Thariqah Alawiyah (I) | Bab 1 : Pujian Terhadap Ilmu dan Celaan Terhadap Kejahilan (2/2)

Thariqah 'Alawiyah Jalan Lurus Menuju Allah
Terjemah : al-Manhaj al-Sawi Syarh Ushul Thariqah al-Saadah Aali Ba’Alawi
Pengarang : Al Habib Zain bin Smith
Penerjemah : Ust. Husin Nabil Assegaf
Penerbit : Nafas

(lanjutan)

Jadi dalam ilmu terdapat kehidupan yang abadi dan dalam kejahilan (kebodohan) terdapat kematian yang abadi pula. Dalam sebuah syair dikatakan,

Bukanlah yang mati lalu beristirahat itu mayit

Sesungguhnya mayit adalah kehidupan yang mati

Maksudnya adalah, orang yang mati karena kejahilan dan jauh dari Allah itulah mayit yang sesungguhnya, sekalipun bentuk dan fisiknya hidup.

Seorang salaf mengatakan, “Sebaik-baik anugerah adalah akal dan seburuk-buruk musibah adalah kejahilan.”

Seorang ulama mengatakan,

Belajarlah! Tak ada yang dilahirkan sebagai alim

Taklah yang berilmu seperti yang jahil

Sungguh, pembesar suatu kaum yang tak miliki ilmu

adalah kecil jika berada dalam pertemuan-pertemuan

Sahl bin Abdullah at-Tustariy1 mengatakan, “Tidak ada suatu kemaksiatan kepada Allah yang lebih besar dibanding kejahilan.” Beliau kemudian ditanya, “Wahai Abu Muhammad, apakah engkau mengetahui sesuatu yang lebih buruk daripada kejahilan?” Beliau menjawab, “Ya, ketidaktahuan terhadap kejahilan!

Saya (penulis) mengatakan: Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali-karena ketidaktahuan terhadap kejahilan menutup rapat-rapat pintu belajar. Seseorang yang menyangka dirinya ‘alim mana mungkin akan belajar? Demikian pula yang paling utama digunakan untuk ketaatan kepada Allah adalah ilmu, dan pangkal ilmu adalah pengetahuan tentang ilmu sebagaimana pangkal kejahilan adalah ketidaktahuan terhadap kejahilan.

Al-Khalil bin Ahmad2 mengatakan, “Ada empat kelompok orang: Seorang yang mengetahui dan tahu bahwa dirinya mengetahui. Dia adalah seorang alim, maka ikutilah dia. Seorang yang mengetahui tetapi tidak tahu bahwa dirinya mengetahui. Dia adalah orang yang lalai, karenanya bangunkanlah. Seorang yang tidak mengetahui dan tahu bahwa dirinya tidak mengetahui. Dia adalah orang yang meminta petunjuk, maka tunjukilah. Seorang yang tidak mengetahui dan tidak tahu bahwa dirinya tidak mengetahui. Dia adalah orang yang jahil, maka tinggalkan dia.

Pengarang kitab ‘Iqd al-Yawaqit al-Jauhariyyah menyebutkan keterangan dari Syaikh Fadhl bin Abdullah at-Tarimi3 yang mengatakan, “Aku bertanya kepada Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Ba’abbad4, Apakah ilmu itu lebih luas daripada kejahilan ataukah kejahilan yang lebih luas daripada ilmu?’ Beliau menjawab, ‘Bagi orang yang mendalami, ilmu lebih luas daripada kejahilan. Adapun bagi yang tidak mendalami, kejahilan lebih luas daripada ilmu.“”

Al-Imam Abdullah bin Alwi al Haddad mengatakan dalam Risalah al-Mu’awanah, “Ketahuilah bahwa orang yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, lebih banyak bahaya yang kembali kepadanya dengan sebab ibadahnya daripada manfaat yang ia peroleh darinya. Berapa banyak ahli ibadah, yang telah meletihkan dirinya dalam beribadah dan bersamaan dengan itu tetap melakukan maksiat yang menyangka bahwa sesungguhnya maksiatnya adalah ketaatan atau bukan merupakan maksiat.

Syaikh al-‘Arif billah Muhammad bin ‘Arabi5 dalam bab al Washaya dalam kitab al-Futuhât6 mengisahkan seorang penduduk Maghrib (Benua Afrika-ed.) yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, Orang itu membeli keledai betina dan tidak menggunakannya untuk apa pun. Lalu sesesorang bertanya kepadanya alasan ia membiarkan keledainya itu. Orang itu menjawab, ‘Aku membiarkannya semata-mata untuk menjaga kemaluanku dengannya!’ Ternyata ia tidak tahu bahwa menggauli binatang ternak adalah haram hukumnya. Ketika orang yang bertanya itu memberitahu bahwa perbuatannya itu haram, ia pun menangis sejadi-jadinya.”

Maka, orang yang tidak mempelajari ilmu tidak akan mengetahui hukum-hukum ibadah dan mendirikan hak-haknya. Seandainya pun seseorang beribadah kepada Allah seperti ibadahnya para malaikat di langit tetapi dilakukan tanpa ilmu, ia tetap termasuk orang yang merugi. Karenanya, setiap orang harus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan meninggalkan sikap malas dan jenuh. Jika tidak, maka ia berada dalam bahaya kesesatan. Karena sesungguhnya kejahilan itu termasuk perkara yang paling buruk. Al-Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi mengatakan,

Kebodohan zamanku membawa kesedihan dan kegundahan

Bagaimana penduduk zaman telah mengabaikan ilmu

Aku heran dengan orang yang rela dengan kejahilannya

Sedangkan Tuhan memberinya pemahaman dari anugerah-Nya

Catatan:

  1. Imam, sufi, dan seorang yang zuhud, pemuka orang-orang arif, Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus at-Tustariy (200-283 H). Termasuk pemuka di antara para imam mutakallimin dalam ilmu ilmu keikhlasan dan olah jiwa. Adz-Dzahabi mengatakan, “Beliau (at Tustariy) memiliki ucapan-ucapan yang bermanfaat, nasihat-nasihat yang baik, dan kaki yang kokoh dalam menempuh jalan Allah.”
  2. Al-Imam al-‘Allamah Abu Abdurrahman al-Khalil bin Ahmad al Farahidi (100-170 H), termasuk pemuka di kalangan imam dalam ilmu bahasa dan sastra. Al-Khalil adalah pencipta (perintis) ilmu ‘arudh (ilmu tentang syair) dan merupakan guru dari Sibawaih, pakar nahwu. Beliau menyusun sejumlah karangan, di antara kitabnya yang sangat terkenal, al-‘Ain.
  3. Syaikh Fadhl bin Abdullah Bafadhl at-Tarimi, wafat di kota asy-Syibr tahun 805 H. Beliau imam di kalangan pemuka para ‘arifin. Memilik banyak keistimewaan dan karamah-karamahnya mutawatir.
  4. Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Ba ‘Abbåd, wafat di Syibâm tahun 801 H, termasuk imam para muhaqqiq terkemuka. Dari beliaulah di antaranya Syaikh Abdurrahman as-Saqqaf (819 H) mengambil ilmu. Di antara karangannya al-Minhaj al-Qawim fi Manaqib asy Syaikh Abdullah al-Qadim yang berupa tulisan tangan (belum dicetak). Yang dimaksud dengan Abdullah dalam karangannya adalah kakeknya, Abdullah bin Muhammad Ba Abbád yang wafat di Syibâm tahun 687 H.
  5. Seorang wali besar dan imam muhaqqiq, Muhyiddin Muhammad bin Ali bin al-‘Arabi al-Hatimiy ath-Thaiy al-Andalusi (560-638 H). Dilahirkan di Murcia, Andalusia (Spanyol). Beliau melakukan perjalanan ke Syam, Rum, Irak, Hijaz, dan sebagainya, lalu menetap di Damsyiq (Damaskus) dan wafat di sana. Beliau memiliki keunggulan dalam semua ilmu dan memiliki perhatian terhadap atsar. Dalam ma’rifatullah, beliau telah mencapai puncak sehingga digelari Sulthan al-‘rifin dan ary-Syaikh al-Akbar. Beliau menulis sekitar 400 kitab, di antaranya yang paling terkenal adalah al-Futuhat al-Makkiyyah.
  6. Bab al-Washaya (bab wasiat) ini telah dicetak dalam kitab tersendiri, sehingga sebagian orang menyangka itu merupakan karangan tersendiri darinya, padahal tidak demikian.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *