Waktu-waktu Mustajab Untuk Berdo’a – Al-Ma’tsurat

Al-Ma’tsūrāt
Kitab Doa Tertua

Diterjemahkan dari: Ad-Du‘ā-ul-Ma’tsūru wa Ādābuhu wa Mā Yajibu ‘alad-Dā’i Ittibā‘uhu
Karya: Abū Bakr ath-Thurthūsyī al-Andalūsī
 
Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin
Penerbit: Zaman

4.

Waktu-waktu Mustajāb

 

Allah s.w.t. berfirman tentang keluarga Ya‘qūb a.s.: “Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah untuk kami ampunan atas dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang yang berbuat dosa.” Dia (Ya‘qūb) berkata: “Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Yūsuf [12]: 97-98).

1

Nabi Ya‘qūb a.s. kemudian menunda doanya hingga tengah malam. (161) Diriwayatkan bahwa Nabi Ya‘qūb a.s. berdoa di tengah malam dan di-amini oleh anak-anaknya yang duduk di belakangnya. Allah s.w.t. pun kemudian mewahyukan kepadanya: “Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka, dan Aku jadikan mereka sebagai nabi.”

Diriwayatkan oleh Imām Mālik dan al-Bukhārī bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda: “Tuhan kami (kita ?????) turun ke langit dunia di sepertiga terakhir setiap malam, lalu berfirman: “Barang siapa yang berdoa (memohon) kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkannya, barang siapa yang momohon ampun kepada-Ku niscaya Aku akan mengampuni dosa-dosanya, dan barang siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan apa yang dimintanya”.

2

Di antara waktu diperkenankan doa (waktu mustajāb) adalah hari Jum‘at. Diriwayatkan oleh Malik dan selainnya bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda: “Sebaik-baik hari di mana matahari terbit adalah hari Jum‘at. Pada hari ini terdapat waktu yang seorang muslim takkan berdoa meminta sesuatu kepada Allah s.w.t. kecuali Allah s.w.t. akan mengabulkannya.” Dikatakan: “Meskipun yang berdoa itu orang munafiq?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya orang munafiq takkan mendapati waktu itu.”

3

Di antara waktu diperkenankannya doa adalah seperti tertuang dalam sebuah hadits berikut. Nabi s.a.w. bersabda: “Sebaik-baik hari saat matahari terbit adalah hari Jum‘at. Pada hari ini, Ādam diciptakan, dimasukkan ke surga, diampuni kesalahannya, dan diturunkan ke bumi, serta kiamat terjadi.” (172).

Kalangan ‘ulamā’ berbeda pendapat tentang spesifikasi waktu yang dimaksud hadits di atas. Sebagian mengatakan bahwa waktu yang dimaksud Nabi s.a.w. adalah saat matahari terbit pada hari Jum‘at. Sebagian lain mengatakan bahwa itu adalah saat matahari hari Jum‘at tenggelam. Lalu, ‘ulama’ lainnya menyatakan bahwa itu adalah waktu saat ‘adzan shalat Jum‘at dikumandangkan. (183).

Dikatakan bahwa waktu yang dimaksud adalah ketika sang khathīb naik ke atas mimbar dan menyampaikan khuthbahnya.

Dikatakan juga bahwa waktu yang dimaksud adalah ketika orang-orang mengerjakan shalat Jum‘at.

Menurut sebagian besar ‘ulamā’, waktu yang dimaksud oleh hadits di atas adalah setelah ‘Ashar hari Jum‘at. Di sini, mereka kemudian berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud waktu setelah ‘Ashar adalah sesaat setelah waktu ‘Ashar. Tapi, sebagian lain menyebutkan bahwa waktu setelah ‘Ashar adalah waktu di penghujung terakhir siang hari Menurut kami, pendapat terakhir inilah yang paling kuat, meskipun kaidah qiyas tidak terdapat dalam persoalan ini. (194).

Diriwayatkan oleh Imām Muslim bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Allah s.w.t. menciptakan tanah pada hari Sabtu, menciptakan gunung-gunung di atasnya pada hari Aḥad (Minggu), menciptakan pepohonan pada hari Senin, menciptakan sesuatu yang buruk dan dibenci pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, menciptakan Ādam setelah waktu ‘Ashar hari Jum‘at sebagai penciptaan terakhir pada jam terakhir hari Jum‘at antara waktu ‘Ashar hingga malam tiba.” (205).

Hadits ini tentu akan membuat kita mengetahui bagaimana kemuliaan dan keutamaan yang dimiliki oleh hari Jum‘at.

4.

Di antara waktu diperkenankannya doa adalah seperti tertuang dalam sebuah hadits riwayat Mālik dan Jamā‘ah tentang perdebatan antara Abū Hurairah dan Ka‘b. Ka‘b berkata: “Sesungguhnya itu (waktu mustajāb) terdapat pada jam-jam terakhir hari Jum‘at. Aku pernah mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Seorang hamba takkan mendapati waktu itu ketika sudah sangat terlambat untuk mengerjakan shalat (Maghrib).”

Ka‘b berkata: “Bukankah Nabi s.a.w. bersabda: “Barang siapa yang duduk menunggu didirikannya shalat maka sesungguhnya ia sudah dianggap mengerjakan shalat?” Abū Hurairah menjawab: “Ya, benar.” Ka‘b lalu berkata: “Begitulah keadaannya.”

Hal ini juga diperkuat oleh sebuah hadits yang diriwayatkan dari Fāthimah, yang tidak kami temukan di dalam ash-Shaḥīḥ. Fāthimah memerintahkan pelayannya sesaat sebelum matahari terbenam agar mengumandangkan adzan saat matahari sudah benar-benar tenggelam. Pada saat itulah, Fāthimah memanjatkan doa hingga matahari terbenam.

5

Orang yang ingin mendapatkan waktu mustajāb tersebut, yang menganggapnya cukup penting, dan yang mengharapkan berkahnya dianjurkan untuk duduk berdzikir menunggu didirikannya shalat sebagaimana disebutkan oleh teks hadits. Artinya, ia harus berada dalam keadaan suci alias memiliki wudhu’.

6

Hari Jum‘at adalah hari yang dimuliakan oleh Allah s.w.t. ketimbang hari-hari lainnya. Allah s.w.t. menjadikan hari Jum‘at untuk hamba-hambaNya, mengkhususkan bagi mereka untuk berkumpul (shalat Jum‘at) di dalamnya sembari mendengarkan khuthbah dan pesan-pesan baik. Oleh karena itu, sepadan dengan kedudukan mulianya, tak aneh jika jam-jam terakhirnya dijadikan oleh Allah s.w.t. sebagai waktu mulia – sebagaimana waktu-waktu di dalam shalat.

Demikian kata Ka‘b: “Sesungguhnya ini semua adalah rahmat Allah s.w.t. bagi orang-orang yang beribadah (al-qā’imīn) pada hari itu.”

Menurut sebagian ‘ulamā’, waktu mustajab pada hari Jum‘at tidaklah diketahui secara pasti kapan tepatnya. Ini semua semata-mata karena hikmah dari Allah s.w.t. agar supaya orang-orang selalu beribadah di sepanjang hari itu. Atas dasar yang sama pula, malam lailat-ul-qadar disembunyikan di sepuluh hari terakhir Ramadhān.

Dikatakan bahwa waktu mustajāb hari Jum‘at itu berubah-ubah, sebagaimana berubah-ubahnya waktu malam lailat-ul-qadar. Tapi, menurut kami, pendapat ini sangat lemah karena tidak ditemukan satu dalil shaḥīḥ pun terkait lailat-ul-qadar yang bisa dijadikan ḥujjah mengenai pendapat tersebut.

7

Di antara waktu mustajāb adalah seperti tertuang dalam hadits riwayat an-Nasā’ī dari Abū Hurairah. Seseorang bertanya: “Wahai Rasūlullāh s.a.w., doa apa yang paling didengar?” Beliau lalu bersabda: “Doa yang dipanjatkan di pertengahan malam terakhir dan setelah shalat-shalat fardhu.” (216).

8

Di antara waktu mustajāb lainnya adalah seperti tertuang dalam hadits riwayat Abū Dāwūd. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Doa di antara adzan dan iqamat takkan ditolak.” (227).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beberapa sahabat bertanya: “Wahai Rasūlullāh, apa yang harus kami panjatkan?” Beliau bersabda: “Katakanlah: Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu ampunan dan kesehatan di dalam agama, dunia, dan akhirat.” (238).

Diriwayatkan oleh an-Nasā’ī dari Anas berkata: “Ketika shalat didirikan, dibukalah pintu-pintu langit dan doa-doa diterima.” (249).

Sahl ibn ‘Abd (2510
) berkata: “Dua waktu saat pintu-pintu langit dibuka dan doa-doa sedikit sekali yang ditolak; saat menghadiri panggilan shalat (adzan) dan saat berada di barisan di jalan Allah.”

Ahū Hurairah menambahkan: “Saat hujan turun dan saat didirikannya shalat fardhu, pintu-pintu langit dibuka.”

Selain waktu kelima shalat fardhu, diriwayatkan bahwa pintu-pintu langit dibuka di lima waktu; turunnya hujan, bertemu musuh di medan perang, panggilan shalat, menangis karena takut kepada Allah s.w.t., dan membaca al-Qur’ān.

Diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda: “Dua hal yang takkan ditolak atau jarang sekali ditolak; doa pada waktu panggilan shalat (adzan) dan pada waktu kesusahan saat sebagian dari mereka bertempur dengan musuh(2611
) dan pada waktu hujan.” (2712).

Diriwayatkan juga oleh an-Nasā’ī bahwa seorang laki-laki pernah bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya para mu’adzdzin mendahului kami.” Beliau kemudian bersabda: “Ucapkanlah seperti yang diucapkannya, dan jika engkau sudah selesai maka berdoalah dan doamu akan dikabulkan.”

Alangkah baiknya bagi orang yang berdzikir dan yang menunggu permintaannya dikabulkan oleh Allah s.w.t. untuk menengadahkan wajahnya ke arah langit. Allah s.w.t. berfirman: “Kami melihat wajahmu (Muḥammad) sering menengadah ke langit maka akan Kami palingkan engkau ke qiblat yang engkau senangi.” (al-Baqarah [2]: 144).

Nabi s.a.w. membenci menyamai orang-orang Yahudi dalam shalat menghadap ke arah Bait-ul-Maqdis, dan lebih menyukai jika menghadap ke arah Ka‘bah. Beliau lalu menengadahkan wajahnya ke arah langit sambil memohon keinginannya dikabulkan oleh Allah. Allah kemudian menurunkan ayat: “Kami melihat wajahmu (Muḥammad) sering menengadah ke langit maka akan Kami palingkan engkau ke qiblat yang engkau senangi.” (al-Baqarah [2]: 144). Ayat ini menunjukkan ketinggian dan keluhuran langit di mana doa akan dikabulkan ketika dipanjatkan sambil menengadahkan wajah ke arahnya.

9

Di antara waktu mustajāb adalah malam lailat-ul-qadar, yaitu malam tempatnya kebaikan dan diperkenankan doa, dilipatgandakannya pahala, dan dihapuskannya dosa. Berbuat satu kebaikan di dalamnya itu lebih baik ketimbang berbuat seribu kebaikan yang sama di malam-malam lainnya. Allah s.w.t. berfirman: “Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (al-Qadr [97]: 3).

Pendapat paling kuat menyebutkan bahwa malam lailat-ul-qadar adalah malam ke-27 Ramadhān. (2813).

Ibnu ‘Abbās, sang cendekia umat dan penerjemah al-Qur’ān, memilih pendapat terakhir tersebut. Ia menggunakan dalil bahwa surat di atas terdiri dari tiga puluh kalimat, sementara kalimat “dua puluh tujuh” (as-Sābi‘atu wal-‘Isyrūn) adalah makna dari firman Allah s.w.t. “hiya” (malam itu) di akhir surat.

10

Di antara waktu mustajab lainnya adalah hari ‘Arafah. Diriwayatkan oleh Mālik di al-Muwaththa’ bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda: “Syaithan tidak pernah terlihat lebih hina dan lebih rendah kecuali pada hari ‘Arafah. Itu karena syaithan melihat turunnya rahmat dan pengampunan Allah s.w.t. atas dosa-dosa besar; kecuali apa yang dilihatkan pada hari perang Badar.

Dikatakan: “Wahai Rasūlullāh s.a.w., apa yang dilihat pada hari Perang Badar?” Beliau menjawab: “Adapun pada hari Perang Badar, syaithan melihat Jibrīl dan menghalangi malaikat.” (2914).

Kalangan ‘ulamā’ dan orang-orang shalih beribadah kepada Allah s.w.t. semalam suntuk pada hari ‘Arafah, mengambil tempat di tempat-tempat sunyi, berdoa kepada Tuhan mereka dengan khusyū‘, dan mengharap keberkahan doa pada hari itu.

11

Di antara waktu mustajāb adalah seperti tertuang dalam sebuah hadits riwayat al-Bukhārī dari Ibnu ‘Abbās. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Tidak ada amal kebajikan pada hari-hari lain yang lebih baik ketimbang pada hari-hari ini (sepuluh hari Tasyrīq).” Dikatakan: “Tidak pula jihad?” Beliau menjawab: “Tidak pula jihad. Kecuali orang yang melemparkan dirinya ke arah kerusakan.” (3015).

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Aku dilarang membaca al-Qur’ān pada waktu ruku‘ atau sujud. Dalam rukū‘, agungkanlah Tuhanmu, dan dalam sujūd, bersungguh-sungguhlah berdoa; karena sesungguhnya itu adalah jaminan dikabulkannya doamu.” (3116).

Jadi, hal yang paling dianjurkan saat bersujūd adalah berdzikir. Sebab, sujūd adalah saat tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t.: “Sujūdlah dan dekatkanlah dirimu kepada Allah.” (al-‘Alaq [96]: 19). Orang yang mempunyai permintaan kepada Allah s.w.t., tetapi langsung tidur setelah selesai mengerjakan sujūd (shalat), sesungguhnya ia tidak akan mendapatkan apa-apa.

Catatan:

  1. 16). Penafsiran ini dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbās. (Lihat: Tafsīr-ul-Qurthubī, IX/26 dan Tafsīr-uth-Thabarī, XII/42).
  2. 17). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abū Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda: “Sebaik-baik hari saat matahari terbit adalah hari Jum‘at. Pada hari ini, Adam diciptakan, diturunkan ke bumi dan diterima taubatnya, dan kiamat terjadi. Tak ada seekor pun binatang di muka bumi kecuali menjadi diperhatikan pada hari Jum‘at sampai matahari memancarkan cahaya fajar. Pada hari itu juga (Jum‘at), terdapat waktu yang ketika seorang mu’min mengerjakan shalat dan berdoa kepada Allah s.w.t. maka Dia s.w.t. pasti akan mengabulkannya.”
  3. 18). Lihat penjelasan Ibnu Ḥajar dalam Fatḥ-ul-Bārī, II/416, Bab as-Sā‘at-ul-allatī fī Yaum-il-Jum‘ah.
  4. 19). Fatḥ-ul-Bārī, II/421. Di sini, Ibnu Ḥajar menukil pentarjihan yang dilakukan oleh ath-Thruthūsyī.
  5. 20). Shaḥīḥ Muslim, Kitab fī Shifat-il-Munāfiqīn, Bab Ibtida’-ul-Khalqi wa Kahlqu Ādam, (hadits no. 2789).

    Syaikh ‘Abd-ul-Qādir al-Arna‘ūth mengatakan: “Hadits ini juga diriwayatkan oleh Aḥmad di Musnad (11/327) dan al-Bayhaqī di Asmā’u wash-Shifāt (hlm. 383), dan dilemahkan oleh beberapa imam hadits. Menurut Ibnu Katsīr (Bidāyatu wan-Nihāyah, Bab Mā Warada fī Khalq-is-Samāwāti wal-Ardhi, Jilid I), hadits ini termasuk salah satu hadits gharīb yang terdapat di Shaḥīḥ Muslim. Beberapa ‘ulamā’ melemahkan hadits ini dari sisi matan (isi hadits). Mereka berpendapat bahwa isi hadits ini bertentangan dengan al-Qur’ān. Tetapi, ‘ulamā’ yang men-shahih-kan hadits ini, baik secara sanad (rantai periwayatan) maupun matan, melihat bahwa tidak ada kontradiksi antara isi hadits dan al-Qur’ān. Dalam al-Qur’ān disebutkan bahwa Allah s.w.t. menciptakan langit sekaligus bumi dalam waktu enam hari, dan menciptakan bumi saja dalam waktu dua hari. Sementara itu, hadits ini menyebutkan bahwa Allah s.w.t. menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi dalam waktu tujuh hari. Bisa jadi, tujuh hari yang disebutkan dalam hadits tersebut bukanlah enam hari yang disebutkan oleh Allah s.w.t. dalam penciptaan langit sekaligus bumi. Jadi, tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Hadits ini hanya memerinci perihal bagaimana Allah s.w.t. menciptakan bumi saja. Wallāhu A‘lam.

  6. 21). Diriwayatkan oleh an-Nasā’ī di ‘Amal-ul-Yaumi wal-Laylah (hlm. 186-187), dari Abū Umāmah al-Bāhilī. Hadits serupa juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzī di Kitab ad-Da‘awāt, (hadits no. 3499). Menurut at-Tirmidzī, hadits ini termasuk hadits ḥasan.
  7. 22). Sunan Abī Dāwūd, Kitab Fish-Shalāh, Bab Mā Jā’a Fid-Du‘ā’i Bayn-al-Ādzāni wal-Iqāmah, (hadits no. 521).
  8. 23). Sunan at-Tirmidzī, Kitab Fid-Da‘awāt, Bab fil-‘Afwi wal-‘Āfiyah, (hadits no. 3594), dari hadits Anas. Menurut at-Tirmidzī, hadits ini termasuk hadits ḥasan.
  9. 24). Lihat: ‘Amal-ul-Yaumi wal-Laylah (hlm. 169).
  10. 25). Sahl ibn Sa‘d ibn Mālik ad-Anshārī, salah seorang sahabat yang paling terakhir meninggal dunia di Madīnah.
  11. 26). Sunan Abī Dāwūd, Kitab al-Jihād, Bab ad-Du‘ā’u ‘ind-al-Liqā’, (hadits no. 2540), dari hadits Sahl ibn Sa‘d. Hadits ini disebutkan oleh as-Suyūthī di al-Jāmi‘-ush-Shaghīr, I/487 (hadits no. 2565), dan dikatakan sebagai hadits shaḥīḥ.
  12. 27). Redaksi tambahan ini berasal dari hadits Sahl ibn Sa‘d dari jalur lain, yang disebutkan oleh Abū Dāwūd setelah hadits sebelumnya. Hadits dengan redaksi tambahan ini juga disebutkan as-Suyūthī di al-Jāmi‘-ush-Shaghīr dengan riwayat lain.
  13. 28). Lihat: Tafsīr-ul-Qurthubī, XX/134.
  14. 29). Al-Muwaththa’, I/422.
  15. 30). Shaḥīḥ al-Bukhārī, Kitab al-‘Īdayn. Bab Fadhl-ul-‘Amali fi Ayyām-it-Tasyrīq, II/457, (hadits no. 969).
  16. 31). Shaḥīḥ Muslim, Kitab ash-Shalāh, Bab an-Nahyu ‘an Qirā’at-il-Qur’āni fir-Rukū‘i was-Sujūd, (hadits no. 479). Lihat pula: Sunan Abī Dāwūd, Kitab ash-Shalāh, Bab ad-Du‘ā’u fir-Rukū‘i was-Sujūd, (hadits no. 876).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *