(الْحَمْدُ) أَيِ الثَّنَاءُ بِالْكَلَامِ عَلَى الْجَمِيْلِ الْاِخْتِيَارِيِّ مَعَ جِهَةِ التَّبْجِيْلِ وَ التَّعْظِيْمِ سَوَاءٌ كَانَ فِيْ مُقَابِلَةِ نِعْمَةٍ أَمْ لَا
(Segala puji) yakni penyanjungan dengan ucapan menurut cara yang bagus yang diupayakan dengan kesadaran sendiri, disertai tujuan memuliakan dan mengagungkan, sama saja keadaan pujian itu dalam hal merespon terhadap kenikmatan ataupun tidak,
مُسْتَحِقٌّ (للهِ)
Adalah menjadi hak (bagi Allah).
وَ هذَا هُوَ الْحَمْدُ اللُّغَوِيُّ الَّذِيْ طُلِبَتِ الْبِدَاءَةُ بِهِ،
Dan ini merupakan pujian secara bahasa, yang dianjurkan untuk memulai [sesuatu] dengannya.
وَ أَمَّا الْحَمْدُ الْاِصْطِلَاحِيُّ فَلَا تُطْلَبُ الْبِدَاءَةُ بِهِ
Adapun pujian secara istilah, maka tidak dianjurkan untuk memulai [sesuatu] dengan pujian itu.
وَ هُوَ فِعْلٌ يَدُلُّ عَلَى تَعْظِيْمِ الْمُنْعِمِ مِنْ حَيْثُ كَوْنِهِ مُنْعِمًا عَلَى الْحَامِدِ أَوْ غَيْرِهِ
Dan pujian secara istilah itu adalah suatu perbuatan yang menunjukkan atas pengagungan kepada Sang pemberi karunia, dari sisi keberadaannya sebagai pemberi nikmat kepada si pemuji atau kepada selainnya. (KS-091).
سَوَاءٌ كَانَ ذلِكَ قَوْلًا بِاللِّسَانِ أَوِ اعْتِقَادًا بِالْجِنَانِ أَوْ عَمَلًا بِالْأَرْكَانِ الَّتِيْ هِيَ الْأَعْضَاءُ
Sama saja keadaan pujian itu berupa ucapan dengan lidah, atau keyakinan dengan hati, atau berupa perbuatan dengan berbagai organ tubuh, yaitu anggota-anggota tubuh.
(رَبِّ) أَيْ مُصْلِحٍ (الْعَالَمِيْنَ)
(Tuhan) yakni Dzat Pemelihara (semesta alam).
لَمَّا افْتَتَحَ بِالْبَسْمَلَةِ افْتِتَاحًا حَقِيْقِيًّا افْتَتَحَ بِالْحَمْدَلَةِ افْتِتَاحًا إِضَافِيًّا جَمْعًا بَيْنَ حَدِيْثَيِ الْبَسْمَلَةِ وَ الْحَمْدَلَةِ وَ اقْتِدَاءً بِالْكِتَابِ أَيْضًا.
Tatkala pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair] membuka [kitabnya] dengan basmalah sebagai pembuka secara hakikat, maka beliau membuka [juga] dengan ḥamdalah sebagai pembuka secara penyandaran, lantaran menggabung di antara dua hadits [mengenai] basmalah dan ḥamdalah, dan juga karena mengikut kepada al-Kitāb [al-Qur’ān].
وَ عَمَلًا بِحَدِيْثِ ابْنِ مَاجَهَ: “كُلُّ أَمْرِ ذِيْ بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيْهِ بِالْحَمْدِ للهِ فَهُوَ أَجْذَمُ”
Dan karena mengamalkan dengan hadits Imam Ibnu Mājah (KS-102): “Setiap perkara yang memiliki hal penting, yang tidak dimulai dalam perkara tersebut dengan ucapan al-Ḥamdulillāh, maka perkara itu [laksana orang yang] terpoton jari-jemarinya.”
وَ فِيْ رِوَايَةٍ: “فَهُوَ أَقْطَعُ”.
Dan dalam riwayat lain [disebutkan]: “maka perkara itu [bagai orang yang] terpotong tangannya.”
وَ فِيْ رِوَايَةٍ: “فَهُوَ أَبْتَرُ”
Dan dalam riwayat lain [disebutkan]: “maka perkara itu [bagai orang yang] terpotong ekornya.”
وَ الْمَعَنْىَ عَلَى كُلٍّ مَقْطُوْعُ الْبَرَكَةِ وَ نَاقِصُهَا وَ قَلِيْلُهَا.
Dan pengertian yang dimaksud pada setiap riwayat ḥadīts itu adalah yang terpotong barakah-nya, dan yang kurang barakah-nya dan yang sedikit barakah-nya.
قَالَ النَّوَوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: يُسْتَحَبُّ الْحَمْدُ فِي ابْتِدَاءِ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ وَ كَذَا فِي ابْتِدَاءِ دُرُوْسِ الْمُدَرِّسِيْنَ وَ قِرَاءَةِ الطَّالِبِيْنَ بَيْنَ يَدَيِ الْمُعَلِّمِيْنَ
Telah berkata Imam an-Nawawī r.h.: “Disunnahkan pujian [menulis atau mengucap hamdalah] dalam mengawali kitab-kitab yang dikarang, dan begitupun dalam mengawali berbagai pelajaran oleh para pelajar, dan bacaan oleh para penuntut ilmu di hadapan para pengajar.
سَوَاءٌ قَرَأَ حَدِيْثًا أَوْ فِقْهًا أَوْ غَيْرَهُمَا،
Sama saja ia membaca [kitab] hadits atau fiqih, atau selainnya.
وَ أَحْسَنُ الْعِبَارَاتِ فِيْ ذلِكَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Dan sebagus-bagusnya ungkapan dalam pengucapan hamdalah itu adalah “al-ḥamdulillāhi rabb-il-‘ālamīn.”
وَ قَالَ بَعْضُ الشَّافِعِيَّةِ: أَفْضَلُ الْمَحَامِدِ أَنْ يُقَالَ: الْحَمْدُ للهِ حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَ يُكَافِىءُ مَزِيْدَهُ.
Dan telah berkata sebagian penganut madzhab Imam Syāfi‘ī: “Paling utamanya puji-pujian adalah hendaknya diucapkan: Al-ḥamdulillāhi ḥamdan yuwāfī ni‘amahu wa yukāfiu mazīdahu [Segala puji bagi Allah, dengan pujian yang dapat menyepadani segala karunia-Nya dan dapat menyepadani penambahan karunia-Nya]”.
وَ قِيْلَ: أَفْضَلُ الْمَحَامِدِ أَنْ يُقَالَ: الْحَمْدُ للهِ بِجَمِيْعِ مَحَامِدِهِ كُلِّهَا مَا عَلِمْتُ مِنْهَا وَ مَا لَمْ أَعْلَمْ،
Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: Paling utamanya puji-pujian adalah hendaknya diucapkan: Al-ḥamdu lillāhi bijamī‘i maḥāmidihi kullihā mā ‘alimtu minhā wa mā lam a‘lam. [Segala puji bagi Allah, dengan segala puji-pujian kepada-Nya seluruhnya, berupa bentuk pujian yang aku telah mengetahui darinya dan bentuk pujian yang belum aku ketahui].”
زَادَ بَعْضُهُمْ؛ عَدَدَ خَلْقِهِ. كُلِّهِمْ مَا عَلِمْتُ مِنْهُمْ وَ مَا لَمْ أَعْلَمْ.
Sebagian ulama menambahkan: “‘adada khalqihi kullihim mā ‘alimtu minhum wa mā a‘lam. [sebanyak bilangan makhluk-Nya, seluruhnya, berupa makhluk yang telah aku ketahui darinya, dan makhluk yang tidak aku ketahui].”
وَ فِيْ خَبَرِ ابْنِ مَاجَهَ عَنْ عَائِشَةَ: “كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ قَالَ: الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ،
Dan di dalam hadits Imam Ibnu Mājah, dari Sayyidatinā ‘Ā’isyah [disebutkan] [KS-113]: “Adalah Rasūlullāh s.a.w. apabila beliau melihat perkara yang disenangi, maka beliau bersabda: “al-ḥamdu lillāhi ladzī bi ni‘matihi tatimmush-shāliḥāt. [Segala puji bagi Allah, yang dengan karunia-Nya menjadi sempurna berbagai kebaikan]”.
وَ إِذَا رَأَى مَا يُكْرَهُ قَالَ: الْحَمْدُ للهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ رَبِّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ حَالِ أَهْلِ النَّارِ
Dan apabila beliau melihat perkara yang tidak disenangi, beliau bersabda: “al-ḥamdu billāhi ‘alā kulli ḥālin rabbī innī a‘ūdzu bika min ḥāli ahlin-nār. [Segala puji bagi Allah atas segala keadaan, wahai Tuhanku sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setiap keadaan penghuni neraka].”
(وَ بِهِ) لَا بِغَيْرِهِ (نَسْتَعِيْنُ) أَيْ نَطْلُبُ الْمَعُوْنَةَ،
(Dan hanya kepada-Nya), tidak kepada selain-Nya, (kami memohon pertolongan) yakni kami meminta pertolongan.
فَتَقْدِيْمُ الْجَارِّ وَ الْمَجْرُوْرِ لِإِفَادَةِ الْاِخْتِصَاصِ
Adapun didahulukan [susunan kalimat] al-Jārr dan al-Majrūr karena guna memberi pengertian pengkhususan.
(عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَ الدِّيْنِ)
(atas berbagai perkara dunia dan agama).
يُطْلَقُ الدِّيْنُ لُغَةً عَلَى مَعَانٍ كَثِيْرَةٍ مِنْهَا الطَّاعَةُ وَ الْعِبَادَةُ وَ الْجَزَاءُ وَ الْحِسَابُ،
Diucapkan kata ad-Dīn secara bahasa untuk [menunjukkan] berbagai makna yang banyak, di antaranya [bermakna] ketaatan, ibadah, balasan, dan perhitungan.
وَ شَرْعًا عَلَى مَا شَرَّعَهُ اللهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ مِنَ الْأَحْكَامِ
Dan secara syariat [kata ad-Dīn bermakna] sesuatu yang Allah telah men-syarī‘at-kannya melalui lidah Nabi-Nya, berupa berbagai hukum.
وَ سُمِّيَ دِيْنًا لِأَنَّنَا نَدِيْنُ لَهُ أَيْ نَعْتَقِدُ وَ نَنْقَادُ،
Dan dinamakan Dīn [tunduk], karena sesungguhnya kita tunduk kepadanya, yakni kita meyakini dan mengikutinya.
وَ يُسَمَّى أَيْضًا مِلَّةٌ مِنْ حَيْثُ أَنَّ الْمَلِكُ يُمْلِيْهِ أَيْ يُلْقِيْهِ عَلَى الرَّسُوْلِ وَ هُوَ يُمْلِيْهِ عَلَيْنَا،
Dan [beragam ketentuan tersebut] dinamakan juga dengan Millah [dikte], dari sisi bahwa Dzat Maha Raja [Allah] mendiktekannya, yakni menyampaikannya kepada Rasūl-Nya, dan Rasūl menyampaikannya kepada kita.
وَ يُسَمَّى أَيْضًا شَرْعًا وَ شَرِيْعَةً مِنْ حَيْثُ أَنَّ اللهَ شَرَّعَهُ لَنَا أَيْ بَيَّنَهُ لَنَا عَلَى لِسَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Dan [beragam ketentuan tersebut] dinamai juga dengan syara‘ dan syarī‘at dari sisi bahwa Allah sungguh telah men-syarī‘at-kannya kepada kita, yakni telah menjelaskannya kepada kita melalui lisan Nabi s.a.w.
Catatan:
- KS-09: Di dalam kitab Fatḥ-ul-Wahhāb, Juz 1, halaman 2, baris ke 16-17. Di dalam kitab Mawāhib-ush-Shamad, halaman 2, baris ke 16-18. ↩
- KS-10: Di dalam Sunan Abī Dāūd hadits ke 4840 (Kitab al-Ādāb, Bab al-Hadyi fī Kalām), dari Abū Hurairah, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: كُلُّ كَلَامٍ لَا يُبْدَأُ فِيْهِ بِالْحَمْدُ للهِ فَهُوْ أَجْذَمُ. Di dalam Sunan Ibni Mājah hadits ke 1894 (Kitab an-Nikāḥ, Bab Khuthbat-in-Nikāḥ), dari Abū Hurairah, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيْهِ بِالْحَمْدِ أَقْطَعُ. Di dalam kitab Al-Jāmi‘-ush-Shaghīr, Juz II, huruf kāf, halaman 92, baris ke 13-14, HR. Ibnu Mājah dan Dāraquthnī [dari Abū Hurairah] dengan kalimat mirip Sunan Dāraquthnī, dan di baris ke 15-16, HR. Ar-Rahawī [dari Abū Hurairah], disebutkan: كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لَا يُبْدَأُ بِحَمْدِ اللهِ وَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ فَهُوَ أَقْطَعُ أَبْتَرُ مَمْحُوْقٌ مِنْ كُلِّ بَرَكَةٍ. Di dalam Sunan Dāraquthnī hadits ke 872 (Kitab ash-Shalāti) dari Abū Hurairah, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيْهِ بِحَمْدِ اللهِ أَقْطَعُ Di dalam kitab Syu‘ab-ul-Īmān, Imām Baihaqī [384-458 H.], Juz IV, halaman 90, hadits ke 4372, dari Abū Hurairah, kalimat mirip Sunan Dāraquthnī. Di dalam kitab az-Zuhdi wa shifat-iz-Zāhidīn, Imām Abū Sa‘īd Aḥmad bin Muḥammad bin Ziyād bin Basyar bin Darāhīm [Ibn-ul-A‘rabī 245-340 H.], halaman 17, hadits ke 1, dari Abū Hurairah, kalimat mirip Sunan Dāraquthnī. Di dalam kitab Fadhīlat-usy-Syukr, Imām Abū Bakar Muḥammad bin Ja‘far bin Sahl as-Sāmirī [Imām al-Khuranthī 237-327 H.], halaman 38, hadits ke 17 dari Abū Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda: كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيْهِ بِالْحَمْدُ للهِ فَهُوَ أَقْطَعُ. Di dalam kitab Riyādh-ush-Shāliḥīn, halaman 254, hadits ke 1394, dari Abu Hurairah, kalimat sama seperti Fadhīlat-usy-Syukr. ↩
- KS-11: Di dalam Sunan Ibni Mājah hadits ke 3804 (Kitab al-Ādāb, Bab Fadhl-il-Ḥāmidīn), dari ‘Ā’isyah, tanpa kalimat: Rabbi Innī ‘Aūdzu Bika Min Ḥāli Ahl-in-Nār. Terdapat di dalam kitab Al-Jāmi‘-ush-Shaghīr, Juz II, Bab Kāna, halaman 107, baris ke10-11, HR. Ibnu Mājah [dari ‘Ā’isyah]. ↩