(وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ)
(Dan tidak ada daya dan tidak ada kekuatan, kecuali dengan pertolongan Allah, Yang Maha Luhur lagi Maha Agung)
أَيْ لَا تَحَوُّلَ عَنْ مَعْصِيَةِ اللهِ إِلَّا بِاللهِ وَ لَا قُوَّةَ عَلَى طَاعَةِ اللهِ إِلَّا بِعَوْنِ اللهِ، هكَذَا وَرَدَ تَفْسِيْرُهُ عَنْهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَنْ جِبْرِيْلَ أَفَادَهُ شَيْخُنَا يُوْسُفُ السَّنْبَلَاوِيْنِيُّ
Maksudnya adalah tidak ada daya [menghindar] dari bermaksiat kepada Allah, kecuali dengan pertolongan Allah, dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kepada Allah, kecuali dengan pertolongan Allah. Demikianlah penafsirannya yang datang dari Nabi s.a.w., dari malaikat Jibril. Demikian faidah itu diberikan oleh guru kami, Syaikh Yūsuf as-Sanbalāwīnī.
وَ الْعَلِيُّ الْمُرْتَفِعُ الرُّتْبَةِ الْمُنَزَّهُ عَمَّا سِوَاهُ وَ الْعَظِيْمُ ذُو الْعَظَمَةِ و الْكِبْرِيَاءِ قَالَهُ الصَّاوِيُّ،
Dan al-‘Aliyyu [Maha Luhur] adalah Dzat Yang Maha Tinggi kedudukannya, yang tersucikan dari setiap sesuatu selain-Nya. Dan al-‘Azhīm adalah Dzat Pemilik keagungan dan kesombongan. Demikian Syaikh ash-Shāwī telah mengatakannya.
وَ إِنَّمَا أَتَى الْمُصَنِّفُ بِالْحَوْقَلَةِ لِأَجْلِ التَّبَرِّيْ مِنْهُمَا، فَهذِهِ عَلَامَةُ الْإِخْلَاصِ مِنْهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهِ
Dan sesungguhnya pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair] mendatangkan dengan kalimat Ḥauqalah [lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm, hanyalah karena bertujuan membebaskan diri dari kedua hal itu [daya dan kekuatan manusia]. Maka inilah tanda keikhlasan dari beliau, semoga Allah meridhai beliau.
كَمَا قَالَهُ بَعْضُهُمْ: صَحِّحْ عَمَلَكَ بِالْإِخْلَاصِ وَ صَحِّحْ إِخْلَاصَكَ بِالتَّبْرِيِّ مِنَ الْحَوْلِ وَ الْقُوَّةِ،
Sebagaimana sebagian ulama telah mengatakannya: “Murnikan amalmu dengan keikhlasan, dan murnikan ikhlasmu dengan membebaskan diri dari daya dan kekuatan [diri sendiri]” (KS-171).
وَ أَيْضًا هِيَ غِرَاسُ الْجَنَّةِ كَمَا فِيْ حَدِيْثِ الْمِعْرَاجِ لَمَّا رَأَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ سَيِّدَنَا إِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ جَالِسًا عِنْدَ بَابِ الْجَنَّةِ عَلَى كُرْسِيٍّ مِنْ زَبَرْجَدَ أَخْضَرَ
Dan juga kalimat Ḥauqalah merupakan tanaman-tanaman surga, sebagaimana [keterangan] dalam hadits Mi‘rāj (KS-182): “Tatkala Rasūlullāh s.a.w. melihat baginda kita Nabi Ibrāhīm a.s. sedang duduk di dekat pintu surga di atas kursi dari batu permata berwarna hijau.
قَالَ لِسَيِّدِنَا رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: مُرْ أُمَّتَكَ فَلْتَكْثُرْ مِنْ غِرَاسِ الْجَنَّةِ فَإِنَّ أَرْضَهَا طَيِّبَةٌ وَاسِعَةٌ
Maka Nabi Ibrāhīm a.s. berkata kepada baginda kita Rasūlullāh s.a.w. : Perintahkan umat anda agar mereka memperbanyak tanaman-tanaman surga, karena sesungguhnya tanah surga itu sangat baik [subur] lagi luas.”
فَقَالَ: وَ مَا غِرَاسُ الْجَنَّةِ؟
Lalu Nabi s.a.w. berkata: “Apakah tanaman-tanaman surga itu?”
فَقَالَ: لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.
Maka Nabi Ibrāhīm a.s. berkata: “[Tanaman-tanaman surga itu adalah] kalimat lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm (Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan, kecuali dengan pertolongan Allah, Yang Maha Luhur lagi Maha Agung)”
وَ قَالَ الْقَلْيُوْبِيُّ فِيْ شَرْحِ الْمِعْرَاجِ، فَائِدَةٌ: رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “مَنْ مَشَى إِلَى غَرِيْمِهِ بِحَقِّهِ يُؤَدِّيْهِ إِلَيْهِ
Dan telah berkata Syaikh al-Qalyūbī di dalam kitab Syaraḥ al-Mi‘rāj: “(Suatu faidah) diriwayatkan dari Sayyidinā Ibnu ‘Abbās r.a., bahwasanya beliau berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda (KS-193): “Siapa saja yang berjalan kepada pemberi hutang kepadanya, dengan membawa haknya yang ia akan menunaikan hak itu kepada pemberi hutang,
صَلَّتْ عَلَيْهِ دَوَابُّ الْأَرْضِ وَ نُوْنِ الْبِحَارِ أَيْ حِيْتَانُهَا وَ غُرِسَ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ شَجَرَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَ غُفِرَ لَهُ ذَنْبٌ،
maka akan ber-shalawat [berdoa] kepada orang itu, hewan-hewan bumi dan ikan paus berbagai luatan, yakni ikan-ikan laut, dan ditanamkan untuknya di setiap langkah berupa satu pohon di surga, dan diampuni suatu dosa baginya.
وَ مَا مِنْ غَرِيْمٍ يُلْوِيْ غَرِيْمَهُ أَيْ يُمَاطِلُهُ وَ يَسُوْفُ بِهِ وَ هُوَ قَادِرٌ إِلَّا كَتَبَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ كُلِّ وَقْتٍ إِثْمًا”.
Dan tidaklah seorang penghutang yang menangguhkan kepada pemberi hutangnya, yakni mengulur-ulur [pembayaran] hutangnya, dan menunda-nunda dengan hutangnya itu, padahal ia orang yang mampu, melainkan pasti Allah akan mencatatkan atasnya di setiap putaran waktu akan suatu dosa.“
وَ مِنْ خَوَاصِّهَا مَا فِيْ فَوَائِدِ الشَّرْجِيِّ قَالَ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا بِسَنَدِهِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: “مَنْ قَالَ كُلَّ يَوْمٍ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ لَمْ يُصِبْهُ فَقْرٌ أَبْدًا”. اهـ.
Dan di antara keistimewaan kalimat Ḥauqalah adalah keterangan yang terdapat dalam kitab Fawā’id-usy-Syarjiyyi: “Telah berkata Imam Ibnu Abid-Dunyā dengan sanad-nya yang tersambung sampai Nabi s.a.w.: “Bahwasanya Nabi s.a.w. telah bersabda: (KS-204): “Siapa saja yang mengucapkan di setiap hari kalimat lā haula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm sebanyak seratus kali, maka kefakiran tidak akan menimpanya, selamanya.” Selesai Syaikh asy-Syarjiyyi.
وَ رُوِيَ فِي الْخَبَرِ أَيْضًا: “إِذَا أُنْزِلَ بِالْإِنْسَانِ مُهِمٌّ وَ تَلَا لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ ثَلَاثَمِائَةِ مَرَّةٍ فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ أَيْ أَقَلَّهَا، ذلِكَ ذَكَرَهُ شَيْخُنَا يُوْسُفُ فِيْ حَاشِيَتِهِ عَلَى الْمِعْرَاجِ”.
Dan diriwayatkan dalam sebuah hadits juga (KS-215): “Apabila turun kepada seorang manusia hal yang menggelisahkan, dan ia membaca lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm, sebanyak 300 kali, niscaya Allah akan meringankan darinya,” yakni mengurangi hal yang menggelisahkannya itu. Demikian dituturkan hal itu oleh guru kami, Syaikh Yūsuf dalam hāsyiyah beliau mengenai penjelasan al-Mi‘rāj.
[تَنْبِيْهٌ] قَالَ الْعُلَمَاءُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ: اعْلَمْ أَنَّهُ لَا يُثَابُ ذَاكِرٌ عَلَى ذِكْرِهِ إِلَّا إِذَا عَرَفَ مَعْنَاهُ وَ لَوْ إِجْمَالًا بِخِلَافِ الْقُرْآنِ فَيُثَابُ قَارِئُهُ مُطْلَقًا، نَبَّهَ عَلَى ذلِكَ الْقَلْيُوْبِيُّ
(Peringatan) Telah berkata para ulama r.a.: “Ketahuilah bahwasanya orang yang ber-dzikir tidak akan mendapat pahala atas dzikirannya, kecuali apabila ia mengerti arti dzikir-nya itu, walaupun hanya secara umum. Berbeda dengan al-Qur’ān, maka pembacanya akan mendapat pahala secara mutlak [walaupun tidak mengerti artinya]”. Demikian telah memperingatkan atas hal itu oleh Syaikh al-Qalyūbī.
[فَائِدَةٌ] قَالَ الْمُقَدِّسِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: الْأَلِفُ وَ اللَّامُ فِيْ أَسْمَائِهِ تَعَالَى لِلْكَمَالِ لَا لِلْعُمُوْمِ وَ لَا لِلْعَهْدِ،
(Faidah). Telah berkata Syaikh al-Muqaddisī r.h.: “Huruf alif dan lām pada nama-nama Allah ta‘ālā untuk [menunjukkan] kesempurnaan, bukan untuk [menunjukkan pengertian] umum dan tidak untuk [menunjukkan pengertian] maklum.
قَالَ سِيْبَوَيْهِ: تَكُوْنُ لَامُ التَّعْرِيْفِ لِلْكَمَالِ تَقُوْلُ: زَيْدٌ الرَّجُلُ أَيِ الْكَامِلُ فِي الرُّجُوْلِيَّةِ
Imam Sibawaih berkata: “Keberadaan lām ta‘rīf untuk menunjukkan kesempurnaan [semisal] engkau mengucapkan: “Zaidun-ir-rajulu [Zaid sang lelaki]”, yakni orang yang sempurna dalam sifat kelelakiannya.”
وَ كَذلِكَ هِيَ مِنْ أَسْمَائِهِ تَعَالَى، ذَكَرَ هذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ أَحْمَدُ التُّوْنِسِيُّ فِيْ نَشْرِ اللَّآلِيْ.
Dan demikian pula, huruf lam ta‘rīf dari nama-nama Allah ta‘ālā lainnya. Demikian dituturkan dua pendapat ini oleh Syaikh Aḥmad at-Tūnisī di dalam kitab Nasyr-ul-La’ālī.
وَ اعْلَمْ أَنَّ لَفْظَ الْجَلَالَةِ أَعْرَفُ الْمَعَارِفِ بِاتِّفَاقِ.
Dan ketahuilah bahwa lafazh-ul-Jalālah merupakan paling ma‘rifat-nya berbagai isim ma‘rifat, berdasarkan kesepakatan ulama [ahli Nahwu].
وَ يُحْكَى أَنَّ سِيْبَوَيْهِ رُؤِيَ فِي الْمَنَامِ و أَخْبَرَ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَى أَكْرَمَهُ بِكَرَامَةٍ عَظِيْمَةٍ بِقَوْلِهِ أَنَّ اسْمَهُ تَعَالَى أَعْرَفُ الْمَعَارِفِ.
Dan diceritakan bahwa Imam Sibawaih diimpikan di dalam tidur [seseorang], dan beliau memberitahukan dengan hal bahwa Allah ta‘ālā telah memuliakan beliau, dengan kemuliaan yang agung, karena ucapan beliau: “Sesungguhnya nama Allah ta‘ālā merupakan paling ma‘rifat-nya isim-isim ma‘rifat.”
Catatan: