02-1 Lahirnya Kesadaran Kebangsaan – Sejarah Maulid Nabi

SEJARAH MAULID NABI
Meneguhkan Semangat Keislaman dan Kebangsaan
Sejak Khaizurān (173 H.) Hingga
Ḥabīb Luthfī bin Yaḥyā (1947 M. – Sekarang)

Penulis: Ahmad Tsauri
Diterbitkan oleh: Menara Publisher

Rangkaian Pos: 002 Maulid Nabi - Lokalitas & Semangat Kebangsaan | Sejarah Maulid Nabi

BAB II

MAULID NABI, LOKALITAS DAN SEMANGAT KEBANGSAAN

 

Lahirnya Kesadaran Kebangsaan

Pada awal abad 19 jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia, di kalangan masyarakat Hindia (jajahan Belanda) muncul kesadaran pentingnya menggalang kesatuan. (11) Berdirinya Boedi Oetomo menjadi inspirasi bagi munculnya organisasi pemuda lainnya. Organisasi Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) berdiri di Jarkata pada 7 Maret 1915. Didirikan oleh Satiman bersama Kadarman dan Soenardi. Organisasi ini kemudian berubah menjadi Jong Java, para pemuda di Sumatera mendirikan Jong Sumatranen Bond (JSB) pada Januari 1918. Setelah itu pemuda-pemuda yang berasal dari daerah lain, seperti Batak juga mengadakan perkumpulan pada tahun 1925. Pemuda-pemuda di Bandung merasa tak sanggup lagi duduk dalam perkumpulan-perkumpulan pemuda yang berdasarkan kedaerahan, mulai mendirikan perkumpulan Jong Indonesia pada permulaan tahun 1927. Nama ini kemudian diubah menjadi Pemuda Indonesia pada Desember 1927. Kesadaran nasionalisme yang disuarakan oleh perkumpulan-perkumpulan pemuda itu dikuburkan pada sebuah kongres “Pemuda Indonesia” sebagai anggaran dasar perkumpulan ini adalah menyebarkan dan memperkuat cita-cita kebangsaan Indonesia bersatu. Untuk mempersatukan ide-ide dari berbagai organisasi pemuda, ide fusi dari “Pemuda Indonesia” menjadi Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPI) menjadi bahan diskusi di kalangan pemuda.

Minggu malam tanggal 28 Oktober 1928 gedung Indonesische Clubgebouw penuh sesak. Sekitar 1.000 orang mendatangi sositet PPPI pada malam terakhir kongres II itu. Dalam kesempatan tersebut Muḥammad Yamīn menyampaikan pidatonya dengan judul “Dari Hal Persatoean dan Kebangsaan Indoenesia”. Ketika Mr. Soenario berpidato dalam rapat ketiga yang dipimpin oleh ketua Soegondo, Muḥammad Yamīn selaku sektretaris duduk di sebelah ketua menyodorkan secarik kertas kepada Seogondo sambil berbisik: “Saya punya rumusan resolusi yang lebih elegan (bergaya)”. Seogondo membaca rumusan resolusi yang tertulis pada secarik kertas itu, lalu memandang Yamīn yang juga memandang Soegondo dengan senyum manis. Soegondo spontan membubuhi perkataan setuju dengan paraf pada usul rumusan resolusi. Kemudian Amir Sjarifuddin juga membubuhi perkataan setuju pada rumusan itu. Usulan resolusi Muḥammad Yamīn ini akhirnya diterima sebagai keputusan kongres pemuda. Adapun isi putusan tersebut adalah sebagai berikut:

Poetoesan Congres Pemoeda-pemoeda Indonesia.

Kerapatan Pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanya Jong Java, Jong Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamiten Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawie dan Perhimpoenan pelajar-pelajar Indonesia, memboeka rapat pada tanggal 27 dan 29 Oktober tahoen 1928 di negeri Djakarta:

Sesoedahnja mendengar pidato-pidato pembijtaraan jang diadakan di dalam kerapatan tadi, seseodahnja mendengar pidato-pidato dan pembijtaraan ini:

Kerapatan lalu mengambil kepoetoesan:

Pertama: Kami Poetra dan Poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia;

Kedua: Kami poetra dan poetri Indonesia mengaku berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia;

Ketiga: Kami poetra dan poetri Inodnesia mengakoe mendjioendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Setelah mendengar kepoetoesan ini kerapatan mengeloerkan kejakinan azas ini wajib dipakai oleh segala perkoempoelan kebangsaan Indonesia.

Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkuat dengan memperhatikan dasar persatoeanna:

Kemaoean

Sedjarah

Bahasa

Hoekoem adat

Pendidikan dan Kepandoean

Dan mengeloerkan soepaya poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan di moeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan.” (22)

Teks yang ditulis oleh Muḥammad Yamīn dan disetujui oleh berbagai perwakilan pemuda ini merupakan tonggak sejarah yang memunculkan kesadaran masyarakat Hindia Belanda untuk bersatu dalam sebuah Negara, atas dasar pengakuan kesamaan tumpah darah tanah Indonesia, bangsa Indonesia, dan kesamaan bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Tiga kesadaran inilah yang kemudian menjadi titik temu dari sejumlah perbedaan: Bahasa, budaya, suku, seni, ras, sejarah, dan agama. Semuanya sadar akan pentingnya berhimpun dalam sebuah Negara dan mempunyai cita-cita kolektif menjadi bangsa yang merdeka. Hindia Belanda, seperti masyarakat di wilayah jajahan bangsa-bangsa lainnya membentuk kesatuan atas dasar nasionalisme, nation atau nasionalitas, untuk merdeka dan membentuk sebuah Negara. Sehingga sejak Perang Dunia II, setiap revolusi yang sukses merumuskan diri dalam wacana nasional, seperti Republik Rakyat Tiongkok, Republik Sosialis Vietnam dan seterusnya. Hampir setiap tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima anggota Baru. (33)

Meskipun setiap kesatuan menyatakan sebagai sebuah Negara atas dasar nasionlisme, faham tentang kebangsaan, akan tetapi para ahli sangat sukar merumuskan apa itu nasionalisme. Nasionalisme sangat berpengaruh di era modern ini akan tetapi sulit dicari teori yang meyakinkan tentangnya. Di samping isme ini tidak seperti sebagian besar isme lain, nasionalisme juga belum pernah melahirkan tokoh besarnya sendiri. Nasionalisme tidak mempunyai tokoh semacam Thomas Hobbes, Alexis de Tocqueville, Karl Marx, atau tokoh lainnya. Tom Nairn seorang pengkaji subjeknya menyatakan: “Nasionalisme” adalah patologi sejarah pembangunan modern. Ben Anderson mengemukakan bahwa lebih mudah apabila orang memperlakukan nasionalisme seolah-olah berbagi ruangan dengan “kekerabatan” dan “agama”, bukan dengan “liberalisme” atau “fasisme”. Oleh karena itu menurut Ben Anderson, – secara antropologis – bangsa atau nasion didefinisikan dengan “komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren dan berkedaulatan.” (44)

Menurut Ben, bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin tidak pernah mendengar satu sama lain. Seperti saat ini bangsa Indonesia yang jumlahnya mencapai 240 juta. Sulit dibayangkan masing-masing individu yang menjadi komponen bangsa saling mengenal secara keseluruhan atau sebagian besarnya. Kendati demikian di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas karena bahkan bangsa-bangsa paling besar pun, yang anggotanya mungkin semiliar manusia, memiliki garis-garis perbatasan meski elastis. Di luar perbatasan itu adalah bangsa-bangsa lain. Tak ada satu bangsa pun membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi. Dengan demikian, akhirnya bangsa dibayangkan sebagai komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan dan persaudaraan. Rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, selama dua abad terakhir – bersedia jangankan melenyapkan nyawa orang lain, merenggut nyawa sendiri pun rela demi sebuah negara yang dicita-citakan bersama itu.

Di Hindia Belanda, seperti di belahan dunia lainnya, faktor yang memberikan andil besar dalam menggugah kesadaran nasionalisme adalah kapitalisme cetak. Mesin cetak mulai masuk ke Hindia Belanda pada tahun 1885 memberi dampak besar dalam revolusi komunikasi di Hindia Belanda. Pada 1885 terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda dan Melayu di seluruh wilayah jajahan Belanda. Faktor yang kedua adalah bahasa. Bahasa Indonesia merupakan bahasa Melayu yang disempurnakan. Sedangkan bahasa Melayu adalah lingua pranca, yang menjadi bahasa internasional masyarakat niaga sejak abad 15 di Asia Tenggara. Bahasa dan kapitalisme cetak saling berhubungan erat, sebab kapitalisme mengharuskan monolinguistik, penggunaan bahasa tunggal, andaikata kapitalisme – cetak berniat menggali pasar potensial berbahasa lisan yang ada, yang jumlahnya ribuan, kapitalisme hanya akan menjadi kapitalisme kecil-kecilan. (55) Akibat revolusi percetakan ini, kesadaran kolektif sebagai bangsa yang tertindas memunculkam rasa simpatik dan kebersamaan yang mewujud dalam gerakan kebangsaan seperti munculnya SI (Serikat Islam). Boedi Oetomo, Jamiat al-Khair, PAI (Persatuan Arab Indonesia) dan gerakan lainnya yang berujung pada kemerdekaan Hindi Belanda dan berdirinya Republik Indonesia.

 

Catatan:


  1. 1). Benedict Anderson, Imagined Comunites: Komunitas-komunitas Terbayang, (Yogyakarta: INSIS: 2002), Cet ke-II, hlm. Xi 
  2. 2). Restu Gunawan: “Pemuda dan Perempuan dalam Dinamika Nasionalisme Indonesia” dalam Indonesia dalam Arus Sejarah, (Diterbitkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Tth), Jilid III, hlm. 354-363. 
  3. 3). Benedict Anderson, Imagined Comunites…. hlm. 7. 
  4. 4). Benedict Anderson, Imagined Comunites…. hlm. 8. 
  5. 5). Benedict Anderson, Imagined Comunites…. hlm. 65. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *