قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ)
Berkata pengarang kitab Safīnat-un-Najā [Syaikh Sālim bin Sumair] r.h. (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang),
أَيْ بِكُلِّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ الذَّاتِ الْأَعْلَى الْمَوْصُوْفِ بِكَمَالِ الْأَفْعَالِ أَوْ بِإِرَادَةِ ذلِكَ أُؤَلِّفُ مُتَبَرِّكًا أَوْ مُسْتَعِيْنًا
Yakni dengan menyebut setiap nama dari berbagai nama dzat yang luhur, yang bersifat dengan kesempurnaan berbagai perbuatan, atau dengan menghendaki hal-hal itu, aku mengarang seraya mencari keberkahan atau sembari berharap pertolongan.
فَسَّرَهُ بِذلِكَ شَيْخُنَا أَحْمَدُ الدِّمْيَاطِيُّ فِيْ حَاشِيَتِهِ عَلَى أُصُوْلِ الْفِقْهِ.
Demikian penafsiran mengenai hal itu oleh guru kami, Syaikh Aḥmad Ad-Dimyāthī di dalam kitab Ḥāsyiyah beliau, [yang membahas] mengenai ilmu Ushūl Fiqh.
اِبْتِدَأَ الْمُصَنِّفُ كِتَابَهُ بِالْبَسْمَلَةِ اقْتِدَاءً بِالْكِتَابِ الْعَزِيْزِ فِي ابْتِدَائِهِ بِهَا أَيْ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوْظِ أَوْ بَعْدَ جَمْعِهِ وَ تَرْتِيْبِهِ فِي الْمُصْحَفِ،
Pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair] mengawali kitabnya dengan ucapan basmalah karena mengikuti Kitab Yang Agung [al-Qur’ān] dalam hal diawalinya dengan basmalah, yakni di dalam al-Lauḥ-ul-Maḥfūzh atau setelah terkumpulkannya dan tersusunkannya di dalam Mushḥaf [al-Qur’ān].
وَ أَمَّا مَا رُوِيَ أَنَّ أَوَّلَ مَا كَتَبَهُ الْقَلَمُ أَنَا التَّوَّابُ وَ أَنَا أَتُوْبُ عَلَى مَنْ تَابَ فَهُوَ فِيْ سَاقِ اْلعَرْشِ.
Adapun keterangan (KS-041) yang teriwayatkan bahwa hal pertama yang al-Qalam menulisnya adalah: “Aku Maha Penerima taubat, dan Aku akan menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat,” maka kalimat tersebut berada di tiang penyangga ‘Arasy.
وَ امْتِثَالًا وَ إِطَاعَةً لِأَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْ قَوْلِهِ: “إِنَّ أَوَّلَ مَا كَتَبَهُ الْقَلَمُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dan kerana meneladani dan mematuhi kepada perintah Nabi s.a.w. dalam sabda beliau: “Sesungguhnya hal paling awal yang al-Qalam menulisnya adalah bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm.”
فَإِذَا كَتَبْتُمْ كِتَابًا فَاكْتُبُوْهَا أَوَّلَهُ وَ هِيَ مِفْتَاحُ كُلِّ كِتَابٍ أُنْزِلَ
Maka apabila kalian menulis sebuah kitab, maka tulislah kalimat basmalah di permulaannya. Dan basmalah merupakan pembuka setiap kitab yang sudah diturunkan [oleh Allah].
وَ لَمَّا نَزَلَ عَلَيَّ جِبْرِيْلُ بِهَا أَعَادَهَا ثَلَاثًا
Dan tatkala malaikat Jibrīl turun kepadaku dengan membawa basmalah, maka ia mengulang [kalimat] basmalah sebanyak tiga kali.
وَ قَالَ: هِيَ لَكَ وَ لِأُمَّتِكَ فَمُرْهُمْ لَا يَدَعُوْهَا فِيْ شَيْءٍ مِنْ أُمُوْرِهِمْ
Dan ia berkata: “Basmalah itu untuk anda, dan untuk umat anda, maka perintahkanlah mereka, jangan mereka meninggalkan basmalah di sesuatupun dari berbagai urusan mereka.
فَإِنِّيْ لَمْ أَدَعْهَا طَرْفَةَ عَيْنٍ مُنْذُ نَزَلَتْ عَلَى أَبِيْكَ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَ كَذَا الْمَلَائِكَةُ”.
Karena sesungguhnya aku tidak pernah meninggalkan kalimat basmalah sekejap matapun, semenjak basmalah diturunkan kepada bapakmu, Nabi Ᾱdam a.s., dan begitupun para malaikat yang lain.”
وَ فِيْ رِوَايَةٍ: “إِذَا كَتَبْتُمْ كِتَابًا فَاكْتُبُوْا فِيْ أَوَّلِهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ وَ إِذَا كَتَبْتُمُوْهَا فَاقْرَؤُوْهَا”.
Dan di dalam riwayat lain [disebutkan]: “Apabila kalian menulis kitab, maka tulislah oleh kalian di awal kitab itu bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm, dan apabila kalian telah menulisnya, maka bacalah basmalah itu.”
وَ رُوِيَ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: “تَخَلَّقُوْا بِأَخْلَاقِ اللهِ”
Dan diriwayatkan dari Nabi s.a.w. bahwasanya beliau bersabda: (KS-052): “Berbudi pekertilah kalian dengan budi-budi pekerti Allah.”
وَ لَا شَكَّ أَنْ عَادَتَهُ تَعَالَى فِي ابْتِدَاءِ كُلِّ سُوْرَةٍ الإِتْيَانُ بِالْبَسْمَلَةِ سِوَى بَرَاءَةَ فَنَحْنُ مَأْمُوْرُوْنَ بِهِ
Dan tidak ada keraguan bahwa kebiasaan Allah ta‘ālā dalam memulai setiap surah itu adalah mendatangkan dengan [diawali] basmalah, kecuali surah Barā’ah [at-Taubah], maka kita diperintahkan dengannya,
وَ عَمَلًا بِحَدِيْثِ أَبِيْ دَاوُدَ وَ غَيْرِهِ: “كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فَهُوَ أَبْتَرُ أَوْ أَقْطَعُ أَوْ أَجْذَمُ”
Dan karena mengamalkan hadits Imam Abū Dāūd dan lainnya (KS-063): “Segala perkara yang memiliki suatu hal penting yang tidak dimulai perkara itu dengan bismillāh-ir-rahmān-ir-raḥīm, maka perkara itu [laksana makhluk yang] terpotong ekornya, atau terpotong tangannya, atau terpotong ujung jarinya [kurang sempurna].”
وَ الْبَالُ الشَّرَفُ وَ الْعَظَمَةُ أَوِ الْحَالُ، وَ الشَّأْنُ الَّذِيْ يُهْتَمُّ بِهِ شَرْعًا،
Al-Bāl adalah hal yang mulia dan agung, atau adalah kondisi dan hal penting yang perlu diperhatikan dalam pandangan syariat.
وَ مَعْنَى الْاِهْتِمَامِ بِهِ طَلَبُهُ أَوْ إِبَاحَتُهُ بِأَنْ لَا يَكُوْنَ مُحَرَّمًا لِذَاتِهِ وَ لَا مَكْرُوْهًا لِذَاتِهِ،
Arti berperhatian dengan perkara itu adalah menuntut perkara itu atau diperbolehkan perkara itu, seumpama bentuk perkara itu bukan sesuatu yang diharamkan pada zatnya, dan tidak dimakruhkan pada dzatnya.
لكِنْ لَا تُطْلَبُ الْبَسْمَلَةُ عَلَى مُحْقِرَاتِ الْأُمُوْرِ كَكَنْسِ زَبَلٍ وَ لَا تُطْلَبُ لِلذِّكْرِ الْمَحْضِ كَالتَّهْلِيْلِ.
Akan tetapi tidak dianjurkan membaca basmalah pada beberapa perkara yang hina, seperti menyapu kotoran hewan, dan tidak pula dianjurkan pada dzikiran yang murni, seperti tahlīl [dzikir lā ilāha illallāh].
وَ قَالَ الشَّيْخُ عُمَيْرَةُ: وَ الْبَالُ أَيْضًا: الْقَلْبُ كَأَنَّ الْأَمْرَ لِشَرَفِهِ وَ عَظَمِهِ مَلَّكَ قَلْبَ صَاحِبِهِ لِاشْتِغَالِهِ بِهِ
Dan telah berkata Syaikh ‘Umairah: “al-Bāl juga bisa berarti hati, seakan bahwa suatu perkara itu, karena mulianya perkara dan agungnya itu telah menguasai hati pemiliknya [pelakunya], karena tersibukkan dirinya dengan perkara tersebut.”
وَ فِيْ قَوْلِهِ فِيْهِ لِلسَّبَبِيَّةِ عَلَى قِيَاسِ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “دَخَلَتِ امْرَأَةٌ النَّارَ فِيْ هِرَّةٍ” أَيْ بِسَبَبِهَا حَبِسَتْهَا وَ هِيَ امْرَأَةٌ مِنْ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ،
Dan dalam sabda Nabi s.a.w. “fīhi”, fā’ ḥurūf jarr [khafadh] bermakna sababiyyah, lantaran dipersamakan dengan sabda Nabi s.a.w. (KS-074): “Seorang wanita masuk neraka sebab seekor kucing,” yakni dengan sebab kucing yang dikurung olehnya. Dan dia adalah seorang wanita dari bangsa Banī Isrā’īl.
وَ الْأَبْتَرُ مَقْطُوْعُ الذَّنَبِ، وَ الْأَقْطَعُ مَنْ قَطَعَتْ يَدَاهُ أَوْ إِحْدَاهُمَا، وَ الْأَجْذَمُ بِالذَّالِ الْمُعْجَمَةِ الْمَقْطُوْعُ الْيَدِ
Dan al-Abtar adalah yang terpotong ekornya, dan al-Aqtha‘ adalah orang yang terpotong kedua tangannya atau salah satunya, dan al-Ajdzam dengan huruf dzāl yang bertitik, adalah orang yang putus tangannya.
وَ قِيْلَ الذَّاهِبُ الْأَنَامِلَ.
Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: “[al-Ajdzam] adalah orang yang hilang jari-jemarinya.”
وَ قَالَ الْبَرَاوِيُّ: هُوَ عِلَّةٌ مَعْرُوْفَةٌ مِنْ بَابِ التَّشْبِيْهِ الْبَلِيْغِ،
Dan telah berkata Syaikh al-Barāwī: “Hal itu merupakan ‘illat [alasan] yang sudah umum, termasuk dari Bāb-ut-Tasybīh-il-Balīgh [penyerupaan yang tanpa menggunakan kalimat penyerupaan]”
وَ مَعْنَى الْحَدِيْثِ: كُلُّ شَيْءٍ لَهُ شَرَفٌ وَ عَظَمَةٌ. أَوْ كُلُّ شَيْءٍ يُطْلَبُ أَوْ يُبَاحُ أَوْ كُلُّ شَيْءٍ لَهُ قَلْبٌ أَيْ يَمْلِكُ قَلْبًا
Dan arti hadits tersebut adalah: “Setiap sesuatu yang memiliki kemuliaan dan keagungan, atau setiap sesuatu yang dianjurkan atau diperbolehkan, atau setiap sesuatu yang memiliki hati, yakni sesuatu itu menguasai suatu hati,
لَا يُبْدَأُ بِسَبَبِ ذلِكَ الشَّيْءِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فَهُوَ كَالْحَيَوَانِ الْمَقْطُوْعِ الذَّنَبِ أَوْ كَمَنْ قَطَعَتْ يَدَاهُ أَوْ كَمَنْ ذَهَبَتْ أَنَامِلُهُ أَوْ كَمَنْ بِهِ جُذَامٌ فِيْ نَقْصِهِ وَ عَيْبِهِ شَرْعًا وَ إِنْ تَمَّ حِسًّا.
yang tidak dimulai dengan penyebab [hal penting dari] perkara tersebut, dengan bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm, maka sesuatu tersebut seperti hewan yang terpotong ekornya, atau seperti orang yang terpotong dua tangannya, atau seperti orang yang kehilangan jari jemarinya, atau seperti orang yang terkena penyakit lepra, dalam sisi kekurangannya dan cacatnya menurut syarī‘at, meskipun sempurna secara indrawi.
وَ اخْتُلِفَ فِي الْبَسْمَلَةِ هَلْ هِيَ آيَةٌ مِنَ الْفَاتِحَةِ وَ مِنْ كُلِّ سُوْرَةٍ
Dan diperselisihkan tentang basmalah itu, apakah termasuk ayat dari surah al-Fātiḥah, dan dari semua surah lainnya.
فَعِنْدَ مَالِكٍ أَنَّهَا لَيْسَتْ آيَةً مِنَ الْفَاتِحَةِ وَ لَا مِنْ كُلِّ سُوْرَةٍ،
Maka menurut Imam Mālik: “Sesungguhnya basmalah bukan termasuk ayat dari surah al-Fātiḥah, dan bukan bagian dari setiap surah.”
وَ عِنْدَ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهَا آيَةٌ مِنْ كُلِّ سُوْرَةٍ،
Dan menurut Syaikh ‘Abdullāh ibn-ul-Mubārak: “Sesungguhnya basmalah termasuk ayat dari setiap surah.”
وَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا آيَةٌ مِنَ الْفَاتِحَةِ وَ تَرَدَّدَ فِيْ غَيْرِهَا
Dan menurut Imam asy-Syāfi‘ī: “Sesungguhnya basmalah adalah ayat dari surah al-Fātiḥah, namun beliau ragu-ragu [tidak memastikannya] pada selain surah al-Fātiḥah.”
وَ لَمْ يَخْتَلِفُوْا فِيْهَا فِي النَّمْلِ فِيْ عَدِّهَا مِنَ الْقُرْآنِ.
Dan para ulama tidak berselisih pendapat mengenai basmalah di dalam surah an-Naml, dalam hal diperhitungkannya basmalah tersebut termasuk al-Qur’ān.
وَ مِنْ خَوَاصِّهَا إِذَا تَلَاهَا شَخْصٌ عِنْدَ النَّوْمِ إِحْدَى وَ عِشْرِيْنَ مَرَّةً أَمِنَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَ أَمِنَ بَيْتُهُ مِنَ السَّرِقَةِ وَ أَمِنَ مِنْ مَوْتِ الْفُجْأَةِ وَ غَيْرِ ذلِكَ مِنَ الْبَلَايَا أَفَادَهُ أَحْمَدُ الصَّاوِيُّ.
Dan di antara berbagai keistimewaan basmalah adalah apabila seseorang membacanya ketika [hendak] tidur sebanyak 21 kali, maka ia akan aman pada malam itu dari syetan, dan aman rumahnya dari pencurian, dan aman dari kematian mendadak, dan lain-lainnya dari berbagai bencana. Demikian Syaikh Aḥmad ash-Shāwī memberi penjelasan hal itu. (KS-085).
Catatan: