakarta: Perpustakaan Nasional – INIS, 1989) Jilid III, hlm. 146-147. 
  4. 19). L.W.C. van den Berg, Ḥadhramaut dan Koloni ‘Arab di Nusantara… hlm. 148. 
  5. 20). L.W.C. van den Berg, Ḥadhramaut dan Koloni ‘Arab di Nusantara, (Jakarta: Perpustakaan Nasional – INIS, 1989) Jilid III, hlm. 72. 
  6. 21). Ḥamīd al-Gadrī, Islam dan Keturunan ‘Arab….. hlm. 99. 
  7. 22). Ḥamīd al-Gadrī, Islam dan Keturunan ‘Arab….. hlm. 98. 
  8. 23). Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: genealogi Intelegensia Mulim Indonesia Abad ke-20. (Jakarta: Democrasy Projec Yayasan Abad Demokrasi, 2012) Edisi Digital, hlm. 287. 
  9. 24). Ḥamīd al-Gadrī, Islam dan Keturunan ‘Arab….. hlm. 166. Sepertinya terjadi salah pengutipan yang dilakukan oleh Ḥamīd al-Gadrī. Keterangan ini sebenarnya dari catatan kaki buku Deliar Noer, edisi Indonesia berjudul “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Kutipan itu tertulis: “Rapat pertama dan kedua dari organisasi tersebut (al-Irsyad) dalam tahun 1915 menghasilkan pengumpulan dan sejumlah f. 700 dan f. 7.000 semuanya dari anggota-anggota pengurus. Kira-kira pada saat yang sama, kontribusi sejumlah f. 25.000 diterima dari Syekh ‘Umar Manggus, kapten ‘Arab, f. 15.000 dari Sa‘īd bin Salīm Masjhabī, seorang pedagang dan Rp. 60.0000 dari ‘Abdullāh bin ‘Alwī al-‘Athas, seorang dari kalangan Sayyid yang bersimpati dengan maksud serta tujuan dari organisasi itu”. Dengan demikian ‘Abdullāh bin ‘Alwī al-‘Athas bukan menyumbang f. 60.000 melainkan Rp. 60.000; bukan 60.000 Gulden, tapi 60.000 rupiah. Deliar Noer, Gerakan Moederen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1994), Cet. ke-Vii, hlm. 75. 
  10. 25). Ḥabīb ‘Abdullāh bin ‘Alwī al-‘Athas menulis buku qashīdah maulid Nabi dalam bahasa ‘Arab. Ḥabīb Ismā‘īl Fajrie al-‘Athas, keturunan ‘Abdullāh bin ‘Alwī al-‘Athas, memiliki naskah itu. Kitab Jāmi‘u Karāmāti Auliyā’ cetakan lama, memuat surat menyurat antara ‘Abdullāh bin ‘Alwī al-‘Athas dengan Syeikh Yūsuf bin Ismā‘īl an-Nabhānī, penulis kitab Jāmi‘u Karāmāti Auliyā’. Naskah kitab ini ada di perpustakaan pribadi Ḥabīb Ismā‘īl Fajrie al-‘Athas. Antara ‘Abdullāh bin ‘Alwī al-‘Athas dan Syeikh Yūsuf bin Ismā‘īl an-Nabhānī mempunyai hubungan dekat, selain karena keduanya merupakan aktivis dakwah, juga karena sama-sama pewaris tradisi pendidikan Ḥadhramī. 
  11. 26). Gani Jum‘at, Nasionalisme Ulama… hlm. 201-203. 
  12. 27). Gani Jum‘at, Nasionalisme Ulama… hlm. 168. 
  13. 28). Gani Jum‘at, Nasionalisme Ulama… hlm. 42. 
  14. 29). Suratmin dan Didi Kwartanda, Biografi A.R. Baswedan; Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan. (Jakarta: Kompas, 2014), hlm. 20-58). 
  15. 30). Ḥāmid al-Gadrī, Islam dan Keturunan ‘Arab….., hlm. 36. 
  16. 31). Gani Jum‘at, Nasionalisme Ulama… hlm. 45. 
  17. 32). Ḥāmid al-Gadrī, Islam dan Keturunan ‘Arab….., hlm. 38. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *