8
Adab berdoa lainnya adalah sikap pantang menyerah dalam memanjatkan doa. Diriwayatkkan bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Perbanyaklah dan berpegang teguhlah pada kalimat: Yā Dzal-Jalāli wal-Ikrām.” (riwayat at-Tirmidzī).
Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda: “Demi Dzāt yang menggenggam jiwaku, sesungguhnya ada seorang hamba berdoa kepada Allah namun Allah tengah murka kepadanya sehingga Dia pun tidak memedulikan doanya. Kemudian ia masih saja berdoa kepada-Nya namun Allah juga tetap tidak mempedulikannya. Ia tetap berdoa lagi kepada-Nya, lalu Allah berfirman kepada para malaikat-Nya: “Hamba-ku ini tak mau berdoa selain kepada-Ku, maka Aku mengabulkan doanya”.”
9
Di antara adab berdoa adalah berdoa dengan suara pelan sehingga hanya bisa didengar oleh orang yang memanjatkannya. Allah berfirman: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut.” (al-A‘rāf [7]: 55). “(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhanmu kepada hamba-Nya, Zakariyyā, yaitu ketika ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.” (Maryam [19]: 2-3).
Doa Zakariyyā benar-benar dikabulkan. Ia diberi anak bernama Yaḥyā yang bukan hanya tidak berbuat maksiat, melainkan juga tidak memiliki keinginan untuk berbuat maksiat.
Ada yang mengatakan, Zakariyyā berdoa sembunyi-sembunyi dengan cara memanjatkannya di tengah malam yang sunyi, pelan-pelan dalam hatinya saja, dan Allah pasti mengetahui hati yang bertaqwa dan juga mendengar suara yang sangat lirih.
Mengenai hal ini, al-Ḥasan al-Bashrī (w.110 H.) berkata: “Orang-orang muslim bersungguh-sungguh dalam berdoa. Suara doa mereka tidak terdengar. Suara doa mereka hanyalah suara yang sangat lirih yang hanya bisa didengar oleh diri mereka dan Tuhannya.”
Diriwayatkan dalam Shaḥīḥ Muslim bahwa Nabi s.a.w. pernah mendengar orang-orang yang tengah menghaturkan pujian kepada Allah dengan suara cukup keras. Setiap suara puji-pujian mereka meninggi, salah seorang dari mereka langsung menyahut dengan ucapan Lā ilāha illā Allāh – juga dengan suara yang keras. Nabi s.a.w. kemudian bersabda: “Tahanlah suara itu untuk diri kalian sendiri. Sungguh, kalian bukan menyeru Dzāt yang tuli atau Dzāt yang tidak ada. Dzāt yang kalian seru adalah Dzāt yang jauh lebih dekat dengan diri kalian ketimbang dekatnya kalian dengan leher hewan tunggangan kalian.”
‘Uqbah (w. 83 H.) berkata: “Satu doa dengan suara pelan itu jauh lebih baik ketimbang tujuh puluh doa dengan suara keras.”
10
Di antara adab berdoa adalah seperti penuturan Allah dalam firman-Nya: “Katakanlah (Muḥammad): “Serulah Allah atau serulah ar-Raḥmān. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama terbaik (asmā’-ul-ḥusnā).” (al-Isrā’ [17]: 110). Allah juga berfirman: “Dan Allah memiliki asmā’-ul-ḥusnā (nama-nama terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan asmā’-ul-ḥusnā tersebut.” (al-A‘rāf [7]: 180). Jadi, disunnahkan bagi orang yang berdoa agar mengatakan dalam doanya: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan nama-nama terbaik-Mu,” lalu menyebutkan apa saja permohonannya.
Diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. selalu mengucapkan dalam doanya: “Ya Allah, seungguhnya aku menyeru-Mu seperti seruannya orang yang mempunyai ilmu dari Kitāb kepada-Mu.” [yakni hamba Allah dalam kisah Nabi Sulaimān yang memindah singgasana Bilqis sebelum mata beliau berkedip, lihat an-Naml [27]: 40), lalu beliau menyebutkan permohonannya.
11
Di antara adab berdoa lainnya adalah bila engkau meminta maka mintalah yang banyak sekalian, dan angkatlah kedua tanganmu saat berdoa. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian memohon sesuatu, hendaklah memohon sesuatu yang besar (berat). Sesungguhnya Allah tak akan merasa keberatan atas sesuatu apa pun, dan sesungguhnya Tuhanmu itu Maha Mulia dan malu dari seorang hamba yang menengadahkan tandannya kepada-Nya tanpa memberinya sesuatu pun.” (Riwayat at-Tirmidzī, Abū Dāwūd dan Muslim).
Diriwayatkan oleh al-Bukhārī bahwa Nabi s.a.w. mengangkat kedua tangannya sampai-sampai ketiak putih beliau terlihat. (11) Ibnu ‘Umar berkata: “Nabi s.a.w. mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku terlepas dari apa yang telah diperbuat oleh Khālid”.” (22).
Demikianlah, Abū Mūsā (33) dan Anas (44) juga meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. mengangkat kedua tangannya sampai ketiak putih beliau terlihat jelas.
‘Urwah ibn az-Zubair (55) berkata: “Rasūlullāh s.a.w. berdoa sambil membentangkan kedua tangannya di depan wajahnya.”
Thāwūs (66) berkata: “Nabi s.a.w. pernah mendoakan sebuah kaum. Beliau mengangkat kedua tangannya, lalu menengadahkan keduanya ke langit.”
Barang kali dikatakan: “Sesungguhnya Allah s.w.t. itu suci dari segala arah, dan menengadahkan tangan ke arah langit berarti mengandaikan bahwa Allah s.w.t. memiliki tempat.” Untuk menanggapi hal ini, kami katakan sebagai berikut. Dalam beribadah kepada Tuhan, manusia mengangkat tangannya ke arah-Nya seolah-olah langit merupakan tempat dihaturkannya doa. Ini sebagaimana ketika mengerjakan ibadah shalat mereka menghadapkan wajah ke arah qiblat dan tanah, melekatkan dahi ke tanah (sujud) sambil menyucikan-Nya, seraya berkonsentrasi pada Baitullāh atau tempat sujud.
Langit adalah tempat asal diturunkannya rezeki dan wahyu, tempat rahmat dan berkah. Dari langit pula, hujan – sebagai rezeki – diturunkan ke bumi, yang kemudian mengeluarkan keberkahannya dari bumi berupa tanaman dan tumbuh-tumbuhan. Langit adalah tempat tinggal para malaikat, dan ketika Allah s.w.t. telah memutuskan sebuah perkara baik atau buruk maka Dia s.w.t. akan mewahyukannya kepada malaikat, dan malaikat akan langsung turun ke bumi dan mengkhabarkannya kepada para nabi, rasūl sehingga penduduk bumi mengetahui perkara tersebut.
Begitu pun dengan amal perbuatan anak-cucu Ādam. Ketika amal perbuatan ini diangkat dan dihadirkan ke hadapan Allah s.w.t, Allah s.w.t. akan memberi tahu para malaikat-Nya apakah amal tersebut diterima atau tidak. Begitu pun ketika mengampuni dosa seorang hamba atau menolak permohonannya, Allah s.w.t. akan memberitahukan itu kepada para malaikat-Nya dan meminta persaksian mereka. Seperti diriwayatkan di lebih dari satu hadits, Nabi Muḥammad s.a.w. juga melihat beberapa malaikat pada malam beliau dimi‘rājkan.
Di langit pula, saat peristiwa mi‘rāj, Nabi s.a.w. juga melihat orang-orang yang mati syahid dan beberapa malaikat yang tidak pernah sekali pun berbuat maksiat, yang memberikan syafaat kepada penduduk bumi. Di langit pula, Nabi s.a.w. melihat surga sebagai tempat idaman semua orang.
Jadi, ketika langit merupakan muara bagi perkara-perkara agung seperti ini dan bagi qadhā’-qadar maka bisa dikatakan bahwa langit adalah arah utama bagi kepastian dan keteguhan penciptaan. Di langit pula, terdapat rumah lain yang menjadi dambaan (surga) dan doa-doa yang diarahkan kepadanya.
Suatu hari, al-Qādhī ibn Quray‘ah (77) mengerjakan shalat di rumah menteri al-Muhallabī (88), dan Abū Isḥāq ash-Shābi‘ī (99) meliriknya. Menyadari bahwa dirinya dilirik, al-Qādhī lalu berkata pada Abū Isḥāq setelah salam: “Engkau engkau melirikku, wahai saudara penganut agama Shābi‘ah (1010)? Apakah engkau tertarik pada syariat shāfiyyah (yang murni)?!” Abū Isḥāq menjawab: “Engkau mengangkat kedua tanganmu ke arah langit dan merendahkan keningmu ke bumi (lantai). Di mana arah yang engkau inginkan?” Al-Qādhī berkata: “Sesungguhnya kami mengangkat kedua tangan kami ke sumber rezeki kami, dan merendahkan kening kami dari anggota tubuh kami lainnya. Untuk yang pertama, kami meminta agar rezeki-rezeki kami diturunkan; dan untuk yang kedua, kami mencoba menahan keburukan anggota-anggota tubuh kami. Apakah engkau belum mendengar firman Allah s.w.t.: “Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.” (adz-Dzāriyāt [51]: 22) dan firman-Nya: “Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu, dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain.” (Thāhā [20]: 55)?!” al-Muhallabī berkata: “Aku tidak mengira bahwa Allah s.w.t. telah menciptakan orang sepertimu pada masamu!”